Skena Musik Cadas Tanah Rencong

Melalui artikel singkat ini, akan didapat gambaran mengenai skena (scene) musik bawah tanah di Aceh yang terus napas kehidupan musik keras dari ujung barat Indonesia. Ayo simak!

oleh Rino Abonita diperbarui 22 Jun 2021, 03:50 WIB
Diterbitkan 21 Jun 2021, 20:00 WIB
Di dalam ilustrasi tersebut digunakan foto pembetot bass band beraliran groove metal Delirium, Aulianda Wafisa (Liputan6.com/Ist)
Di dalam ilustrasi tersebut digunakan foto pembetot bass band beraliran groove metal Delirium, Aulianda Wafisa (Liputan6.com/Ist)

Liputan6.com, Aceh - Aceh mungkin terdengar seperti ghetto bagi orang luar. Sebagian boleh jadi akan berpendapat bahwa daerah yang tergolong ketat dalam memberlakukan syariat Islam itu akan ketinggalan dalam hal permusikan, terutama musik cadas.

Pandangan seperti itu tidak sepenuhnya salah apabila argumen tersebut mengacu pada fakta bahwa majelis ulama di Aceh telah mengeluarkan fatwa yang mengategorikan seni hiburan yang menggunakan alat musik musik seperti gitar, bass, dan sejenisnya haram. Ini termaktub dalam Fatwa MPU Aceh No. 12 tahun 2013. 

Hal tersebut menjadi alasan mengapa konser musik atau acara sejenis susah mendapat tempat karena harus melalui proses perizinan yang lebih panjang ketimbang yang berlaku di daerah lain. Andai kata izin diperoleh, panitia terkadang harus berhadapan dengan determinan lain, yaitu, massa.

Sebelum pandemi, sekelompok massa menyeruduk kerumunan penonton Base Jam sehingga konser tersebut harus disetop oleh polisi agar tidak terjadi keributan karena massa dari ormas keagamaan itu kukuh bahwa konser harus bubar. Pada 2018 lalu, ketika Slank hendak manggung di Sigli, majelis ulama di kabupaten itu menolaknya.

Tren menolak konser bisa ditelusuri ke tahun 2016. Ketika itu, ormas keagamaan di Banda Aceh juga menolak konser Sheila On 7 karena kedatangan band kelahiran Yogyakarta itu disebut-sebut bertepatan dengan hari kematian dua orang ulama. 

Jika band arus utama saja kena jegal, lantas, bagaimana dengan nasib musik bawah tanah di provinsi itu? Dari segi panggung saja, musik bising memiliki ruang menitir yang jauh lebih sempit ketimbang musik-musik arus utama, apalagi di Aceh

Namun, daripada menyusuri seberapa sempit kesempatan mengadakan konser bagi kuartet-kuartet bawah tanah di Aceh, mungkin lebih tepat menanyakan, apakah negeri yang terletak di sebelah paling barat Indonesia itu juga memiliki skena (scene) musik bawah tanah? Jawabannya, iya.

Mendiskreditkan musikalitas daerah-daerah nonsentra tentunya sebuah kesalahan besar apalagi merujuk pada hakikat bahwa musik itu tidak bersifat spasial. Musik bersifat universal, bisa dinikmati serta dipelajari oleh semua orang.

Jeremy Wallach dalam Modern Noise, Fluid Genres: Popular Music in Indonesia, 19972001 (2008) bahkan menyejajarkan Banda Aceh di antara kota besar seperti Jakarta, Yogjakarta, Surabaya, Malang, Bandung, Medan, dan Denpasar, sebagai daerah yang telah menjadi kantong skena-skena (scene) musik bawah tanah di akhir dekade 1990-an. Pernyataan itu dikutip kembali oleh Teguh dkk dalam Media, dan Karya: Perkembangan Infrastruktur Musik Bawah Tanah (Underground) di Bandung (1967-1997) (2017). 

Salah satu unit metalcore dari provinsi itu, Killa The Phia, pernah menggandeng predikat ketiga dalam perhelatan Rockin' Battle bahkan menjadi satu-satu band bergenre metal yang masuk delapan besar dalam kompetisi band terbesar di Indonesia besutan Supermusic itu. Gitaris supergrup Musikimia, Stephan Santoso, yang juga jadi juri di kompetisi itu memproduseri band tersebut untuk merekam lagu mereka di studio Aquarius.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Jejak Musik Bawah Tanah di Aceh

Killa The Phia
Band Killa The Phia

Jejak band bawah tanah di Tanah Rencong salah satunya dapat ditelusuri melalui album Metalik Klinik II yang rilis pada tahun 2000. Di dalam serial kedua kompilasi band bawah tanah Indonesia yang diproduseri oleh RotorCorp bekerja sama dengan satu label mayor itu, bertengger band bernama Plincore pada daftar paling atas.

Plincore adalah band asal Kota Langsa, Aceh, yang saat itu muncul dengan lagu berjudul Sangkakala. Jauh sebelum itu, komunitas musik bawah tanah di provinsi telah bergerilya, bergerak dinamis, dan terus membesar dari balik kegelapan.

Mengutip sebuah tulisan di salah satu situs musik berjudul Selamat Berpesta Metalhead Aceh!!!pada medio 1990-an, di Banda Aceh telah lahir sebuah komunitas musik keras bernama Regenth, kepanjangan dari Remaja Generasi Thrash. Kata thrash boleh jadi merupakan singkatan dari thrash metal, sebuah genre yang lahir sebagai antitesis kemapanan glam metal atau hair metal (band glam metal contohnya Skid Row, White Lion, atau Steel Panther, yang muncul belakangan).

Dari Regenth, menyempal komunitas bernama SPS (Sickening People Society). Selain dua komunitas tersebut, muncul pula komunitas-komunitas lainnya seperti Blackened Arcane di kutub black metal, dan Brutalliez di kutub death metal.

Komunitas musik bawah tanah yang terdiaspora ke dalam beberapa scene itu sempat menggabungkan diri di bawah bendera Ulee Beuso Community. Belakangan komunitas-komunitas serupa juga bermunculan di daerah-daerah Aceh lainnya.

Seiring waktu, komunitas-komunitas musik bawah tanah di Aceh mulai bergerak mencari arena mosh pit—tempat para penggemar berkerumun dan melakukan gerakan tertentu mengikuti irama musik—yang lebih luas. Gerakan-gerakan yang disebut moshing, headbang, dan lainnya, diakomodir dengan berbagai festival atau gigs, yang berlangsung sepanjang tahun.

Desember 2013 lalu, puluhan band metal di Serambi Makkah unjuk gigi dalam pagelaran terbuka dan terbesar perdana bernama Atjeh Metal Fest, yang diisi oleh 40 lebih dari seluruh Aceh, serta satu bintang tamu dari ibu kota. Maret di tahun ini, sejumlah band ikut meramaikan Lhokseumawe Metal Fest yang sukses digelar di Kota Lhokseumawe kendati sempat mengalami sedikit kendala.

Beberapa nama band beraliran padas dari Aceh yang datang dari sejumlah genre, antara lain, Maggots (Nu Metal), Psycho Holic (metalcore), Brandoffer (hardcore), Amenhotep (deathcore), Tanduk Setan (Black Metal), Cronic (thrash metal), dan Delirium (groove metal). Band-band tersebut hanya sebagian kecil sekian banyak kuartet musik keras yang menyebar di Aceh.

Dari sini, kita tahu bahwa Aceh juga memiliki kebanggaan di dunia musik keras yang lahir dari dedikasi dan kedisiplinan tinggi. Para metalhead Aceh, teruslah menggebrak!

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya