Tekan Risiko Karhutla di Lahan Gambut, Peneliti Sumsel : Pakai Prinsip Segitiga Basah

Lahan gambut di Sumsel berpotensi besar terbakar dan mengakibatkan karhutla kembali terjadi di Sumsel.

oleh Nefri Inge diperbarui 01 Jul 2021, 12:30 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2021, 12:30 WIB
Pemadaman titik kebakaran hutan dan lahan atau karhutla oleh petugas.
Pemadaman titik kebakaran hutan dan lahan atau karhutla oleh petugas. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Palembang - Balai Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) dan Jambi, akan mengalami puncak kemarau pada Agustus-Oktober 2021.

Namun di bulan Juli 2021 ini, mulai ditandai dengan semakin bertambahnya kondisi hari tanpa hujan. Kondisi tersebut, membuat potensi ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumsel dan Jambi pun kian besar.

Diungkapkan Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang Sumsel Edwin Martin, hingga kini kejadian karhutla masih berulang terjadi, walau trennya semakin menurun sejak 2015.

“Indonesia sedang memasuki fase transisi sosial-ekologis. Yaitu sebuah proses pergeseran dari kebudayaan rawa gambut, menjadi kebudayaan lahan gambut,” ucapnya, Rabu (30/6/2021).

Berdasarkan hasil penelitiannya, titik awal api itu terjadi di semak rendah. Tapi juga terkadang di semak tinggi, dipicu oleh aktivitas manusia seperti mencari kayu dan mencari ikan.

Lalu, karhutla juga dominan terjadi di daerah yang muka airnya rendah, dibandingkan yang muka airnya tinggi.

“Untuk menekan risiko karhutla di lahan gambut, bisa pakai prinsip segitiga basah. Yaitu sebagai kebalikan dari segitiga api. Segitiga basah yaitu pro-rewetting, produktifkan lahan, dan pererat silaturrahmi,” ungkapnya.

Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan (BPPIKHL) Wilayah Sumatera Ferdian menuturkan, faktor manusia hingga kini menjadi penyebab utama terjadinya karhutla.

Menurutnya, setiap tahun selalu terjadi kebakaran di lahan yang berada di sisi kanan dan kiri Jalan Tol Palembang –Indralaya Ogan Ilir Sumsel.

“Ini menunjukkan bahwa upaya membangkitkan kesadaran masyarakat, menjadi sangat penting dengan beragam program pemberdayaan,” ujarnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini :

Tata Ekosistem Gambut

Kebakaran Hutan
Pola kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan yang sengaja dibakar. (Dok Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB)

Direktur Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) R Basar Manullang mengatakan, karhutla hingga kini masih menjadi ancaman bagi pelestarian alam lingkungan hidup di Indonesia.

Kejadian karhutla hebat pada 2015, lanjut R Basar Manullang, menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk mengubah paradigma untuk penanganan karhutla. Terutama dalam menghasilkan solusi permanen.

Salah satunya yakni menata ekosistem gambut. Dari total lahan terbakar itu sebanyak 54 persen, terjadi di kawasan gambut.

“Di Indonesia memiliki sekitar 20 juta Hektare, yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimatan dan Papua,” katanya.

Pemerintah pun memiliki atensi pada kawasan gambut ini, salah satunya dengan melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC) di Sumsel dan Jambi.

Teknologi Modifikasi Cuaca

Petani Kabupaten OKI Olah Gabah Jagung Cegah Kebakaran Hutan dan Lahan
APP Sinar Mas menyiapkan Regu Pemadan Kebakaran (RPK) dan Tim Reaksi Cepat (TRC) untuk mencegah dan mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumsel (Liputan6.com / Nefri Inge)

Yakni selama 15 hari sejak 20 Juni 2020, untuk meningkatkan curah hujan demi meninggikan tinggi muka air gambut.

Pelaksanaan TMC ini dilakukan KLHK, dengan menggandeng BPPT, BMKG, BPBD, TNI AU dan perusahaan mitra pemasok APP Sinar Mas.

“Upaya pengendalian karhutla harus dilakukan bersama dan butuh kerja keras. Perubahan mendasar yakni mengutamakan pencegahan daripada penanganan, dan pentingnya pelibatan masyarakat,” ungkapnya.

Data karhutla KLHK menyebutkan, sebanyak 35.231 Hektare terbakar pada bulan Januari-Mei 2020. Sementara pada periode yang sama, terjadi penurunan 9,13 persen yang mana terindenfikasi sebanyak 54 persen terjadi di gambut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya