Liputan6.com, Makassar - Lembaga Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) kepada Gubernur Sulsel nonaktif Nurdin Abdullah tak beri efek jera (shock therapy).
Di mana Nurdin Abdullah hanya dituntut 6 tahun penjara lantaran dari fakta persidangan, JPU KPK menilai perbuatannya yang telah menerima suap dan gratifikasi telah terbukti.
Wakil Ketua Eksternal Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Hamka mengatakan bahwa tuntutan JPU KPK terhadap terdakwa Nurdin Abdullah tersebut sangat ringan, apabila melihat ancaman pidana pada pasal yang didakwakan, yaitu minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.
Advertisement
Tuntutan 6 tahun, menurutnya, hanya sepertiga dari ancaman pidananya. Sementara, lanjut dia, jika dibandingkan dengan beberapa kasus suap dan gratifikasi yang melibatkan gubernur di daerah lain di antaranya kasus yang menjerat Irwandi Yusuf di Aceh justru dihadapkan dengan tuntutan 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Kemudian, perbandingan kedua pada kasus suap dan gratifikasi yang menjerat Ridwan Mukti di Bengkulu. Di mana Ridwan juga sama diganjar dengan tuntutan 10 tahun penjara, denda Rp400 juta atau subsider 4 bulan kurungan. Lalu, lanjut Hamka, juga pada kasus Zumi Zola di Jambi. Di mana Zumi diberi tuntutan 8 tahun penjara, denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Baca Juga
"Sementara tuntutan terhadap Gubernur Sulsel nonaktif Nurdin Abdullah yang juga dakwaannya sama yakni suap dan gratifikasi malah sangat ringan," tutur Hamka kepada Liputan6.com, Selasa (16/11/2021).
Menurut dia, ringannya tuntutan terhadap Gubernur Sulsel non-aktif Nurdin Abdullah menunjukkan bahwa KPK tidak melihat konteks tindak pidana korupsi yang melibatkan Nurdin Abdullah sebagai rangkaian dari korupsi yang hidup akibat sistem politik (political corruption), yang memiliki relasi dengan pembiayaan politik pra dan pasca Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan (Pilgub Sulsel) tahun 2018.
Salah satunya, kata Hamka, dengan mengambil keuntungan (gratifikasi dan suap) dalam pembiayaan sejumlah proyek infrastruktur yang dikerjakan oleh swasta yang juga merupakan bagian dari oligarki lokal. Di mana, lanjut dia, Nurdin sebagai "intelektual dader"-nya.
"Korupsi politik mempunyai dampak besar karena selain merusak tatanan sosial, ekonomi, juga merusak sistem politik," ucap Hamka.
Pembiayaan politik yang mahal secara berkelanjutan, kata dia, melahirkan dampak korupsi politik dalam skala masif. Khusus Sulsel sendiri, lanjut Hamka, kasus ini semestinya menjadi momen baik untuk mengevaluasi pembiayaan dan pengerjaan proyek infrastruktur yang transparan dan akuntabel, sekaligus mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasannya.
"Selama ini pengerjaan proyek infrastruktur di Sulsel berada dalam 'ruang gelap'. Di mana transparansi dan akuntabilitasnya diragukan," ujar Hamka.
Â
Â
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Salah Menggantungkan Harapan
Lebih lanjut, ia mengatakan, ringannya tuntutan Nurdin Abdullah juga menunjukkan KPK abai terhadap harga demokrasi lokal yang telah dibayar mahal oleh masyarakat Sulsel pada Pilgub 2018 lalu.
Dengan sederet prestasi yang disandangnya (salah satunya tokoh pilihan Bung Hatta Anti Corruption Award), masyarakat Sulsel telah menjatuhkan pilihannya kepada Nurdin Abdullah yang ternyata dikemudian hari dikhianatinya. Namun dengan adanya kasus korupsi yang melibatkan dirinya beserta rangkaian suap yang terjadi membuat publik Sulawesi Selatan merasa salah menggantungkan harapan. Penghukuman yang maksimal adalah tidak lain untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat Sulsel.
"Tapi kenyataannya tuntutan JPU KPK justru tidak menunjukan kepekaan KPK dalam melihat problematika hukum yang berubah," kata Hamka.
Baru-baru ini, kata dia, Mahkamah Agung telah mencabut PP No 99 Tahun 2012, yang memiliki semangat punishment yang sejalan dengan rasa keadilan publik. Pembatalan PP ini menjadi langkah mundur dalam pemberantasan korupsi. Sebab hukuman yang akan dijalani oleh terpidana korupsi akan lebih singkat, terlebih jika vonis yang dijatuhkan juga rendah sebagai akibat dari konstruksi tuntutan yang ringan.
"Sehingga mestinya hal ini dapat diantisipasi oleh KPK dengan memberikan tuntutan maksimal sesuai ancaman pidana untuk memberikan efek jera (shock therapy) sekaligus menunjukkan KPK peka terhadap aspirasi rakyat yang menghendaki tuntutan dan putusan yang seberat-beratnya," terang Hamka.
Dengan melihat rendahnya tuntutan JPU KPK tersebut, kata Hamka, maka secara kelembagaan, ACC Sulawesi mengharapkan agar majelis hakim lebih memperhatikan situasi ini dengan mengambil langkah progresif, berani menjatuhkan hukuman maksimal sebagaimana ancaman pada pasal yang didakwakan dan mengabaikan tuntutan rendah dari JPU KPK.
"Hal ini agar memberikan efek jera dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, mengingat kejahatan korupsi merupakan kejahatan extra ordinary crime. Maka perlu komitmen yang tegas dari majelis hakim terhadap kasus- kasus korupsi," Hamka menandaskan.
Â
Advertisement
Tuntutan 6 Tahun Penjara
Diketahui, pada sidang Pengadilan Negeri Tipikor Makassar yang berlangsung, Senin 15 November 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membacakan tuntutan terhadap Gubernur non-aktif Sulsel Nurdin Abdullah.
Tuntutan KPK menyatakan Nurdin Abdullah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 12 huruf a UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dan pasal 12B UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
JPU KPK menyatakan Nurdin Abdullah terbukti menerima suap senilai 150.000 dolar Singapura (sekitar Rp1,596 miliar) dan Rp2,5 miliar serta gratifikasi senilai Rp7,587 miliar dan 200.000 dolar Singapura (sekitar Rp2,128 miliar) sehingga total seluruhnya adalah sekitar Rp13,812 miliar.
Tuntutan itu disertai dengan menjatuhkan pidana 6 tahun penjara denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Menetapkan agar terdakwa membayar uang pengganti kepada negara sebesar Rp3,187 miliar dan 350.000 dolar Singapura selambat-lambatnya 1 bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap danenetapkan pidana tambahan terhadap terdakwa berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya.