Liputan6.com, Jakarta - Perang yang terjadi antara Rusia-Ukraina, diperkirakan akan terus menyebabkan kenaikan harga minyak dan gas secara global. Mengingat, sejak ketegangan yang terjadi di antara dua negara itu, harga minyak mentah dunia (crude oil) sudah merangkak naik, menembus USD 100 per barel. Selain itu, harga gas alam sudah berada di level USD 4,86 per mmbtu atau menguat 11,03 persen dalam tiga hari terakhir.
Mencermati hal itu, anggota Komisi VII DPR RI, Yulian Gunhar, meminta PT Pertamina sebagai BUMN yang bergerak di sektor migas, bisa mengantisipasi dan memonitor dampak yang terjadi termasuk dinamika politik Rusia-Ukraina, khususnya terkait harga minyak dunia.
"Pertamina harus bisa mengantisipasi dampak perang yang terjadi di antara Rusia dan Ukraina itu. Memastikan bahwa dinamika yang terjadi, tidak menggangu pemenuhan pasokan minyak mentah (crude oil) dan produk (BBM) dari luar negeri," katanya, menurut keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Jumat (25/2/2022).
Advertisement
Â
Â
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Waspada Efek Domino
Menurut Gunhar, dampak perang yang terjadi antara Rusia-Ukraina itu diperkirakan akan mengganggu pasokan minyak dunia, sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan melonjaknya harga BBM di dalam negeri.
Hal itu menurutnya tidak mengherankan, mengingat Rusia merupakan salah satu produsen minyak terbesar di dunia, yang bisa memproduksi sekitar 10 juta barel minyak mentah per hari.
"Kenaikan harga minyak dunia yang menembus USD 100 per barel sejak perang Rusia-Ukraina saat ini, tentu bakal memberikan tekanan pada kinerja keuangan hilir Pertamina. Jika keadaan tersebut terus berlanjut, bisa saja membuat harga bahan bakar minyak (BBM) ikut terkerek naik," katanya.
Dengan adanya kemungkinan naiknya harga BBM di dalam negeri tersebut, katanya, akan menimbulkan efek domino, seperti kenaikan biaya logistik hingga pangan. Imbasnya lagi, menurut politisi PDI Perjuangan ini, tentu akan menyebabkan subsidi energi membengkak.
"Dampaknya akan merembet terhadap subsidi energinya yang juga akan membengkak," pungkasnya.
Advertisement