Suara Kelompok Rentan, Kewajiban Media untuk Didengarkan

SEJUK bekerja sama dengan AJI Kota Bandung yang didukung International Media Support (IMS) menggelar dialog dengan insan pers agar media-media di Jawa Barat memberikan ruang bagi korban dan kelompok rentan.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 19 Mar 2022, 09:00 WIB
Diterbitkan 19 Mar 2022, 09:00 WIB
Sejuk
SEJUK bekerja sama dengan AJI Kota Bandung yang didukung International Media Support (IMS) menggelar dialog dengan insan pers agar media-media di Jawa Barat memberikan ruang bagi korban dan kelompok rentan. (Foto: Dok. Sejuk)

Liputan6.com, Bandung - Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Bandung yang didukung International Media Support (IMS) menggelar dialog dengan insan pers agar media-media di Jawa Barat memberikan ruang bagi korban dan kelompok rentan lainnya.

Mereka dipertemukan dalam Training & Story Grant Mengembangkan Ruang Aman Keberagaman di Media 11-13 Maret 2022 di Bandung.

Ketua AJI Kota Bandung Tri Joko Her Riadi menegaskan pentingnya jurnalis mengambil peran dan tanggung jawab untuk menyuarakan keberagaman dan kelompok marginal.

Mengutip Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), kelompok rentan di Indonesia yang menjadi prioritas adalah kelompok orientasi seksual dan identitas gender, minoritas ras, minoritas etnis, minoritas orang dengan Disabilitas, serta minoritas agama, dan keyakinan.

Adapun narasumber dalam pelatihan ini terdiri dari Pendiri dan Pemimpin Redaksi Magdalene.co Devi Asmarani, Program Manager Saiful Mujani Research & Consulting Saidiman Ahmad, Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra, Jurnalis senior yang aktif di AJI Kota Bandung Adi Marsiela, dan Executive Producer KOMPAS TV. Sementara, Yuni Pulungan dan Tantowi Anwari mengambil peran fasilitator.

Dalam sebuah diskusi, Direktur Program Yayasan Srikandi Berby Gita mengungkapkan, ketika media ramai memberitakan LGBT, maka komunitas transpuan yang akan lebih duluan menanggung dampaknya. Bagi transpuan, media mainstream masih menjadi ancaman serius.

Menurut transpuan yang sejak awal 2000 sudah aktif di Srikandi Pasundan, Bandung, Jawa Barat, ini banyak pemberitaan yang mengeksploitasi dan menyudutkan LGBT bukan saja menguatkan stigma, bahkan turut menyumbang kasus-kasus kekerasan yang menimpa transpuan.

"Baru saja (LGBT) diberitakan (negatif), komunitas kami langsung, cepat, mendapat dampaknya," ungkap Berby di hadapan 21 jurnalis dari berbagai wilayah di Jawa Barat (12/3).

Pada kesempatan yang sama, jemaat Ahmadiyah Kampung Nyalindung, Garut, Jawa Barat, Kania Hayati melihat berita-berita yang ramai tentang penyegelan masjid mereka, terutama di media lokal, belum ada keberpihakan.

Selaku Ketua Lajnah Imaillah Nyalindung, lembaga sayap Ahmadiyah yang bergerak di isu perempuan, Kania sangat berharap kepada para jurnalis untuk memberitakan kebenaran dan menyuarakan hak maupun perjuangan mereka, terutama kerinduan anak-anak mereka yang ingin mempunyai masjid sendiri.

"Sudah 8 tahun kami mengupayakan agar punya masjid sendiri, tetapi oleh Pemerintah (Kabupaten Garut) masjid kami yang mulai dibangun 2020 dilarang dan disegel tahun lalu," tutur Kania yang mencemaskan nasib 150-an jemaat Ahmadiyah Nyalindung menjelang bulan Ramadan tahun ini di awal bulan depan (April).

Para orangtua, sambung Kania, bingung menjelaskan kepada anak-anak mereka yang bertanya mengapa mereka tak kunjung mempunyai masjid. Kesedihan mereka bakal semakin bertambah karena belum berdiri juga masjid untuk menggelar salat tarawih ataupun Idul Fitri tahun ini. Masjid Ahmadiyah Nyalindung yang berukuran 10×10 meter sudah sejak 2014 dihambat, sehingga sampai hari ini bangunannya tak terselesaikan.

Selain Berby dan Kania, turut hadir Pendeta Yahya Sukma dari Badan Kerja Sama Gereja-gereja (BKSG) Pangalengan, Bandung, yang sedang menghadapi penolakan memakamkan jenazah orang-orang Kristen di lahan pemakaman khusus untuk umat Kristen maupun etnis Tionghoa. Serta Ressa Ria Lestari selaku Ketua Koordinator Samahita, organisasi yang mendampingi dan mengadvokasi kasus-kasus kekerasan seksual.

"Kegiatan ini membuat saya lebih memahami dampak diskriminasi terhadap anak-anak dan perempuan dari kalangan rentan," tutur Virliya Putricantika jurnalis foto Bandungbergerak.id merefleksikan proses training media dan keberagaman 3 hari bersama rekan jurnalis Jawa Barat lainnya, sehingga penting bagi media bertanggung jawab menyuarakan kelompok yang terbungkam.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya