Natural Language Processing Sebagai Upaya Mengembalikan Muruah Bahasa Daerah sebagai Bahasa Ibu

Tulisan pemenang lomba penulisan opini oleh Masyarakat Linguistik Indonesia.

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 25 Agu 2022, 09:00 WIB
Diterbitkan 03 Apr 2022, 15:00 WIB
Banner Kolom Bahasa Daerah
Banner Kolom Bahasa Daerah

Liputan6.com, Jakarta Hipotesis relativitas bahasa Edward Saphir dan Benjamin Lee Whorf mengutarakan bahasa, budaya, dan pemikiran adalah tiga substansi yang saling terkait dan saling membentuk satu sama lain. Tiga substansi ini seperti tiga komponen yang saling melengkapi  dan membentuk idea manusia. Lantas, bagaimana jika salah satunya mengalami pergeseran? Apakah dua substansi yang lain ikut berubah?

Inilah yang dialami oleh sebagian besar generasi muda Indonesia saat ini. Pergeseran pemilihan bahasa ibu menyebabkan perubahan bentuk budaya dan pemikiran masyarakat Indonesia. Bahasa Indonesia, secara dominan, dipilih menjadi bahasa ibu bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Fakta ini belum ditambah dengan fenomena penggunaan bahasa asing sebagai bahasa ibu yang mulai muncul di keluarga dengan tingkat ekonomi dan pendidikan menengah ke atas.

Postur keluarga Indonesia, sesuai dengan data Hasil Sensus Penduduk Tahun 2020 Badan Pusat Statistik dapat digambarkan seperti ini.

1. Orang tua generasi X, menghasilkan anak generasi milenial dan generasi Z.

2. Orang tua generasi milenial, menghasilkan anak generasi Z dan generasi alpha.

 

Pada keluarga tipe 1, penguasaan bahasa daerah orang tua diperkirakan masih bagus, meski tidak sebagus generasi Baby Boomer (1946—1964). Postur keluarga tipe ini besar kemungkinan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu dalam keluarganya. Sementara itu, keluarga tipe 2 (yang merupakan postur mayoritas keluarga Indonesia saat ini), dengan generasi milenial berposisi sebagai orang tua, diperkirakan memiliki kemampuan bahasa daerah jauh di bawah genenasi X.  Belum lagi faktor kawin lintas-suku, dan penetrasi bahasa asing.

 

Saksikan Video Menarik di Bawah Ini!

Upaya Revitalisasi Bahasa Daerah

Bahasa Indonesia vs Bahasa Daerah
Fakta penggunaan bahasa Indonesia yang semakin memprihatinkan

Hipotesis relativitas bahasa Edward Saphir dan Benjamin Lee Whorf mengutarakan bahasa, budaya, dan pemikiran adalah tiga substansi yang saling terkait dan saling membentuk satu sama lain. Tiga substansi ini seperti tiga komponen yang saling melengkapi  dan membentuk idea manusia.

Lantas, bagaimana jika salah satunya mengalami pergeseran? Apakah dua substansi yang lain ikut berubah?

Inilah yang dialami oleh sebagian besar generasi muda Indonesia saat ini. Pergeseran pemilihan bahasa ibu menyebabkan perubahan bentuk budaya dan pemikiran masyarakat Indonesia. Bahasa Indonesia, secara dominan, dipilih menjadi bahasa ibu bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Fakta ini belum ditambah dengan fenomena penggunaan bahasa asing sebagai bahasa ibu yang mulai muncul di keluarga dengan tingkat ekonomi dan pendidikan menengah ke atas.

Tanggung jawab tersebut harusnya diemban seluruh lintas generasi sebagai anggota dari suatu komunitas tutur bahasa daerah. Anggota komunitas tutur itu harus disadarkan kembali signifikansi penggunaan bahasa daerah pada ruang tutur privat keluarga. Ada satu benang merah yang bisa menghubungkan antar-generasi, yaitu media sosial.

Dari generasi X sampai Alpha, saat ini, nyaris semuanya mengakses media sosial. Generasi X asyik dengan Facebook-nya, generasi Y berinteraksi lewat Twitter dan Instagram, Generasi Z berlomba menggunggah video di Tiktok, bahkan generasi Alpha banyak belajar dari Youtube Kids. Sekarang, coba bayangkan jika media-media tersebut dipenuhi bahasa daerah. Semakin sering masyarakat mengakses media sosial, semakin sering pula masyarakat bersinggungan dengan bahasa daerah. Pertanyaan besar yang kemudian mengemuka adalah: bagaimana cara memenuhi ruang media sosial dengan bahasa daerah?

Fitur Facebook & Instagram telah memungkinkan suatu unggahan berbahasa asing untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Youtube pun telah menambahkan pilihan takarir dalam bahasa Indonesia. Pengembang media sosial tersebut mampu menambahkan bahasa Indonesia dalam fitur-fiturnya karena bahasa ini telah memiliki korpus data lengkap yang mampu diolah lewat natural language processing (NLP).

Dengan NLP yang disematkan pada fitur-fitur tersebut, teks bahkan rekaman dalam bahasa apa pun dapat diterjemahkan secara akurat dalam bahasa Indonesia. Hal ini hanya memungkinkan jika data korpus bahasanya lengkap dan mumpuni sehingga NLP dapat menandai setiap kelas kata, fungsi kata, dan penggunaannya dalam kalimat. Hal ini yang tidak dimiliki bahasa-bahasa daerah di Indonesia.

 

Natural language processing sebagai alternatif jalan pintas

[Bintang] Menyedihkan, 14 bahasa daerah Indonesia terancam punah
Ilustrasi bahasa daerah | Via: kaskus.co.id

Bahasa daerah di Indonesia belum memiliki korpus data lengkap yang dapat diproses oleh NLP. Pengumpulan korpus data bahasa daerah sebenarnya sudah banyak dimulai oleh komunitas Wikipedia dan Wikitongue.

Komunitas Wikipedia mengalihbahasakan konten di Wikipedia dengan berbagai bahasa daerah di Indonesia. Wikitongue pun mengunggah video-video berbahasa daerah ke dalam Youtube. Sederhananya, selain berfungsi sebagai arsip digital, dengan banyak mengunggah konten-konten berbahasa daerah, maka kita sedang membantu akademisi dan penyedia media sosial untuk menyusun korpus bahasa daerah.

Hal ini pula yang sedang diupayakan oleh beberapa pihak seperti Indonesia Association of Computational Linguistics (INACL) bahkan Amazon: meraup data bahasa daerah sebanyak-banyaknya dari media sosial.

Natural language processing mampu menjadi alternatif jalan pintas dalam mengembalikan muruah bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Bayangkan saja jika ada seribu saja orang Madura yang membuat konten berbahasa Madura di media sosial selama seminggu sekali. Ada jutaan leksikon dan struktur kalimat yang bisa tercatat menjadi sebuah korpus dan diolah oleh NLP. Dalam setahun saja, bukan tidak mungkin, bisa disusun sistem kecerdasan buatan berbasis bahasa Madura yang mampu diaplikasikan di media-media sosial sehingga setiap keluarga Madura yang mengakses media sosial akan menemukan bahasa madura di ruang-ruang digitalnya. Inilah masa depan bahasa daerah yang kita inginkan.

Sebuah pepatah Madura mengatakan basa gambaranha budi, yang artinya 'bahasa adalah gambaran budi'. Kembali ke hipotesis Whorf dan Sapir, jangan sampai kita mengalami perubahan budaya dan pemikiran karena hilangnya satu kekayaan kita, yaitu bahasa daerah.        

 

Penulis: Salimulloh Tegar Sanubarianto

Pemenang kedua Lomba Opini Tingkat Nasional Masyarakat Linguistik Indonesia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya