Liputan6.com, Palangka Raya - Telapak tangannya yang kasar dan postur tubuhnya kekar pernah menjadi saksi, bahwa pria yang menggenakan kaos dengan kerah lusuh ini pernah menjadi atlet dayung hingga membawa nama harum Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) di beberapa Kejuaraan bergengsi salah satunya adalah Pekan Olahraga Nasional yang ke XIX di Jawa Barat.
Sambil duduk di halaman teras rumahnya, Anggo Prihartanto nama lengkap pemuda ini bercerita. Awal mula ketertarikannya dengan dunia olahraga air, memulai karir atlet sejak di bangku sekolah dasar pada olahraga renang dan kerap menjuarai kejuaraan antar pelajar kala itu.
"Pada mulanya saya menggeluti olahraga renang, saat itu masih duduk bangku di sekolah dasar dan sering mewakili sekolah dalam turnamen tingkat pelajar," ujarnya.
Advertisement
Baca Juga
Ia kemudian mencoba peruntungan di Pulau Seribu Sungai ini dengan melebarkan sayap ke olahraga dayung sejak tahun 2010 silam. Benar saja, usaha tidak mengkhianati hasil begitulah istilah yang tepat untuk menggambarkan kegigihan Anggo kala itu.
Anggo ingat betul, saat masih berstatus sebagai siswa di Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Kalteng, ia harus mendayung di dalam turnamen Pekan Olahraga Pelajar Nasional yang diadakan di Kutai Kartanegara pada 2015 silam.
Tak disangka, pemuda asli Dayak ini berhasil mengharumkan nama Kalteng dengan memboyong dua emas sekaligus dalam cabang Kano dan Dragon Boat. Tak hanya sampai di situ, Ia pun berkesempatan untuk mengikuti seleksi Pra Pekan Olahraga Nasional (PON) di Palembang. Walhasil, dia berhasil lolos mendapatkan tiket untuk mengikuti kejuaraan PON XIX di Jawa Barat pada 2016 silam.
Namun sedikit berbeda saat Anggo membicarakan kiprahnya setelah PON Jawa Barat, matanya mulai berkaca kaca, nada bicaranya pun perlahan menjadi pelan, tangannya mulai mengepal sambil menghela napas. Pasalnya, medali emas yang ia peroleh dengan susah payah harus jatuh ke tangan orang lain, bukan karena ia kalah turnamen, melainkan keadaan yang memaksa ia harus menjualnya untuk bertahan hidup.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Saksikan Video Pilihan Berikut:
Demi Bertahan Hidup
Saat itu, Jumat (29/4), pagi tepatnya. Di salah satu halaman Facebook Grup Forum Jual Beli Palangkaraya. Ia mengunggah foto deretan mendali miliknya untuk dijual.
Ternyata hal ini bukan pertama kali, Anggo kerap menjual medalinya jika tidak memiliki uang untuk makan. Padahal, dua hari sebelumnya tepatnya pada 27 April lalu, ia baru saja menginjak usia yang ke 25 tahun.
Mulai dari perunggu, perak dan emas pernah dijualnya, harganya pun terbilang murah tidak sebanding dengan usaha yang pernah ia raih. Untuk sekelas medali emas saja, dilepasnya dengan harga Rp 100 ribu rupiah.
"Medali emas saya pernah jual Rp 100 ribu, bahkan ada yang nawar dibawah itu yang penting bisa untuk makan," Anggo mengakui.
Nasi putih tanpa sayur dan lauk, kerap menghiasi piring putih di rumahnya untuk menyambung hidup. Bahkan pemuda ini selalu bersyukur karena Tuhan masih memberinya makan. Ada satu hal pesan orang tuanya yang ia ingat sampai saat ini.
"Orangtua saya pesen ke saya, kamu boleh kerja apa aja yang penting halal tidak mencuri dan meminta minta," jelasnya.
Mulai dari buruh serabutan, mekanik, kuli ladang di hutan ia lakukan selama itu halal. Untuk sehari biasanya Anggo mendapatkan uang Rp 100 ribu untuk sekali kerja. Namun, jika dikalkulasi selama sebulan penghasilannya hanya berkisar Rp 800 hingga Rp 900 ribu.
"Tidak mesti dapatnya, tapi biasanya harian Rp 100 ribu untuk satu hari kerja, tapi yang namanya serabutan kan gak tiap hari kerja hanya ketika ada panggilan saja," dia menuturkan.
Advertisement
Sempat Kuliah namun Kandas
Entah apa yang menyebabkan kariernya terhenti sebagai atlet dayung. Namun, kondisi kehidupannya sebagai buruh serabutan membuat ia harus berjuang merubah nasib.
Seakan tak rela, jika usianya yang masih muda harus berdiam diri. Ia kemudian mencoba mengubah keadaan dengan melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Yayasan Bank Pembangunan Kalteng pada tahun 2016.
Namun nasib berkata lain tak berselang lama, pendidikan yang ia idam idamkan itu harus kandas akibat persoalan biaya. Piagam dan medali yang ia pernah peroleh, nampaknya tidak dapat jadi penolongnya untuk mendapatkan pendidikan yang ia idamkan saat itu.
Kecewa bercampur sedih, kondisi Anggo yang harus berjuang untuk hidup, bahkan ia sering tak memiliki uang sama sekali. Ada harapan Anggo yang terselip kepada pemangku kebijakan baik di daerah maupun pusat ketika itu, namun nampaknya hal itu ia anggap sia sia, karena tak mempunyai akses langsung dengannya.
"Saya berharap kepada pemerintah untuk memberikan beasiwa ataupun pelatihan keterampilan lainnya kepada para mantan atlet, sehingga tidak ada kesan ditinggalkan setelah masa kejayaan," ungkapnya sambil tertunduk malu.
Anggo adalah sepenggal kisah dari potret altet Indonesia yang berhasil mendulang kemenangan, namun kehidupannya sangat memprihatinkan.
Sambil menatap ke langit, nampaknya matahari perlahan mulai terbenam dan bumi sudah mulai gelap. Anggo pun melontarkan kalimat pamungkas kepada liputan6.com sebelum mengakhiri perbincangan "Hidup akan terus berjalan, dan kita butuh makan," Anggo mengakhiri.