Spanduk Bertuliskan Perempuan Sumatera Utara Lawan Deforestasi Terapung di Danau Toba

Spanduk raksasa bertuliskan "Perempuan Sumatera Utara Lawan Deforestasi" sempat terapung di atas Danau Toba. Spanduk dibentangkan sejumlah aktivis serta para perempuan pedesaan Toba.

oleh Reza Efendi diperbarui 21 Jul 2022, 09:24 WIB
Diterbitkan 21 Jul 2022, 09:23 WIB
Spanduk di Danau Toba
Spanduk raksasa bertuliskan “Perempuan Sumatera Utara Lawan Deforestasi” sempat terapung di atas Danau Toba pada Rabu, 20 Juli 2022 (Istimewa)

Liputan6.com, Parapat Spanduk raksasa bertuliskan "Perempuan Sumatera Utara Lawan Deforestasi" sempat terapung di atas Danau Toba. Spanduk dibentangkan sejumlah aktivis serta para perempuan pedesaan Toba.

Lewat aksi tersebut, mereka menyampaikan pesan kepada para partisipan W20 Summit di Parapat, betapa pentingnya menjaga hutan dan hak-hak masyarakat adat, khususnya perempuan adat dari ancaman deforestasi dan eksploitasi lahan.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji mengatakan, aksi yang mereka lakukan adalah bentuk penyampaian aspirasi bahwa pertemuan W20 Summit yang mengedepankan isu kesetaraan dan diskriminasi gender, ekonomi inklusif, perempuan marjinal dan kesehatan, seharusnya juga berkaca pada apa yang terjadi di hutan Sumatera Utara (Sumut) dan sekitarnya.

"Banyak masyarakat adat, khususnya perempuan adat dan pedesaan terpaksa kehilangan ruang hidupnya akibat perampasan tanah dan hutan yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar, demi meraup keuntungan semata," kata Sekar, dalam keterangan diperoleh Liputan6.com, Kamis (21/7/2022).

Diterangkannya, perempuan adat di tanah Sumut dan hampir seluruh wilayah Indonesia telah lama menjadi korban akibat ketimpangan struktural dan pembangunan eksploitatif yang tidak memperhatikan aspek gender.

"Berbagai program pembangunan telah menimbulkan konflik sosial serta kehancuran lingkungan hidup yang kemudian mengesampingkan dan bahkan melanggar hak-hak perempuan," tegasnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Kelompok Rentan

Spanduk di Danau Toba
Aksi para aktivis (Istimewa)

Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Rocky Pasaribu menerangkan, perempuan adalah kelompok yang paling rentan kehilangan sumber penghidupan akibat kasus penghancuran hutan dan perampasan lahan, serta seringkali juga mengalami kekerasan di wilayah-wilayah konflik agraria.

"Meskipun Presiden Jokowi telah menyerahkan 4 SK Hutan Adat di Danau Toba pada awal Februari 2022, namun belum menjawab persoalan masyarakat adat di Danau Toba," ucapnya.

Disebutkan Rocky, masih banyak konflik agraria yang belum diselesaikan dengan serius, atas nama pembangunan perampasan tanah terus terjadi. Selain perampasan tanah adat, kerusakan hutan dan lingkungan juga tidak serius ditangani.

"Perampasan tanah merupakan pemiskinan struktural, dan berkontribusi besar memperburuk kualitas hidup perempuan," sebutnya.

Kerusakan Lingkungan

Spanduk di Danau Toba
Spanduk berukuran besar dibentangkan di Danau Toba (Istimewa)

Tak hanya itu, lanjut Rocky, kerusakan lingkungan hidup yang terjadi menyebabkan krisis iklim yang menyulitkan para petani untuk menentukan musim tanam. Para petani juga seringkali mengalami gagal panen akibat buruknya cuaca yang tidak dapat diprediksi.

"Pada pertengahan 2020, datang ancaman baru seiring lahirnya proyek pangan skala besar atau Food Estate," ujarnya.

Menurut Rocky, proyek Food Estate yang digadang-gadang sebagai program ketahanan pangan untuk menangani krisis pangan di masa yang akan datang tersebut, nyatanya malah menghilangkan budaya, pengalaman, dan pengetahuan perempuan dalam corak pertanian lokal.

"Mereka harus berpatokan pada sistem pasar yang ditentukan pemerintah dan korporasi besar. Proyek ini sama halnya dengan proyek pertanian sebelumnya, hanya akan melahirkan konflik baru, industrialisasi pangan yang mengenyampingkan masyarakat, serta monopolisasi lahan-lahan pertanian dengan skema yang tampak baik di permukaan saja," paparnya.

Penanganan Krisis Iklim

Spanduk di Danau Toba
Lewat aksi tersebut, aktivis menyampaikan pesan kepada para partisipan W20 Summit di Parapat, betapa pentingnya menjaga hutan dan hak-hak masyarakat adat, khususnya perempuan adat dari ancaman deforestasi dan eksploitasi lahan.

Rocky juga menuturkan, negara anggota G20 yang merupakan forum ekonomi utama dunia, di mana secara kolektif mewakili dua per tiga atau sekitar 65 persen penduduk dunia, 79 persen perdagangan global, dan setidaknya 85 persen perekonomian dunia memiliki posisi strategis bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan penanganan krisis iklim.

Indonesia sebagai pemegang Presidency G20 harus memastikan ada kesepakatan yang lebih ambisius yang harus dicapai untuk mengedepankan model pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dengan beralih ke energi terbarukan yang berkeadilan.

"Serta menghentikan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang berbasis lahan yang mendorong deforestasi, merampas hak-hak masyarakat adat dan petani, serta hanya menguntungkan segelintir elit," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya