Liputan6.com, Bandung - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Tri Joko Her Riadi menilai, sejumlah pasal bermasalah dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) adalah ancaman serius bagi kebebasan pers, dapat membuat takut dan mengikis sikap kritis jurnalis.
Beberapa pasal dalam RKUHP dianggap menjerumuskan pers pada delik pidana. Ketika pers dimasukkan dalam delik pidana, maka kerja pers yang di antaranya memikul keharusan mengawal demokrasi, mengawasi kinerja pemerintahan, menjadi sangat rentan sebab jurnalis semakin gampang dibui.
Baca Juga
Ancaman pidana dianggap sangat mungkin membuat jurnalis menjadi takut meliput. Pada gilirannya, ketakutan tersebut kemudian bisa kian melunakkan kerja-kerja kritis pers.
Advertisement
"Yang berbahaya adalah kehilangan sikap kritis. Padahal sikap itu bekal utama jurnalis. Kita bisa membuat liputan yang tajam, membuat reportase yang kuat karena itu (kritis)," ungkap Joko kepada wartawan dan awak pers mahasiswa, usai mimbar bebas kebebasan ekspresi, di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, (20/8/2022).
Joko menegaskan, berdasarkan kajian yang dilakukan AJI bersama akademisi hukum, setidaknya ada 19 pasal pengancam serius kebebasan pers dan juga kebebasan berekspresi.
Pertama pasal 188 (tentang penyebaran dan pengembangan Komunisme, Marxisme-Leninisme), pasal 218, 219, 220 (tentang harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden), pasal 240-241 (penghinaan terhadap pemerintah), pasal 263 (tentang berita bohong), pasal 264 (tentang berita tidak lengkap, tidak pasti dan berlebih-lebihan).
Selanjutnya, pasal 280 (tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan), pasal 302, 303 dan 304 (tentang agama dan kepercayaan), pasal 351 dan 352 (tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara), pasal 440 (tentang penghinaan ringan), pasal 437 (tindak pidana pencemaran), pasal 443 (tindak pidana pencemaran orang mati), dan pasal 598-599 (tindak pidana tentang penerbitan dan percetakan).
"Pasal-pasal itu menempatkan pers dalam delik pidana, itu ancaman besar," kata Joko.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Kode Etik Jurnalistik
Menurutnya, pers mestinya cukup tunduk pada kode etik jurnalistik. Semua yang melingkup tentang pers cukup didasarkan pada Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999 yang bersifat lex specialis, aturan khusus atau aturan istimewa.
Secara spesifik, sambung Joko, jurnalis tidak bisa dipidanakan karena kerja dan karya jurnalistiknya. Permasalahan yang menyangkut kerja maupun karya jurnalistik bisa diselesaikan dengan mekanisme yang berlaku dalam undang-undang tersebut, seperti diadukan ke Dewan Pers.
"Tapi itu yang dalam RKUHP ingin diubah," ungkap Joko.
AJI Bandung pun turut menyuarakan agar RKUHP tidak buru-buru disahkan. Mereka medesak DPR RI dan pemerintah mencabut 19 pasal bermasalah, juga mendengar dan mengakomodasi masukan dari publik. Joko mengingatkan bahwa masyarat luas sejatinya turut dirugikan ketika pers dilemahkan, hak publik untuk mendapatkan informasi bisa terhalangi.
"Yang ikut terenggut juga adalah kebebasan berekspresi. Yang berada di jalur advokasi, aktivis, bahkan seni sangat rentan," kata Joko. "Kalau pasal-pasal ini lolos yang juga dirugikan adalah adalah publik, tidak semata-mata jurnalis. Jurnalis ini kan harus bekerja untuk publik, sehingga kalau jurnalis takut meliput secara tajam maka warga pun terdampak," imbuhnya.
Advertisement