Liputan6.com, Palu - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sulteng menyebut pengembalian uang suap penerimaan calon Bintara Polri Rp4 miliar ke orangtua calon siswa (casis) oleh Polda Sulteng, menyalahi aturan karena dilakukan sebelum ada proses pengadilan.
Baca Juga
Advertisement
Hal tersebut ditegaskan Direktur LBH Sulteng, Julianer menanggapi penanganan kasus suap penerimaan bintara polri oleh Polda Sulteng yang telah berlangsung sejak 28 Juni,2022.
Pengembalian barang bukti suap miliaran rupiah ke orangtua casis disebut menguatkan dugaan, adanya upaya mengatur proses hukum kasus yang melibatkan oknum polisi Briptu D itu agar tidak berlanjut.
“Sebagai barang bukti gratifikasi maupun korupsi, pengembalian hanya bisa dilakukan setelah ada putusan pengadilan. Kalau sudah dikembalikan bisa jadi kasusnya mau dihentikan,” Julianer menjelaskan di kantornya, Senin (22/8/2022).
Julianer merujuk pada Undang-Undang No. 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap dan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
LBH Sulteng juga mengkritik penanganan kasus itu yang masih berkutat seputar pelanggaran kode etik. Julianer bilang proses pidana bisa dilakukan bersamaan dengan itu.
Karena itu LBH berencana melaporkan penanganan kasus itu ke penegak hukum lain seperti Mabes Polri, KPK, maupun Kejaksaan.
“Kami ingin adanya transparansi penanganan kasus ini. Kasus Irjen Ferdy Sambo saja bisa terungkap kurang dari sebulan, kok ini bisa lebih lama?,” kata Julianer.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Bongkar Dalangnya!
Tak hanya LBH Sulteng, Pengamat Hukum Pidana Universitas Tadulako (Untad), Harun Nyak Itam Abu, juga menyebut upaya pihak Polda Sulteng mengembalikan uang yang diduga terkait gratifikasi dalam penerimaan calon siswa (casis) bintara Polri adalah hal yang keliru.
"Uang itu adalah barang bukti maka keliru kalau dikembalikan ke pihak yang memberikan dalam hal ini adalah orang tua casis," kata Harun.
Ia menjelaskan dugaan pemberian gratifikasi atau suap tersebut, masuk dalam kategori Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi junto UU Nomor 20 tahun 2001 yang di dalamnya mengatur 30 rumusan perbuatan korupsi.
Harun menjelaskan 30 rumusan itu jika dipadatkan hanya akan mendapatkan tujuh jenis perbuatan korupsi di antaranya pemberian gratifikasi atau suap.
"Temuan dugaan uang gratifikasi itu senilai Rp4,4 miliar adalah barang bukti tindak pidana seharusnya disimpan dan dibawa ke pengadilan, kecuali setelah ada keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, maka boleh dikembalikan," jelasnya.
Menurut dia, Polda Sulteng masih harus membongkar dalang dari tindak pidana pemberian gratifikasi casis Bintara Polri gelombang kedua tersebut karena menjadi atensi publik.
Harun mendorong Polda setempat tidak hanya mengkategorikan pemberian gratifikasi tersebut sebagai pelanggaran kode etik, tetapi lebih dari itu membawa kasus tersebut ke ranah pidana.
"Perkara itu tidak boleh disederhanakan menjadi pelanggaran kode etik, tetapi oknum polisi itu harus menjalani proses di pengadilan untuk menemukan siapa dalang dari perkara tersebut. Hal ini juga akan menjadi momentum Polri mengembalikan citra positif di mata publik," tutupnya.
Advertisement