Liputan6.com, Serang - Pemerintah tengah mengejar pengesahan draft Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP akhir 2022 ini. Namun setidaknya, masih ada 14 isu krusial yang menjadi polemik dan pembahasan.
Isu krusial yang masih dibahas antara pemerintah dengan DPR dan menjadi polemik di masyarakat dipaparkan oleh Wamenkumham, Edward Omar Sharif Hiariej, dalam sebuah dialog di Untirta Banten.
Advertisement
Baca Juga
"Itu mengatur banyak hal, kita harus mendengarkan aspirasi publik terkait materi-materi di RKUHP ini, jadi pembahasannya jangan tergesa-gesa, tetapi perlahan tapi pasti. Ada sekitar 14 isu, tapi itu sudah kita peras mungkin tidak banyak isu lagi yang akan dibahas," ujar Wamenkumham, Edward Omar Sharif Hiariej, di Untirta Banten, Kota Serang, Senin (26/09/2022).
Isu krusial pertama yang diungkap Wamenkumham di kampus Untirta Banten, Kota Serang yakni, Living Law di Pasal 2 dan 601 RKUHP. Memuat bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat yang masih hidup dan masuk dalam delik aduan.
Penegakan hukum pidana adat dianggap memberikan kepastian hukum. Sanksinya, pemenuhan kewajiban adat di Pasal 601, yang dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II atau Rp 10 juta dan dapat dikenakan pidana pengganti berupa ganti rugi jika kewajiban adat setempat tidak dijalankan, sesuai Pasal 96 RKUHP.
Kemudian isu kedua, pidana mati di Pasal 67 dan 100 RKUHP, menjelaskan bahwa pidana khusus yang diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir. Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun dengan mempertimbangkan rasa penyesalan dan ada harapan memperbaiki diri.
Selanjutnya isu krusial ketiga yakni Pasal 218 RKUHP mengenai penghinaan presiden. Dalam bahan paparan Wamenkumham menjelaskan bahwa, pasal tersebut dibuat bukan untuk menghidupkan kembali Pasal 134 KUHP yang telah dianulir MK. Melainkan, sesuai pertimbangan putusan MK nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa dalam hal penghinaan ditujukan kepada presiden dan atau wapres selaku pejabat tetap bisa dituntut sebagai delik aduan dengan pasal 207 KUHP.
Pasal tersebut juga diklaim tidak membatasi kritik dan kebebasan berpendapat, karena telah membedakan kritik dan penghinaan, sekaligus menegaskan bahwa kritik dimaksudkan untuk kepentingan umum sehingga tidak bisa dipidana.
Selanjutnya yang keempat, pasal 252 RKUHP yang membahas kepemilikan kekuatan gaib oleh seseorang, seperti santet, guna-guna, dan lain-lain. Dalam penjelasannya, RKUHP sama sekali tidak mengatur pidana santet, yang dapat dipidana adalah orang yang mengaku memiliki kekuatan gaib dan dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik.
Isu kelima yakni, penghapusan pasal tentang dokter dan atau dokter gigi yang menjalankan praktik tanpa izin, karena telah diatur dalam Undang-undang (UU) praktik kedokteran nomor 29 tahun 2004 Pasal 76.
Pasal Unggas Masuk Kebun
Isu keenam yaitu, membiarkan unggas merusak kebun atau tanah yang telah ditaburi benih yang menimbulkan kerugian, di Pasal 277 RKUHP. Sebelumnya juga sudah diatur dalam KUHP Pasal 548.
Selanjutnya isu ketujuh, mengenai tindak pidana gangguan dan penyesatan proses peradilan atau contempt of court di Pasal 280 RKUHP. Membahas mengenai ketertiban persidangan, melindungi integritas dan wibawa peradilan. Pasal itu juga diklaim tidak mengurangi kebebasan jurnalis untuk memublikasikan berita persidangan.
Isu kedelapan mengenai penghapusan tindak pidana advokat curang, karena berpotensi menimbulkan diskriminasi dan bias terhadap advokat, yang berprofesi sebagai salah satu penegak hukum.
Kesembilan, tindak pidana penodaan agama di atur dalam Pasal 302 RKUHP, yang dilarang dalam paska tersebut adalah perbuatan menunjukkan permusuhan, kebencian, hasutan untuk melakukan permusuhan, kekerasan, diskriminasi terhadap agama dan kepercayaan orang lain. Kesepuluh, tindak pidana penganiayaan hewan di Pasal 340 ayat 1 RKUHP. Sebelumnya, sudah diatur dalam Pasal 302 KUHP.
Advertisement
Larangan Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan
Kesebelas, larangan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan kepada anak diatur dalam Pasal 412 RKUHP. Sebelumnya sudah diatur dalam Pasal 534 KUHP dan Pasal 535 KUHP. Berguna untuk melindungi anak dari pergaulan seks bebas.
Kedua belas, gelandangan yang mengganggu ketertiban umum bisa dipidana dalam Pasal 429 RKUHP. Ketiga belas, mengatur mengenai aborsi di Pasal 467 RKUHP. Pasal itu dikecualikan jika ada kedaruratan medis atau korban pemerkosaan, dengan usia kehamilan tidak lebih dari 12 minggu.
Terakhir, tindak pidana perizinan di Pasal 415 RKUHP, kohabitasi di Pasal 416 dan perkosaan dalam perkawinan di Pasal 477 RKUHP. Masuk dalam delik aduan yang hanya dapat diproses bila ada pengaduan dari pasangan. Pasal tersebut juga melengkapi pasal 477 RKUHP dengan tindak pidana marital rape yang diatur dalam Pasal 53 UU PKDRT.