Mengenang Liberty Manik, Komponis Batak Pencipta Lagu 'Satu Nusa Satu Bangsa'

Sebagai komponis dan pencipta lagu, karya Liberty Manik selalu dikenang dan dinyanyikan di tanah air berjudul Satu Nusa Satu Bangsa.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 28 Okt 2022, 06:00 WIB
Diterbitkan 28 Okt 2022, 06:00 WIB
Liberty Manik
Liberty Manik. (Foto: Youtube)

Liputan6.com, Bandung - Nama Liberty Manik tercatat dalam buku sejarah Indonesia. Sebagai komponis dan pencipta lagu, karyanya selalu dikenang dan dinyanyikan di tanah air berjudul Satu Nusa Satu Bangsa.

Lagu Satu Nusa Satu Bangsa sendiri sudah akrab di telinga rakyat Indonesia, karena lagu tersebut mudah dinyanyikan semua orang. Liriknya sederhana, tetapi mengandung arti nasionalisme yang mendalam.

Lagu tersebut merupakan pengalaman batin Liberty Manik akan peristiwa-peristiwa pascakemerdekaan yang mendorongnya menciptakan lagu Satu Nusa Satu Bangsa. Lagu wajib tersebut tepatnya diciptakan pada 1947 atau dua tahun setelah Proklamasi Indonesia yang bertujuan guna mempersatukan seluruh masyarakat Indonesia agar terhindar dari segala bentuk separatisme.

Semasa hidupnya, Liberty Manik menciptakan tidak kurang dari enam lagu-lagu Indonesia. Sebanyak dua diantaranya bernapaskan nasionalisme yaitu lagu Satu Nusa Satu Bangsa dan Negara Jaya.

Semangat nasionalisme Liberty Manik yang dituangkan ke dalam bidang musik sebagai seorang seniman menjadikannya menerima penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma dari pemerintah Indonesia pada 1999.

Liberty Manik merupakan putra daerah Kabupaten Dairi, Sumatera Utara yang lahir pada 21 Nopember 1924 di Desa Huta Manik, Kecamatan Sumbul Pegagan.

Munculnya para pemusik daerah di Tapanuli dengan latar belakang pengetahuan musik gereja misionaris Jerman yang cukup handal. Adapun mereka antara lain, Cornel Simanjuntak, Amir Pasaribu, J A Dungga, Binsar Sitompul, W Lumban Tobing dan Liberty Manik itu sendiri.

Para pemusik ini beranggapan bahwa musik nasional tidak boleh dibangun di atas budaya musik Jawa saja, musik diatonis lebih terbuka bagi umum di lapisan masyarakat dengan berbagai kebhinekaannya.

Liberty Manik adalah doktor pertama bidang musik di Indonesia yang lulus dengan predikat Magna cum laude dari Freie Universitat Berlin, Jerman. Beliau mendapat penghormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie pada 1999 pada saat penobatannya sebagai Guru Musik.

Biografi Singkat

Liberty Manik memiliki tiga saudara perempuannya. Mereka yakni Sukut Manik, Jamu Manik, dan Harap. Ibu Liberty bernama Solat br (boru) Situmorang dan seorang ayahnya bernama Patiham Manik.

Liberty lahir dari keluarga yang berstatus sosial yang baik. Patiham Manik menjabat sebagai Kepala Kampung Huta Manik. Patiham mempunyai tiga istri yaitu Diung br Padang, Solat br Situmorang dan Annaria br Simbolon sehingga Raja Patiham Manik dikarunia 11 anak yang terdiri dari 8 orang putri dan 3 orang putra.

Semasa hidupnya Liberty Manik dikenal sebagai sosok parhata sada atau seseorang yang berkemauan keras. Sejak kecil ia sudah memperlihatkan beberapa sifat yang menggambarkan kepribadian Liberty Manik yaitu seseorang yang percaya diri dan berjiwa bebas.

Sesudah menyelesaikan pendidikannya di HIS Sidikalang pada 1940, Liberty berkeinginan melanjutkan sekolah ke Pulau Jawa. Setelah lulus seleksi masuk HIK Muntilan, ia berangkat menuju ke sana menggunakan kapal laut yang kemudian bertemu dengan Cornel Simanjuntak atau yang lebih dikenal C Simanjuntak.

Adapun Cornel Simanjuntak telah belajar satu tahun lebih dulu di HIK Muntilan. HIK Xaverius College Muntilan sendiri dikenal sebagai sekolah pendidikan guru dan menempatkan musik sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang pokok dalam kegiatan pembelajaran siswa.

Pada 1942, kedatangan Jepang ke Indonesia menyebabkan sekolah HIK Muntilan terpaksa ditutup karena guru-guru yang berkebangsaan Belanda harus pulang jika tidak ingin ditawan Jepang. Hal tersebut menyebabkan siswa-siswa tidak bisa melanjutkan sekolah dan tidak bisa pulang kampung apalagi bagi siswa-siswa perantau.

Jika Cornel Simanjuntak bekerja menjadi pengajar di sekolah dasar di Magelang, Liberty Manik menjadi penyanyi dan pemain biola pada siaran Radio Semarang (Semarang Hoyokyooku). Hidup di zaman pascakemerdekaan menjadi pengalaman yang tidak pernah bisa dilupakan begitu saja.

Liberty Manik yang ketika itu masih sebagai pemuda turut merasakan bagaimana kolonial dan pendudukan Jepang berusaha merusak kemerdekaan Indonesia yang baru saja diperoleh. Belanda dengan politik memecah belahnya dan Jepang dengan propaganda 3A mencoba menggoncangkan kesatuan Indonesia yang baru saja dinyatakan melalui Proklamasi Kemerdekaan.

Pengalaman batin tersebut menggugah Liberty Manik untuk menciptakan suatu lagu yang berjudul Satu Nusa Satu Bangsa yang bertujuan mengikat kemajemukan Indonesia menjadi satu. Dengan harapan lagu tersebut bisa menjadi suatu doa guna menopang kemerdekaan tersebut.

Meninggal di Yogyakarta

Pada 1954, Lembaga Kerjasama Kedutaan Indonesia- Belanda (Sticusa) mengundang Liberty Manik untuk belajar musik dari seorang komponis Belanda, Kees Kef di Amsterdam. Kemudian pada 1955, ia berangkat menuju Wuppertal-Barmen untuk mempelajari Musik Gerejawi pada “Landeskirchen Musik Schule im Rheinland” atas undangan dari Rheinische Missions Gesellschapt (RMG) dan sekarang berubah nama menjadi Vereinigte Evangelische Mission (VEM).

Pada akhir 1959, atas dukungan Kedutaan Besar Repubik Indonesia di Bonn, Liberty Manik memperoleh beasiswa dari Deutscher Akademi Scher Austavschdienst (DASA) untuk melanjutkan studinya ke Freie Universitat di Berlin Barat.

Liberty Manik yang sering dikenal sebagai komponis merupakan sesorang intelektual yang gigih belajar dan selalu haus memperluas wawasannya, baik dalam bidang ilmu yang ditekuninya maupun isu-isu yang berkembang di masanya.

Liberty Manik meninggal dunia di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta setelah beberapa hari dirawat di sana akibat menderita pendarahan usus dan diketahui melalui aktivitas saling mengirim surat dengan Situngkir, keponakannya.

Liberty memang sudah mengalami sakit-sakitan dimulai 1981 hingga akhir hayatnya pada 1993. Setelah upacara adat Batak dilaksanakan pada 17 September 1993 di kediamannya Melati Glondong, Jalan Magelang, Yogyakarta, jenazahnya disemayamkan di Aula Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ia dimakamkan di Taman Makam Seniman Imogiri, Bantul.

Ciptaan Liberty Manik tidak kurang dari enam lagu, yaitu Satu Nusa Satu Bangsa, Desaku Yang Kucinta, Pantai Sepi, Di Laut, Tamanku dan Negara Jaya. Di samping itu, beliau aktif menerjemahkan lagu-lagu rohani rakyat daerah Simalungun, Pakpak dan Karo serta lagu rohani yang berasal dari Eropa.

Namun di luar itu, Liberty ternyata juga seorang filolog atau ahli bahasa kuno. Kemampuannya adalah mentranslasi teks yang ditulis dalam aksara Batak. Kemampuannya itu terungkap ketika pemerintah Jerman pernah memanfaatkan jasanya untuk kebutuhan kearsipan di negara itu.

Berkat Liberty, sekarang setidaknya ada 500 arsip teks Batak Jerman sementara di Indonesia sendiri kurang lebih hanya 100 buah. Selain itu, Liberty Manik juga rajin mendokumentasikan musik gondang. Dokumentasinya itu juga menjadi bagian dari arsip Batak yang dimiliki Jerman.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya