Liputan6.com, Aceh - Sejumlah personel kepolisian bersenjata ditempatkan di kantor Partai Aceh di Banda Aceh, sejak Jumat pagi (2/12/2022). Oleh Juru Bicara pusat partai lokal itu, aksi kepolisian ini disebut sebagai tindakan "pengepungan" yang arogan dan militeristik.
Video dan foto yang dikirimkan oleh Nurzahri memperlihatkan puluhan petugas terdiri dari aparat kepolisian dan satuan polisi pamong praja berbaris di depan ruko yang menjadi kantor kepartaian.
"Tidak ada keterangan yang jelas terkait penyebab pengepungan tersebut. Informasi yang diberikan oleh para petugas juga kabur," jelas Nurzahri dalam keterangan persnya, Sabtu malam (3/12/2022).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Nurzahri, pihaknya cuma diperlihatkan surat tugas atas nama Polda Aceh tanpa keterangan lebih lanjut. Salinan surat pun tidak diberikan kepada pihak Partai Aceh apalagi surat pemberitahuan secara resmi.
Nurzahri menerima bocoran bahwa penempatan para personel gabungan itu akan berakhir pada 6 Desember ini. Sejauh yang diketahui, tindakan kepolisian ini berkaitan dengan hari milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diperingati setiap 4 Desember.
"Kami dari pengurus Partai Aceh tentunya sangat berkeberatan dengan tindakan pengepungan yang tidak berdasar ini," tegas Nurzahri.
Partai Aceh, tambah dia, merupakan lembaga politik resmi yang diakui oleh Pemerintah RI. Artinya, tindakan penempatan personel kepolisian bersenjata di kantor PA ini dinilai melecehkan, seolah di tempat itu terdapat hal yang membahayakan keamanan negara.
"Seharusnya, setelah 17 tahun perdamaian, pola militeristik dengan pendekatan bersenjata tidak lagi menjadi pilihan pihak kepolisian dalam melakukan tindakan terkecuali dalam kasus-kasus kriminal," tegasnya.
Â
Saksikan Video Pilihan Ini:
Penjelasan Polda Aceh dan Sanggahan KontraS
Sebaliknya, Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Winardy, menyanggah bahwa penempatan personel ke Kantor PA sebenarnya merupakan bagian dari bentuk pengamanan objek vital jelang tanggal 4 Desember ini-yang juga dilakukan di kantor-kantor PA kabupaten/kota.
"Agar tidak ada kejadian-kejadian yang bisa menyulut dan membuat persepsi publik menjadi ketidakstabilan keamanan dan ketertiban," terang Winardy, Sabtu malam.
Sementara itu, dari pihak lembaga kemanusiaan, Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, merespons bahwa keputusan menaruh aparat berseragam dan bersenjata untuk berjaga di kantor partai lokal merupakan tindakan melawan demokrasi.
"Kepolisian harusnya humanis dalam merespons 4 Desember ini. Mereka bisa menggunakan pendekatan musyawarah dan diskusi jika dianggap mengancam stabilitas negara bukan malah mengepung kantor partai," ujar Husna.
Selain itu, dalih kepolisian yang menyebut bahwa beleid tersebut bertujuan untuk mengamankan objek vital seperti kantor kepartaian, dinilai tidak tepat. Kantor PA tidak termasuk kategori objek vital negara, maka tindakan pengamanan harusnya berdasarkan atas persetujuan si tuan rumah atau berdasarkan permintaan.
"Bagaimana bisa mengamankan suatu tempat tanpa adanya permintaan dari yang punya tempat. Kalau pun dilakukan atas dasar pengamanan dengan dalih stabilitas maka harus melalui proses penetapan oleh kementerian terkait," tegas Husna.
Selain itu, tambah Husna, membawa senjata dapat melahirkan kesan militerisme yang kuat bagi masyarakat Aceh yang pernah terhembalang dalam konflik pada masa lalu.
Apalagi, di sini ada dua buah simbol konflik masa lalu, yaitu PA yang notabene lekat dengan GAM,dan kepolisian yang lekat dengan militer, yang berada di satu tempat yang sama, yang bisa memicu orang untuk bertanya-tanya tentang apa yang terjadi.
"Ini seperti travel time, membawa orang merasakan kondisi di masa lalu," tegas Husna lagi.
Husna sendiri juga mendesak agar Kompolnas melakukan pemeriksaan terhadap aksi yang dilakukan oleh Polda Aceh. Apabila beleid Polda Aceh mengikuti rantai komando dari Kapolri, maka evaluasinya harus menjamah struktur pusat agar reformasi di tubuh Polri bukan cuma isapan jempol belaka.
Advertisement