Menjelajahi Kampung Ketandan, Pecinan Yogyakarta yang Jadi Simbol Akulturasi Budaya

Kampung Ketandan lahir pada akhir abad ke-19

oleh Switzy Sabandar diperbarui 14 Des 2022, 06:00 WIB
Diterbitkan 14 Des 2022, 06:00 WIB
Kisah Ketandan, dari Rumah Kapiten Cina Jadi Kampung Pecinan
Ketandan menyimpan jejak seorang keturunan Tionghoa yang menjadi bupati di wilayah Yogyakarta. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Kampung Ketandan merupakan saksi sejarah akulturasi budaya, yakni Tionghoa, Keraton, dan warga Kota Yogyakarta. Kampung ini berlokasi di Jalan Ahmad Yani, Jalan Suryatmajan, Jalan Suryotomo, dan Jalan Los Pasar Beringharjo.

Mengutip dari warta.jogjakota.go.id, sejak 200 tahun lalu, daerah ini menjadi tempat tinggal masyarakat Tionghoa sekaligus menjadi tempat mereka mencari nafkah. Oleh karena itu, tempat ini diakui sebagai awasan pecinan Kota Yogyakarta.

Kampung Ketandan lahir pada akhir abad ke-19. Pada masa itu, kawasan ini dikenal sebagai pusat permukiman orang Cina.

Pemerintah Belanda kemudian menerapkan aturan pembatasan pergerakan (passentelsel) serta membatasi wilayah tinggal Tionghoa (wijkertelsel). Namun, dengan izin Sri Sultan Hamengku Buwono II, warga Tionghoa tetap dapat menetap di tanah yang terletak di utara Pasar Beringharjo ini. Hal itu dilakukan dengan alasan warga Tionghoa turut memperkuat aktivitas perdagangan dan perekonomian masyarakat.

Arsitektur bangunan di kawasan ini masih didominasi nuansa tempo dulu. Banyak rumah yang dibangun dua lantai dengan desain memanjang ke belakang.

Rumah-rumah ini biasanya digunakan sebagai toko sekaligus rumah tinggal pemilik. Sebagian besar penduduk di sini berprofesi sebagai pedagang emas dan permata, toko kelontong, toko herbal, kuliner, dan berbagai toko penyedia kebutuhan pokok.

Menjelang 1950-an, hampir 90% penduduk di kasasan ini mulai beralih usaha ke toko emas. Pada 1955, toko emas pertama di Yogyakarta berdiri dikawasan ini.

Sejak 200 tahun lalu, masyarakat Tionghoa memang sangat berperan dalam penguatan kegiatan perekonomian Yogyakarta. Mereka bisa membaur dengan pedagang pasar, pedagang Malioboro, hingga warga Yogyakarta pada umumnya.

Hingga saat ini, pecinan Yogyakarta masih menjadi salah satu pusat keramaian yang selalu dikunjungi para penggiat ekonomi. Selain di Ketandan, beberapa warga Tionghoa juga ada yang tinggal di Beskalan dan Pajeksan.

Pemerintah Kota Yogyakarta kemudian menetapkan Kampung Ketandan sebagai daerah cagar budaya kawasan Pecinan yang akan dikembangkan terus menerus. Bangunan Tionghoa yang sudah rapuh, didorong renovasinya dengan tetap mempertahankan arsitekstur khas Tionghoa.

Bahkan bangunan baru yang akan atau telah dibangun juga diusulkan agar berasitektur Tionghoa. Sementara itu, bangunan-bangunan di Kampung Ketandan yang asli umumnya memiliki atap berbentuk gunungan.

Namun, seiring perkembangannya, atap-atap tersebut direnovasi menjadi berbentuk lancip. Perubahan bangunan atap ini menunjukkan telah terjadi akulturasi budaya China dengan kebudayaan Jawa.

Sejak 2006, Tahun Baru Imlek selalu disambut meriah di Kampung Ketandan Pecinan Yogyakarta, salah satunya dengan diadakan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY).

Nuansa Imlek akan terasa dengan adanya berbagai ornamen dan gapura berarsitektur Tionghoa. Tak lupa, beragam hoburan juga digelar, seperti panggung hiburan, seni barongsai, pasar kuliner, hingga Pawai Budaya Tionghoa di sepanjang Jalan Malioboro.

(Resla Aknaita Chak)

Saksikan video pilihan berikut ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya