Liputan6.com, Jakarta - Tandu ini sungguh berbahaya. Kerangkanya memang dari kayu, tapi alas kaki, alas duduk, dan sandaran punggungnya berupa bilah-bilah parang tajam terhunus. Orang yang naik ke atasnya niscaya mengalami luka fatal di kaki, tangan, dan bagian tubuh lain.
Bong Hun Bun alias Anga (68 tahun) santai saja naik ke tandu itu. Setelah mengguncang-guncangkan tandunya, dia lantas naik berdiri dan duduk di atas tandu sambil melakukan gerakan-gerakan tangan dan tubuh bak penari. Anehnya, tak ada luka segores pun.
Dia mengenakan pakaian kebesarannya. Tampak seperti raja atau karakter dewa dalam kisah klasik. Tak lama kemudian Anga berikut tandu dan tim pengiring bergerak ke jalanan menuju pusat Pemangkat, kota kecil di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Advertisement
Pada Senin 6 Februari 2023 itu Anga dan pengiring turut dalam pawai tatung seturut perayaan Cap Go Meh di sana. Di sepanjang perjalanan, Anga lebih sering duduk dan berdiri di atas tandu berbahaya itu. Di pusat kota dia bertemu dengan tatung lainnya dan pawai keliling kota.
Anga adalah salah satu tatung di daerah tersebut. Tatung adalah sebutan untuk orang-orang terpilih yang biasa menjadi media roh halus berinteraksi di alam nyata. Dalam bahasa populernya, tatung adalah sosok yang dirasuki roh halus sehingga bisa melakukan hal-hal di luar nalar. Badannya menjadi kebal benda tajam, misalnya.
"Kalau dalam keadaan normal, saya tidak berani naik tandu itu," kata Anga. "Tajam sekali."
Warga penganut Konghucu menyebut sosok gaib yang merasuk ke para tatung itu adalah dewa atau dewi. Ada juga datuk, yakni sosok gaib yang berdiam di daerah sekitar tapi di luar jajaran dewa. Tiap tatung memiliki dewa-dewa yang mendampingi dan kadang merasukinya.
Dalam perayaan Cap Go Meh itu, para tatung menunjukkan perilaku yang berbeda-beda tergantung ragam dewa masing-masing. Pakaian kebesaran yang dikenakan juga sesuai dewanya. Ada dewa perang, dewa bumi, Dewi Kwan Im, dewa anak-anak, juga datuk-datuk.
Ada kesamaan di antara mereka, yakni mampu melakukan hal-hal luar biasa saat trance atau kerasukan. Sebagian menusuk pipi dengan besi hingga tembus, menjilat parang terhunus, dan aksi yang standar adalah beraktivitas di atas tandu-tandu beralas pedang atau paku. Tak ada darah setetes pun.
Â
Anga sendiri paling sering kerasukan Dewa Trenggiling. Maka ada bordir trenggiling pada pakaian kebesarannya, juga di seragam tim pemanggul tandu dan pengiring. Selain Dewa Trenggiling, sosok gaib lain yang kadang masuk juga Dewa Kera, Dewa Perang, Dewa Bumi, dan datuk.
"Tergantung siapa yang dipanggil," kata Anga.
Namun pada momen acara-acara besar, semua sosok gaib tersebut 'standby' semua, dan bergantian merasukinya. Seperti saat festival saat itu, Anga sempat kerasukan Dewa Kera. Sesaat dia berperilaku bak kera. Tentu, kebal senjata juga.
Anga mengaku sudah menjadi tatung selama nyaris 40 tahun terakhir. Dia resmi terpilih di usia 30 tahunan, setelah bertahun-tahun sebelumnya mulai menunjukkan pertanda bakal menjadi tatung.
"Saat muda saya sering dianggap gila," tutur Anga. Saat masih berusia belasan tahun, Anga memang sering mengucapkan baris-baris kalimat atau syair yang dia sendiri kadang tidak paham maksudnya. Syair-syair itu seperti larik-larik narasi dalam kitab-kitab kuno.
Gejala itu menguat ketika Anga berusia sekitar 30 tahun. Dia sering sakit tanpa sebab dan sulit didiagnosa secara medis. Berbagai upaya pengobatan sudah ditempuh namun tak kunjung mendapatkan hasil.
Hingga akhirnya Anga dibawa berobat ke tatung senior. Di sana dia mendapat pemahaman bahwa menjadi tatung menjadi kunci kesehatan juga perubahan besar dalam hidupnya. Sejak itu Anga resmi menjadi tatung.
"Awalnya masih malu sama orang lain, kalau pas dewa mau masuk ke tubuh saya lari sembunyi di kamar," kata Anga.
Dia mengaku kehilangan kesadaran saat kerasukan. "Seperti tidur."Lambat laun Anga mulai terbiasa dan bisa mengendalikan diri. Seperti tatung yang lain, dia juga mulai menggunakan keistimewaannya itu untuk membantu orang lain, terutama mengobati orang-orang sakit.
Hingga kini, rumah Anga di Jalan Johor, Desa Sinam, Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat itu selalu didatangi orang-orang yang minta disembuhkan dari gangguan kesehatan. Keluhannya beragam mulai dari anak sakit sampai kena guna-guna atau santet.
Anga dan keluarganya tidak memungut bayaran untuk itu. Jika ada memberi diterima. "Kadang malah kami kembalikan kalau orang tidak mampu," kata Alip, salah satu anak Anga.
Sebagian orang yang sudah dibantu itu juga membalas dengan cara turut membantu melengkapi sarana tatung seperti tandu, kostum, altar di rumah, sampai untuk operasional kegiatan besar.
Anga memiliki 12 anak, dengan komposisi seimbang antara anak lelaki dan perempuan. Di luar kegiatannya sebagai tatung, sehari-hari Anga mengurus kebun dan tambak di dekat rumahnya.
Anga baru berperan menjadi tatung jika ada orang membutuhkan. Selain itu juga tiap ada perayaan besar seperti Cap Go Meh, atau ulang tahun dewa-dewa pendampingnya. Dalam menjalani peran sebaai tatung, ada sejumlah laku yang dijalani Anga. "Banyak," ucapnya. Salah satunya adalah pantang mengasup beberapa jenis makanan seperti olahan daging merah. Dari sisi pola makannya, mirip dengan vegetarian.
Selain pola makan, Anga juga seakan sulit bepergian. Jika hendak pergi jauh atau keluar pulau, dia seakan harus minta persetujuan dari para pendamping gaibnya.
"Paling repot kalau mengajak pergi jauh. Pernah sudah dibelikan tiket pesawat, sehari sebelumny langsung sakit dan tidak memungkinkan untuk jadi pergi," kata Alip.
Anga menyadari segenap konsekuensi itu. Keistimewaan yang disandangnya butuh pengorbanan. Bagi tatung, pengorbanan dan komitmen membantu sesama adalah 'jalan pedang' hidupnya.