Liputan6.com, Sukoharjo - Terdapat sebuah batu besar berbentuk mirip kubus yang memiliki sisi-sisi sama ukurannya yang memiliki cerita menarik untuk ditelusuri. Liputan6.com mendatangi desa tersebut dan mendapatkan asal muasal mengenai keberadaan punden di tengah Desa Tambakboyo, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo.
Punden itu diyakini oleh masyarakat adalah sebuah batu yang menjadi tempat bertapa Sunan Kalijaga. Seperti yang dikisahkan oleh Mbah Priyono (81), salah satu sesepuh desa yang menceritakan bahwa batu tersebut dahulu berada di pinggir aliran Sungai Bengawan Solo yang tidak jauh dari desa.
Mbah Priyono menuturkan batu tersebut juga sempat tidak bisa terangkat ketika hendak dipindahkan, hingga dalam cerita yang ia dengar dari pendahulunya yang bernama Setyo Wiyono.
Advertisement
Baca Juga
"Itu (punden) dulu berada di tepi Sungai Bengawan Solo, sesepuh yang menemukan mengajak warga musyawarah dan bicara 'piye nek watu ini dirawat' (gimana kalau batu ini kita rawat). Warga setuju dan berusaha memindahkannya," kata Priyono kepada Liputan6.com, Senin (4/9/2023).
Konon, batu tersebut menurut kepercayaan masyarakat setempat sempat berbicara kepada salah satu sesepuh desa meminta syarat agar bisa terangkat saat akan dipindahkan ke tengah Desa Tambakboyo. Batu tersebut berbicara meminta disiapkan seorang penarik ledek.
Penari Ledek atau Sinden
Permintaan batu tersebut didengarkan oleh sesepuh desa melalui wisik atau ilham yang kemudian disampaikan kepada seluruh masyarakat Desa Tambakboyo. Tak hanya meminta seorang penari ledek, batu itu menyebut sosok wanita yang harus menari di depan batu itu.
"Batu itu tidak bisa terangkat, tetapi sesepuh mendapatkan wisik batu bisa diangkat dan dilestarikan dengan syarat bisa diangkat pada Hari Jumat Kliwon," tutur Priyono.
Kedua diiringi dengan tayub (gamelan) dan diiringi ledek atau penari tayub (sinden), Priyono melanjutkan bahwa sindennya harus sesuai yang masuk dalam wisik sesepuh desa tersebut, yakni Nyai Sandung. Seperti diketahui pada masanya wilayah Solo Raya memang memiliki banyak penari-penari ledek.
Konon punden tersebut apabila berhasil dipindahkan bakal memberikan keamanan dan kesejahteraan untuk semua warga seperti dari ucapan wisik yang didengar sesepuh desa itu 'nek gelem ngopeni aku, ngerawat aku. aku sanggup gawe aman lan sejahtera warga'.
Siapa sangka, sesuai dengan wisik yang diterima dan kemudian dijalankan oleh warga masyarakat Desa Tambakboyo akhirnya batu tersebut bisa terangkat dan dipindahkan sesuai dengan tempat yang saat ini batu berada.
"Setelah diangkat, batu ini wajib dirawat oleh masyarakat Tambakboyo, difungsikan sebagai pepunden. Dikatakan keramat tetapi harus dihormati seperti danyang (penunggu)," ucap dia.
Sejak saat itu pula setiap tahunnnya pada hari Jumat Kliwon selalu diperingati sebagai malam tasyakuran atau diyakini masyarakat sekitar sebagai waktu yang pas meminta permohonan yang difasilitasi kuncen kepada batu itu dan diteruskan kepada maha pencipta. Maka, tak sedikit warga masyarakat yang berbondong-bondong hadir di tekpat punden berada menyampaikan keinginannya dengan membawa dua sisir pisang raja atau jenis apapun.
"Doa diminta kepada Tuhan apa yang dibawa (pisang) tadi ditinggal separo kalau dibawa 2 lirang yang 1 ditinggal yang 1 dibawa lagi. Ini orang Jawa berkahnya dari Tuhan melalui batu ini sangat besar, dan siapa saja boleh ke sini," ucap dia.
Advertisement
Abad ke-6
Menurutnya batu tersebut sudah ada sejak abad ke-16, tapi menurut data purbakala sudah ada sejak abad ke-6 peninggalan jaman dulu. Hal itu boleh dipercaya yang mana menurut keyakinan literasi yang diketahui oleh orang yang mengetahuinya.
"Pagar tembok ini batu batanya diangkat 5 orang tidak kuat, karena panjangnya 15 cm tingginya 15 cm. Batu itu ini namanya Guno Wijoyo bentuknya hampir mirip kubus. Dulu tengahnya ledok simbol perempuan batu ini tempat duduknya atau bertapanya Kanjeng Sunan Kalijaga," tutur dia.
Sementara tradisi tahunan yang dilakukan masyarakat Desa Tambakboyo terus dilakukan semenjak batu itu berada di tengah-tengah desa mereka, bahkan ketika masa Covid-19 lalu mereka tetap menjalankan tradisi meski dengan protokol kesehatan.
Warga masyarakat desa itu, Mbah Priyono menyebut acara tasyakuran mereka setahun sekali itu disebut dengan bersih kunden di mana warganya yang merantau di luar kota akan pulang ke kampung halaman untuk mengikuti tradisi tersebut.
"Satu hari sebelum ada bersih desa dengan mengadakan wayangan. Bersih kunden nanti ada tradisi tayuban yang diikuti oleh perangkat desa dan para pengantin dalam kurun waktu setahun ini. Kalau dulu banyak yang ikut sekarang tergantung orag yang sudah menikah pada tahun tersebut," ucap dia.
Keberadaan punden tersebut juga sudah mendapatkan pengakuan dari pemerintah, terbukti dengan sudah disahkannya batu tersebut sebagai salah satu cagar budaya dari Kabupaten Sukoharjo.Â
Cerita batu yang memiliki bentuk seperti kubus itu pelaksanaannya masih terus dilakukan tiap tahunnya, meski yang mengikuti tradisi tayubannya mulai tergerus oleh jaman. Mbah Priyono mengaku pada jaman dahulu yang terlibat sebagai ledek dalam tradisi tayuban biasanya diikuti oleh ratusan orang.
Rangkaian kegiatannya pun bertahap mulai dari acara budaya wayangan sebagai aplikasi bersih desa, dan syukuran yang dilakukan oleh pemuda-pemudi atau para perantau yang akan menyiapkan kegiatan seni campursari.