Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Betawi memiliki kekayaan budaya yang melimpah, salah satunya rebana biang. Rebana biang merupakan salah satu seni warisan budaya Betawi berupa rebana berukuran besar.
Tak hanya pada ukuran, alat musik ini juga memiliki perbedaan dengan rebana pada umumnya. Rebana biang hanya terdiri dari tiga rebana saja.
Tiga rebana tersebut adalah gendung, koyek, dan biang. Rebana biang jenis gendung adalah yang paling kecil dengan ukuran diameter sekitar 30 cm.
Advertisement
Baca Juga
Sementara itu, rebana biang jenis kotek memiliki ukuran diameter sekitar 60 cm. Adapun rebana biang memiliki ukuran diameter paling besar, yakni sekitar 90 cm.
Selain itu, rebana biang memiliki logam kricik yang akan berbunyi gemerincing saat dipukul. Mengutip dari itjen.kemdikbud.go.id, ketiga jenis rebana ini dimainkan dengan cara berbeda.
Pada rebana yang berukuran kecil dimainkan sambil duduk. Adapun rebana yang berukuran besar dimainkan dengan telapak kaki, sementara lutut digunakan sebagai penyangga.
Berdasarkan cepat lambatnya irama lagu, rebana biang dibagi menjadi dua macam. Pertama berirama cepat yang disebut lagu Arab atau lagu nyalun, seperti Rabbuna Salun, Alahah, dan Hadro Zikir. Sementara pada irama lambat disebut lagu rebana atau lagu Melayu, seperti Alfasah, Yulaela, Anak Ayam Turun Selosin, dan Sangrai Kacang.
Konon, masyarakat setempat mementaskan pertunjukan rebana biang sebagai sebuah kesenian ritual. Rebana biang umumnya dimainkan usai pengajian.
Seiring perkembangan zaman, permainan rebana biang mulai memasukkan unsur musik lain, seperti terompet, rebab, tehyan, dan biola. Perpaduan alat musik ini digunakan untuk mengiringi teater dan tari, seperti teater blantek dan blenggo. Selain itu, perayaan ini juga kerap memeriahkan berbagai perayaan penting, seperti pernikahan, khitanan, hingga ulang tahun.
Dalam perkembangannya, kesenian rebana biang yang telah dikenalkan ke masyarakat Betawi sejak 1825 ini menjadi populer dan meluas di wilayah Ciganjur, Cijantung, Cakung, Ciseeng, Parung, Pondok Rajeg, Bojong Gede, hingga Citayam.
Penulis: Resla Aknaita Chak