Liputan6.com, Balikpapan - Kesaksian Dahlan Iskan dibantah oleh terdakwa Zainal Muttaqin pada sidang lanjutan kasus dugaan penggelapan yang dilakukan mantan Direktur Utama PT Duta Manuntung (PT DM) yang berlangsung pada Selasa (31/10/2023), di Pengadilan Negeri Balikpapan. Zam sapaan akrab Zainal Muttaqin sendiri dijerat dengan pasal 372 tentang penggelapan, pasal 374 melakukan penggelapan dalam jabatan serta tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Kesaksian Dahlan Iskan yang pernah menjadi pemegang saham mayoritas PT DM itu, dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Afrianto dari Jakarta.
Sebenarnya tim Penasihat Hukum (PH) Zam, yang dipimpin oleh Sugeng Teguh Santoso secara resmi meminta JPU menghadirkan Dahlan Iskan ke persidangan. Permintaan Sugeng dan tim itu direspon oleh Hakim Ketua Ibrahim Palino, yang merupakan Kepala Pengadilan Negeri Balikpapan.
Advertisement
"Kirimkan surat secara resmi kepada saksi Dahlan Iskan untuk hadir dan bersaksi di persidangan," kata Ibrahim pada sidang sebelumnya. "Atau setidaknya bersaksi secara zoom," tegas Ibrahim.
Menurut Jaksa Afrianto, saksi Dahlan Iskan sedang berobat ke China. Sampai tiba waktunya sidang, Dahlan Iskan tidak juga hadir di persidangan. Karena itu kesaksiannya di hadapan penyidik Bareskrim Mabes Polri, dibacakan di dalam persidangan. "Bacakan seutuhnya. Jangan dikurangi sedikit pun. Karena begitulah diatur di dalam KUHAP," tegas Hakim Ibrahim mengingatkan JPU.
Kesaksian Dahlan Iskan yang dibantah oleh terdakwa antara lain adanya rekening perusahaan yang menggunakan atas nama terdakwa. "Tidak benar itu Yang Mulia," tegas terdakwa Zam.
Dahlan menyatakan adanya kebijakan dari induk perusahaan, yakni Jawa Pos, bahwa pembelian aset perusahaan berupa tanah menggunakan nama direksi. Tujuannya agar aset dimaksud bisa cepat proses pembuatan sertifikatnya dan langsung berupa sertifikat hak milik (SHM). Bukan sertifikat hak guna bangunan (SHGB).
Terdakwa menanggapi bahwa dirinya pernah menjadi direksi PT. Jawa Pos selama sebelas tahun dan menjadi direksi PT DM selama 24 tahun, tidak pernah mengetahui adanya kebijakan tersebut.
Dan kenyataannya, lanjut terdakwa, tiga sertifikatnya yang dipersoalkan, sejak awal pembelian berupa SHGB. Bukan langsung SHM.
"Pada waktu saya membeli aset-aset tanah yang dipersoalkan itu, tidak ada nama Jawa Pos di dalam daftar pemegang saham PT Duta Manuntung,” tegas Zam.
Selain kesaksian Dahlan Iskan, JPU juga membacakan kesaksian dari pejabat Bank Mandiri, Laksmi Wulandari dan Glasnosta. Ada tiga sertifikat atas nama terdakwa yang dijadikan jaminan tambahan untuk kredit di bank pelat merah itu. Terdakwa tidak ada menyatakan keberatan atas kesaksian pejabat Bank Mandiri itu.
JPU Afrianto juga membacakan kesaksian Rusmiyati, yang mengaku sebagai istri dari Alariansyah almarhum, yang tanahnya di Banjar Baru dibeli oleh terdakwa.
Kesaksian Rusmiyati itu dibantah oleh terdakwa. Tanah milik Alariansyah itu dibeli oleh terdakwa sebelum berdirinya PT Duta Banua Banjar yang mengklaim melakukan pelunasan pembayaran kepada Rusmiyati. "Harganya tidak sebesar tanda terima yang ditunjukkan di dalam berita acara pemeriksaan (BAP)," ungkap Zam.
Saksi Ahli Sebut Salah Pasal
Pada sidang kali ini PH terdakwa menghadirkan saksi ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Dr. Eva Achjani Zulfa, SH, MH.
Dr. Eva menjelaskan bahwa pasal 372 itu untuk penggelapan barang bergerak. Karena itu tidak tepat digunakan untuk persoalan aset tidak bergerak seperti tanah.
Sedangkan untuk benda tidak bergerak, seharusnya menggunakan pasal 385. "Itu pun jika menyangkut sengketa kepemilikan, seharusnya ditemukan dulu pemilik yang sah melalui peradilan perdata," papar Dr Eva menjawab pertanyaan dari Mansuri, anggota tim PH terdakwa.
Hakim Ketua Ibrahim Palino menyela, dengan memberikan ilustrasi, bahwa jika di dalam sengketa kepemilikan itu ditemukan tindak pidana, apakah peradilan pidananya bisa dilanjutkan.
"Tidak bisa dilanjutkan. Tetap harus menunggu keputusan perdatanya dulu," tegas Dr Eva. "Keputusannya onslag," sambungnya.
Keputusan onslag atau lengkapnya onslag van rechtavervolging adalah keputusan lepas dari segala tuntutan hukum harus ditetapkan jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, namun perbuatan tersebut bukan suatu tindak pidana.
Hakim anggota Arief Wicaksono SH, MH ikut meminta saksi ahli mengerti bahwa tugas hakim pidana adalah harus segera memutuskan suatu perkara yang disidangkan. Karena tugas hakim masih banyak memutuskan terhadap perkara-perkara yang lainnya.
Jika untuk memutus suatu perkara pidana, lanjut Hakim Arief, harus menunggu keputusan perkara perdata terlebih dahulu, sampai kapan suatu perkara pidana bisa diputuskan. "Jika perkara perdata tidak putus juga sampai kiamat, apakah keputusan pidana harus menunggu sampai kiamat juga," tanya Arief.
Dr Eva dengan tegas menyatakan harus ditunggu sampai perkara perdatanya diputuskan. "Prinsip hukum pidana itu adalah kehati-hatian," katanya. "Dalam hukum pidana itu tidak boleh menduga-duga," tegas Dr Eva.
Advertisement