Banjir Bandung Tak Cuma soal Curah Hujan, Tengok Lagi Kondisi Sabuk Hijau di Utara Bandung

Masalah itu ialah susutnya lahan tangkapan air. Kawasan di utara Bandung kian gundul. Kemampuan lahan dalam menangkap air hujan menurun. Imbasnya, hujan deras tak cukup tertampung, terus mencurah ke wilayah rendah daerah perkotaan.

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 13 Jan 2024, 22:33 WIB
Diterbitkan 13 Jan 2024, 14:30 WIB
Pembangunan sarana komersil di daerah Punclut Kawasan Bandung Utara. (Foto: Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki W Paendong untuk Arie Nugraha)
Pembangunan sarana komersil di daerah Punclut Kawasan Bandung Utara. (Foto: Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki W Paendong untuk Arie Nugraha)

Liputan6.com, Bandung - Benarkah banjir belakangan hari di Kota Bandung cuma lantaran tumpahan hujan yang terlampau deras? Sejumlah kalangan menampik pandangan mengambinghitamkan alam itu.

Mereka yakin, bencana lahir akibat dampak akumulasi perilaku dan kebijakan yang abai pada kesadaran merawat lingkungan. Alih-alih berupaya hidup selaras dengan alam, tingkah polah itu seringkali hanya dituntun keserakahan pembangunan semata.

Banjir di kawasan perkotaan itu tidak hanya pengaruh derasnya hujan, melainkan erat berkelindan dengan masalah lain di wilayah sabuk hijau, perbukitan di Kawasan Bandung Utara.

Masalah itu ialah susutnya lahan tangkapan air. Kawasan di utara Bandung kian gundul. Kemampuan lahan dalam menangkap air hujan menurun. Imbasnya, hujan deras tak cukup tertampung, terus mencurah ke wilayah rendah daerah perkotaan.

Celakanya, limpahan air itu lantas disambut sekelumit problem perkotaan semisal sistem drainase yang buruk, sumbatan sampah, hingga penyempitan bantaran dan pendangkalan sungai.

Banjir pun tak terelakan sebagai masalah menahun yang berulang merendam permukiman, jadi hantu nyata yang berkala mengancam warga. Masalah kondisi lahan di utara Bandung ini disoroti Budhiana Kartawijaya, Ketua Pembina Yayasan Odesa Indonesia.

Yayasan yang sudah sejak tahun 2016 silam mengambil peran secara khusus untuk mengatasi persoalan banjir, terutama banjir lumpur akibat erosi dari perbukitan Kawasan Bandung Utara.

Banjir di kota, menurutnya, turut disebabkan limpasan air dari perbukitan utara Kota Bandung, terutama dari Kecamatan Cimenyan, Kecamatan Cilengkrang dan Kecamatan Cileunyi. Ketiga wilayah itu masuk wilayah pemerintahan Kabupaten Bandung.

“Air dan lumpur juga berasal dari kali-kali kecil dari Kawasan Bandung Utara. Di sana ada keadaan lingkungan yang kurang pohon sehingga aliran air tidak tertahan dan langsung meluncur turun ke Kota Bandung,” kata Budhiana lewat pernyataan tertulis, diterima Liputan6.com, Sabtu, 13 Januari 2024.

Amatan Budhiana, perbukitan utara Bandung kini tampak mirip padang pasir ketimbang ladang pertanian. Begitu pula di Kawasan hutan Arcamanik, pohon-pohon di sana sudah banyak berkurang.

"Kita lihat perbukitan Bandung utara tampak seperti padang pasir. Jelas hal itu merupakan sebuah problem," akunya.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Tanggul Jebol, Gunung Rusak

Banjir bandang diketahui telah menerjang permukiman di Kelurahan Braga, Kota Bandung, pada Kamis, 11 Januari 2024. Ratusan rumah terdampak, warga terpaksa dievakuasi dari tempat tinggalnya.

Catatan Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BNPB pada Jumat (12/1/2024) pukul 00.46 WIB, menyebutkan, sebanyak 600 jiwa dan 600 rumah terdampak dari peristiwa itu. Setidaknya, 150 jiwa terpaksa memilih mengungsi.

Pemerintah Kota Bandung menyebut salah satu faktor banjir bandang di Braga adalah jebolnya tanggul penahan aliran Sungai Cikapundung, selain hujan deras yang cukup mengguyur daerah tersebut.

"(Jebolnya tanggul) itu mungkin salah satu faktor penyebab melimpasnya air dari Sungai Cikanpundung ke perumahan warga," kata Penjabat Wali Kota Bandung, Bambang Tirtoyuliono saat meninjau daerah terdampak, Jumat 12 Januari 2024.

Pegiat Sungai Jabar, Yadi Supriadi, berupaya memandang persoalan banjir bandang di Braga itu lebih jauh sampai ke hulu. Menurutnya, hal yang lebih patut diperhatikan selain tanggul jebol adalah rusaknya Gunung Kasur dan Gunung Bukit Tunggul karena alih fungsi lahan. Dua gunung itu disebut jadi titik hulu Sungai Cikapundung.

Yadi mengatakan, curah hujan memang berpengaruh, tapi banyak kondisi lain yang juga krusial. Banjir bandang di Braga, katanya, juga disebabkan penyempitan sempadan sungai dan sedimentasi. Terjadi alih fungsi lahan sekitar sungai yang disebutnya gila-gilaan.

"Pembangunan perumahan, penyempitan sungai akibat banyak bangunan," katanya kepada tim Regional Liputan6.com.

Sungai Cikapundung diketahui berhulu di sekitar Gunung Bukit Tunggul dan Gunung Pangparang di Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung dan mengalir ke barat. Di wilayah Lembang atau di Curug Omas, sungai ini bertemu dengan Sungai Cigulung yang behulu di Gunung Tangkuban Parahu.

Aliran air kemudian berbelok mengalir ke selatan melewati Kota Bandung dan bermuara ke Sungai Citarum. Anak sungainya meliputi Cipanjalu, Cigulung, Ciumbuleuit, Cipaganti, Cipalasari, dan Cikapundung Kolot.

Pemanfaatan sungai ini utamanya sebagai drainase di Kota Bandung dan objek wisata. Terdapat sejumlah objek wisata di sepanjang aliran sungai ini seperti air terjun Curug Omas, Curug Dago, Kebun Raya, Kebun Binatang, taman dan lainnya. Selain itu juga sebagai penyedia air baku terutama di bagian hulu.

 

Lahan Kritis

Merujuk opendata.jabar, tercatat seluas 907.683,68 hektare lahan kritis di Jawa Barat per 2022 lalu. Diduga, luasan lahan kritis tersebut semakin bertambah tiap tahun, seiring dengan intervensi berbagai kegiatan, salah satunya rencana-rencana kegiatan infrastruktur serta pembangunan properti, tambang, dan maraknya izin usaha wisata alam di Jawa Barat.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Wahyudi Iwang, kepada tim Regional Liputan6.com mengatakan, dari tahun ke tahun wilayah Provinsi Jawa Barat mengalami deforestasi serta degradasi kawasan hutan yang signifikan.

Bentang alam berubah akibat alih fungsi lahan yang berlebihan, baik daerah perdesaan, rural hingga daerah urban.

Khusus di Bandung Raya, lahan yang berstatus sangat kritis di Kabupaten Bandung tercatat seluas 46.678,84 hektare, Kabupaten Bandung Barat seluas 53.018,62 hektare, Kota Cimahi seluas 616,03 hektare dan Kota Bandung 837,42 hektare.

Memasuki 2024 ini, luasan lahan kritis itu diduga kian bertambah, di antaranya terjadi penyusutan tutupan lahan (Tuplah) di Bandung Raya.

"Kebijakan pemerintah pun paling dominan juga memberikan kontribusi kuat terhadap masalah tersebut," kata Iwang.

Persis yang diutarakan Budhiana dari Odesa, Iwang beranggapan bahwa banjir bandang di Braga tak bisa lepas dari degradasi fungsi Kawasan Bandung Utara, digerus pembangunan properti dan pembukaan kawasan untuk wisata alam.

"Terakhir, tidak lepas dari alih fungsi kawasan oleh pertanian yang tidak menyertakan pohon-pohon tegakan," katanya.

 

Pohon, Kebijakan dan Kesadaran Kolektif

Budhiana Kartawijaya, mengatakan, salah satu upaya yang penting dilakukan kini adalah kembali melakukan penanaman pohon di kawasan utara.

Odesa sendiri, katanya, terus berupaya menggalang donasi untuk penyebaran bibit tanaman pohon keras sebagai penangkal erosi. Selama ini, pohon buah jadi andalan semacam pohon nangka, sirsak, sukun, durian, dan lainnya.

Delapan tahun terakhir, Odesa disebut sudah membagikan bibit pohon buah sebanyak 870 ribu pohon.

“Tetapi jumlah ini masih sedikit dibanding dari kebutuhan area yang sangat luas mencapai 70.000 hektar yang terbentang dari Purwakarta hingga Sumedang. Bahkan untuk zona pertanian di Kecamatan Cimenyan saja membutuhkan setidaknya 5 hingga 6 juta pepohonan di area 3 hingga 4 ribu hektar,” aku Budhiana.

"Mungkin ini memang bukan satu-satunya solusi," tandasnya.

Sementara, Yadi Supriadi memandang bahwa pengelolaan lahan konservasi di hulu sungai harus lebih optimal, "mengedepankan spirit pelestarian lingkungan," katanya.

Wahyudin Iwang, menambahkan, yang juga perlu segera dilakukan adalah menertibkan kawasan hulu dari segala intervensi kegiatan yang mengalihfungsikan kawasan, serta melakukan reforestasi.

Pemerintah juga didesak untuk berani membatasi setiap kegiatan yang mengubah bentang alam secara serius dan berdampak pada kerusakan lingkungan, serta kegiatan yang cenderung mengeyampingkan keselamatan rakyat.

"Masyarakat luas perlu menumbuhkan kesadaran bahwa keberadaan mereka berada di wilayah rawan bencana sehingga harus menghindari kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan, baik pemanfaatan lahan untuk garapan," katanya

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya