Adang Penggusuran, Warga Dago Elos Desak PN Bandung Tetapkan Non-Executable atas Tanah Tempat Tinggal Warga

Warga menilai putusan PN Bandung cacat hukum, mengandung muslihat curang dan didasarkan pada keterangan-keterangan bohong.

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 05 Mar 2024, 21:19 WIB
Diterbitkan 05 Mar 2024, 21:12 WIB
Dago Elos
Warga Dago Elos Kota Bandung bersama massa solidaritas mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Selasa, 5 Maret 2024.

Liputan6.com, Bandung - Warga Dago Elos Kota Bandung yang kini terancam digusur mendatangi Pengadilan Negeri atau PN Bandung, Selasa, 5 Maret 2024. Mereka menggelar aksi demonstrasi bersama massa solidaritas.

Warga pun dihadapkan ratusan personel aparat gabungan Polisi-TNI dilengkapi dua mobil watercanon berjaga di pelataran gedung pengadilan.

Kedatangan warga dan massa solidaritas mengulang aksi sebelumnya pada Selasa, 20 Februari 2024 lalu, menuntut agar PN Bandung menerbitkan keputusan Non-Executable atas sengketa tanah Dago Elos.

Diketahui, warga Elos digugat keluarga Muller yang bergandengan dengan PT Dago Inti Graha. Dua pihak itu mengklaim sebagai pemilik hektaran tanah yang telah ditinggali warga selama puluhan tahun.

Lewat Putusan Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg, PN Bandung telah memenangkan keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha.

Namun, warga menilai putusan tersebut cacat hukum, diduga mengandung muslihat curang dan didasarkan pada keterangan-keterangan bohong

Oleh karena itu, warga menuntut agar PN Bandung menerbitkan keputusan Non-Executable agar keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha tidak dapat mengeksekusi kampung Dago Elos.

Menurut warga, kecacatan putusan PN Bandung kian terkuar saat warga menghadiri sidang pemberitahuan Aanmaning (teguran) tanggal 20 Februari 2024.

Menurut amatan warga, setidaknya terdapat dua poin krusial yang bisa digaris-bawahi sebagai bentuk kecacatan putusan PN Bandung.

Pertama, subjek individu para tergugat menggunakan pola acak yang kebenarannya tidak valid, sebagian bukan warga, nama ganda, bahkan banyak yang sudah meninggal dunia ataupuntidak pernah berada di lokasi Dago Elos.

Kedua, objek yang disengketakan diklaim dengan luasan 6,9 hektare, tetapi tidak ada kejelasan batas objek dan tidak pernah dilakukan pemeriksaan setempat.

"Putusan pengadilan yang memenangkan Muller dan PT Dago Inti Graha cacat secara hukum dan penuh indikasi kecurangan yangtersistematis. Dengan demikian eksekusi atas putusan tersebut tidak bisa dilaksanakan (non-executable) sebab Subjek Tergugat dan Objek Sengketa tidaklah valid, mengadangada dan dipaksakan," dikutip lewat keterangan pers kuasa hukum warga Dago Elos.

Selain menuntut keputusan Non-Executable, warga juga mendesak PN Bandung menerbitkan izin akses kepada kuasa hukum dan pihak terkait lainnya untuk membuka kembali berkas perkara Dago Elos sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 1986.

"Lebih dari 2.000 jiwa yang akan digusur, 6,9 hektare tanpa penggantian, dan itu semua di-iya-kan oleh siapa? pengadilan negeri," kata perwakilan warga yang berorasi di depan Pengadilan Negeri Bandung, Selasa, 5 Maret 2024.

Dugaan Pemalsuan Dokumen

Sejak awal, warga enggan menerima putusan pengadilan. Sikap yang sama kembali mereka tegaskan saat menerima surat teguran pengosongan lahan. Sampai saat ini, warga masih berupaya mempertahankan kampung kota di bawah bayang penggusuran.

Warga meyakini putusan hukum yang mereka terima didasarkan pada kecurangan, bahwa Heri Hermawan Muller, Dedy Kustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, serta Jo Buli Hartanto selaku Direktur PT Dago Inti Graha, diduga memberikan keterangan-keterangan tidak benar dalam persidangan.

"Empat orang tersebut di atas diduga telah memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, dalam sengketa lahan yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Bandung," dalam keterangan tertulis Forum Dago Elos Melawan, Selasa, 20 Februari 2024.

Keterangan tidak benar yang dimaksud warga misalnya menyangkut akta peralihan kepemilikan tanah.

Jadi, merujuk putusan PN Bandung Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg, diklaim bahwa tanah permukiman warga Dago Elos-Cirapuhan mulanya milik sebuah pabrik semen pada masa kolonial Belanda, PT Tegel Semen Handeel “Simoengan”.

Selanjutnya, disebutkan bahwa kepemilikan tanah itu diserahkan kepada George Hendrik Muller melalui akta yang dibuat di hadapan notaris pada 7 Agustus 1899.

Namun, warga menduga informasi itu bohong. Pasalnya, warga berhasil menemukan fakta bahwa George Hendrik Muller baru lahir pada 24 Januari 1906. Bukti tanggal kelahiran itu tertera pada nisan makam George Hendrik Muller.

Warga lantas mempertanyakan, bagaimana mungkin George Hendrik Muller yang baru lahir tahun 1906 itu sudah bisa mengurus kepemilikan tanah di tahun 1899?

"Sungguh di luar nalar kami, bila ada yang -lahir saja belum- namun pada tanggal 7 Agustus 1899 sudah bernama George Hendrik Muller, sudah memiliki kemampuan menghadap notaris, dan melakukan perbuatan perdata menerima peralihan hak atas tanah".

Warga pun sudah melaporkan Heri Hermawan Muller, Dedy Kustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, dan Jo Buli Hartanto ke Polda Jawa Barat. Mereka diduga melakukan perbuatan pidana yakni memberikan keterangan-keterangan tidak benar dalam persidangan di PN Bandung.

"Berdasarkan penelusuran di atas, kami Forum Dago Melawan meyakini bahwa keempat orang yang kami laporkan di atas telah melakukan perbuatan nekat yaitu: di depan pengadilan memberikan keterangan (tertulis) yang tidak masuk akal, yang kebenarannya sangat meragukan, dan karenanya harus segera diselidiki secara serius oleh pihak kepolisian".

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya