Liputan6.com, Palangka Raya - Kelompok Tani (poktan) Lewu Taheta di Kelurahan Sabaru, Kota Palangka Raya, menduga, ada oknum penyidik yang tidak profesional dan terindikasi berpihak dalam penanganan sengketa lahan pertanian mereka. Laporan di bidang Profesi dan Pengembangan (Bid Propam) Polda Kalimantan Tengah pun dibuat untuk menguji kecurigaan tersebut.
Kuasa Poktan Lewu Taheta, Men Gumpul mengatakan, laporan berbentuk tertulis dan telah disampaikan ke Bidpropam pada Jumat (28/6/2024) lalu. Dalam laporan itu kata dia, diuraikan runtutan kronologis beserta alat-alat bukti yang memperkuat dugaan.
“Salah satunya keterangan dari saksi mantan lurah yang diminta oknum memilih untuk mencabut tanda tangan dari surat tanah atau menjadi tersangka,” kata Men Gumpul di Palangka Raya, Rabu (3/7/2024).
Advertisement
Men Gumpul yang juga Ketua Kalteng Watch, Satgas Anti Mafia Tanah mengatakan, kejanggalan lain dalam penanganan perkara ini terkait alat bukti. Dimana beberapa bukti seperti peta koordinat baru dibuat setelah adanya laporan.
“Kemudian surat yang katanya dipalsukan itu tidak pernah ditunjukkan kepada Ketua Poktan Lewu Taheta, Daryana selaku terlapor untuk dikonfirmasi. Bagaimana mungkin ada pidana pemalsuan tapi yang dipalsukan tidak ada,” tutur Men Gumpul.
Petani yang tergabung dalam Poktan Lewu Taheta berharap agar laporan mereka diproses secara profesional. Mereka juga mendesak agar proses penyidikan terhadap ketua mereka dihentikan.
Sebelumnya, Poktan Jadi Makmur, Kelurahan Kalampangan, Kota Palangka Raya, melaporkan Daryana, ketua Poktan Lewu Taheta atas dugaan pemalsuan. Laporan dibuat di Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kalteng.
Melalui kuasa hukum Rusli Kliwon, Poktan Jadi Makmur mengklaim lahan seluas hampir 200 hektar yang dikuasai Poktan Lewu Taheta adalah milik mereka. Adapun total lahan yang diklaim Jadi Makmur mencapai 800 hektar lebih.
Disisi lain, Lewu Taheta bersikeras lahan yang mereka kuasai dan menjadi sentra perkebunan buah naga didapatkan melalui cara yang sah. “Kami merawat, memanfaatkan dan mengurus administrasi sesuai aturan,” kata Daryana.
Daryana menjelaskan, lahan yang dikelola oleh sekitar 189 warga itu dulunya kawasan hutan. Pasca kebakaran hutan dan lahan, mereka kemudian mengolah lahan agar bermanfaat.
Pasca kawasan tersebut dilepaskan dari kawasan hutan, masalah pun bermunculan. Sejumlah kelompok mulai mengklaim bahwa hamparan disanam erupakan hak mereka.