Menyelami Sakralnya Makna Malam 1 Suro ala Keraton Yogyakarta dan Surakarta

Setiap malam 1 Suro diadakan tradisi yang sakral di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Berbagai ritual dan kirab pun digelar meriah.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 05 Jul 2024, 19:29 WIB
Diterbitkan 05 Jul 2024, 19:29 WIB
Kirab Laku Bisu Pura Mangkunegaran
Abdi keraton membawa pusaka saat mengikuti upacara ritual Kirab Pusaka dan Tapa Bisu di Solo, Sabtu (31/8/2019) malam. Kirab tersebut dalam rangka memperingati pergantian tahun baru Hijriah yand dalam penanggalan Jawa disebut satu Suro. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Yogyakarta - Malam 1 Suro adalah malam istimewa yang sering dianggap mistis, keramat, dan sakral. Bagi masyarakat Yogyakarta dan Surakata, malam 1 Suro juga dipercaya penuh berkah.

Atas kepercayaan tersebut, tak heran jika setiap malam 1 Suro akan diadakan tradisi yang cukup sakral di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Berbagai ritual dan kirab pun digelar meriah.

Mengutip dari indonesiakaya.com, tradisi malam 1 Suro berawal pada masa pemerintahan Sultan Agung. Kala itu, masyarakat umumnya mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang merupakan warisan tradisi Hindu. Namun Kesultanan Mataram Islam telah menerapkan sistem kalender Hijriah.

Sultan Agung memprakarsai penyatuan kalender Saka dan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa. Hal ini bertujuan untuk memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa,

Penyatuan kalender ini dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi. Sementara itu, 1 Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro, bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah.

Sementara itu, menurut Muhammad Solikhin dalam Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa, kata suro berasal dari bahasa Arab asyura yang berarti sepuluh. Kata asyura merujuk pada tanggal 10 bulan Muharam yang berkaitan dengan peristiwa wafatnya Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhamad di Karbala (sekarang masuk Irak).

Malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta

Perayaan malam 1 Suro di Yogyakarta identik dengan keris dan benda pusaka. Benda tersebut digunakan sebagai bagian dari pawai kirab.

Tradisi malam 1 Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Oleh karena itu, peringatan ini diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir dengan tujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal marabahaya.

Keraton Yogyakarta memiliki tradisi mubeng beteng atau mengelilingi benteng keraton saat malam 1 Suro. Menurut Hersapandi dkk dalam Suran: Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni, konsep mubeng beteng kemungkinan besar terpengaruh oleh pradaksina dan prasawya dalam Hindu dan Buddha.

Pradaksina adalah ritual berjalan kaki mengeliling benteng sesuai arah jarum jam. Sementara prasawya merupakan ritual berjalan kaki mengelilingi benteng kebalikan arah jarum jam. Pradaksina menyimbolkan kebutuhan lahiriah, sedangkan prasawya menyimbolkan kesempurnaan hidup (batiniah).

 

Malam 1 Suro di Keraton Surakarta

Sementara itu, peringatan malam 1 Suro di Keraton Surakarta dilakukan dengan cara bersyukur, tafakur (merenungkan), dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT yang dipusatkan di Masjid Pujasana. Hal itu tertulis dalam tesis berjudul Akulturasi Budaya Jawa dan Islam: Kajian Budaya Kirab Pusaka Malam 1 Suro di Keraton Surakarta Hadiningrat Masa Pemerintahan Paku Buwono XII karya Dian Uswatina.

Pada masa pemerintahan Paku Buwono XII, upacara kirab pusaka malam 1 Suro dilaksanakan seminggu sekali setiap Jumat. Upacara ini dilakukan dengan mengelilingi bagian dalam keraton.

Pada 1973-an, Presiden Soeharto meminta kepada Sinuhun untuk turut berdoa demi ketentraman negara. Maka, Sinuhun Paku Buwono XII pun mulai melaksanakan kirab pusaka di luar tembok keraton dan mengikutsertakan kebo bule yang dianggap sebagai bentuk pusaka keraton yang bernyawa.

Hingga kini, kebo bule menjadi salah satu daya tarik bagi warga yang menyaksikan perayaan malam 1 Suro. Bukan sembarang kerbau, kebo bule memiliki leluhur yang merupakan hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II.

Leluhur kebo bule tersebut merupakan hadiah dari Kyai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo. Secara turun-temurun, kebo bule menjadi cucuk lampah (pengawal) pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet, sehingga masyarakat menyebutnya kebo bule Kyai Slamet.

Dalam kirab malam 1 Suro, orang-orang akan berdesakan demi berebut kotoran kebo bule. Konon, kotoran kebo bule dapat membawa berkah dan keselamatan.

(Resla)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya