Pakar UGM Sebut Dinasti Politik di DPR RI Lemahkan Proses Demokrasi Indonesia

Isu “Dinasti Politik” makin terlihat pada keanggotaan parlemen terbaru. Komposisi anggota DPR-RI Periode 2024-2029 dapat melemahkan proses demokrasi Indonesia.

oleh Yanuar H diperbarui 22 Okt 2024, 01:00 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2024, 01:00 WIB
Infografis Demokrasi Indonesia Tidak Membaik
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2016 lebih buruk daripada 2015 (liputan6/abdillah)

Liputan6.com, Yogyakarta - Banyak anggota yang berasal dari kerabat dan keluarga di anggota DPR RI yang baru, disebut akan melemahkan proses demokrasi di Indonesia. Pakar Politik dan Demokrasi dari Fisipol UGM, Arga Pribadi Imawan, mengatakan fenomena dinasti politik DPR ini dapat berdampak buruk bagi proses demokrasi selanjutnya.

“Saya kira ini salah satu konsekuensi dari anggota partai politik yang berasal dari elitis, atau dari orang-orang di lingkaran kekuasaan,” ucap Arga, Senin 14 Oktober 2024.

Hal ini juga terlihat dalam jabatan strategis dari hubungan keluarga dan kerabat, sehingga sulit bagi individu dari kalangan masyarakat biasa untuk ikut andil dalam politik. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat terdapat 79 dari 580 anggota parlemen memiliki kekerabatan dengan pejabat lainnya, belum termasuk penelusuran lebih dalam seperti riwayat pekerjaan, proyek yang sama, ataupun kekerabatan jauh.

Arga mengatakan, dalam kontestasi pemilu ada tiga hal yang mempengaruhinya yakni modal sosial, modal politik, dan modal ekonomi. Modal sosial berarti bagaimana seseorang dengan pola jejaring kekerabatan berimplikasi terhadap naiknya popularitas di masyarakat.

"Misalnya, seseorang yang sudah lebih dulu dikenal sebagai public figure tentu lebih mudah dikenali dan menggaet suara masyarakat, begitupun dengan keluarga dan kerabatnya."

Modal politik, sangat bergantung pada kebutuhan dari partai pengusung. Contohnya, seseorang dengan pengaruh politik kuat maka akan lebih dulu diusung oleh partai.

“Jadi bagaimana partai mengusung orang-orang yang bisa menggerakkan mesin politik secara efektif,” tambah Arga.

Terakhir, modal ekonomi. Menurutnya selama ini proses kampanye para calon politik identik dengan berbagai macam “aksesoris” untuk mengenalkan diri ke masyarakat.

“Tentu upaya ini membutuhkan modal ekonomi yang besar, tidak hanya dari diri sendiri tapi juga dukungan partai,” ujarnya.

Kuatnya dinasti politik di ranah legislatif maka menyebabkan eksklusivitas dalam lingkup politik. Arga juga memaparkan bagaimana fenomena dinasti politik dapat menurunkan tingkat representatif di parlemen.

“Dampaknya terkait demokrasi, kita bisa melihat dari beberapa faktor. Bagaimanapun ini merupakan hasil kompromi yang tentu saja representatifnya berkurang, karena mereka memiliki kontrak politik lebih kuat dengan partai politik yang bersangkutan,” tutur Arga.

Arga menjelaskan sebenarnya dinasti politik juga pernah terjadi di Amerika, namun hal itu terjadi karena ada peran demokratis yang bermain. Sementara, dinasti politik di Indonesia justru melemahkan demokrasi dan berpotensi meningkatkan kolusi dan nepotisme.

Arga menyoroti dari sisi aspek konstitusi, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum tidak mengatur secara jelas larangan anggota legislatif yang memiliki kerabat atau keluarga sesama pejabat.

“Memang pengaturan dalam konteks Pilkada pernah dilakukan pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, tapi turbulensi politik saat itu menghanyutkan keinginan untuk mempertahankan regulasi tersebut,” imbuhnya.

Melihat fenomena ini menurutnya kampus sebagai institusi pendidikan mampu memposisikan diri dalam upaya mengembalikan marwah demokrasi nasional. Melalui tulisan-tulisan dan diskusi akademik, hingga kajian praktisi perlu dilakukan.

“Maka ide-ide dari universitas itu dapat menjaga marwah agar demokrasi kita lebih baik. Disamping ikut berkontribusi besar pada kesadaran publik,” tutupnya.

 

Simak Video Pilihan ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya