Belajar dari Norwegia, Strategi Pro-Konsumen Adopsi Kendaraan Listrik di Indonesia

engan belajar dari pengalaman Norwegia dalam memahami kebutuhan konsumen lokal serta menerapkan kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan, Indonesia diharapkan dapat mencapai target pemerintah untuk memiliki 13 juta kendaraan listrik roda dua dan 2 juta roda empat pada tahun 2030.

oleh Tim Regional diperbarui 18 Des 2024, 18:30 WIB
Diterbitkan 18 Des 2024, 10:31 WIB
Kendaraan Listrik
Webinar Driving the future: Advancing a consumer-driven EV agenda in Indonesia yang diselenggarakan Purpose Indonesia dan Rocky Mountain Institute (RMI).

Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, momentum adopsi kendaraan listrik (EV) di Indonesia terus meningkat, didukung oleh kebijakan pemerintah, investasi sektor swasta, dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan manfaat lingkungan dan ekonomi dari EV. Namun, perspektif konsumen masih menjadi elemen yang kurang diperhatikan dalam membentuk kebijakan dan strategi untuk mendorong penggunaan EV secara luas.

Hal ini terungkap dalam webinar Driving the future: Advancing a consumer-driven EV agenda in Indonesia yang diselenggarakan Purpose Indonesia dan Rocky Mountain Institute (RMI). Webinar ini bertujuan menggali lebih dalam pentingnya pendekatan berbasis konsumen dalam membangun ekosistem kendaraan listrik yang inklusif dan berkelanjutan dengan menghadirkan pelajaran berharga dari Norwegia, negara yang telah berhasil menjadi pemimpin global dalam adopsi kendaraan listrik, untuk memberikan inspirasi dan wawasan bagi Indonesia. 

Pada tahun 2023, kendaraan listrik sepenuhnya mendominasi pasar mobil penumpang di Norwegia, dengan mencakup 82,4% dari total penjualan.

Dalam pidato pembukaannya, Longgena Ginting, Country Director Purpose Indonesia, menekankan pentingnya kebijakan kendaraan listrik yang tidak hanya berorientasi pada teknologi, tetapi juga pada kebutuhan konsumen. 

“Memahami kebutuhan dan tantangan konsumen sangat penting untuk menciptakan ekosistem kendaraan listrik yang inklusif dan berkelanjutan,” ujarnya. Ia mencontohkan bagaimana di Norwegia, suara konsumen memainkan peran besar dalam mendorong kebijakan yang lebih baik dan membuat masyarakat lebih menerima teknologi kendaraan listrik.

Thomas Haug, Communication Advisor dari The Norwegian Electric Vehicle Association (NEVA), berbagi pengalaman bagaimana Norwegia membangun ekosistem kendaraan listrik yang sukses. Ia menyoroti tiga elemen utama yang menjadi fokus dalam mendorong adopsi EV, yaitu mengatasi mitos-mitos tentang kendaraan listrik yang sering menjadi hambatan bagi konsumen, memberikan informasi dan edukasi yang jelas kepada konsumen untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang manfaat dan penggunaan EV, serta menyediakan infrastruktur pengisian daya yang memadai, termasuk solusi untuk tantangan seperti pengisian daya di apartemen atau tempat parkir bersama.

Haug menjelaskan bahwa di Norwegia, 96% pengguna EV mengisi daya di rumah pada malam hari. Namun, bagi mereka yang tinggal di apartemen dengan parkir bersama, tantangan ini sempat menimbulkan konflik hingga akhirnya parlemen Norwegia mengesahkan aturan yang mendukung pengisian daya di rumah. 

“Selain itu, pemerintah Norwegia juga memberikan berbagai insentif, seperti biaya tol dan parkir yang lebih murah, untuk memastikan kendaraan

listrik tetap menjadi pilihan utama masyarakat. Tanpa insentif, sulit bagi EV untuk bersaing di pasar,” tegasnya.

Dari perspektif lokal, Yohana Gabriella dari Purpose Indonesia memaparkan hasil analisis percakapan media sosial terkait kendaraan listrik di Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Ia mengungkapkan bahwa diskusi tentang EV masih terbatas dan didominasi berasal dari pemerintah dan pihak swasta yang mempromosikan keuntungan kendaraan listrik dan disusul kritik tentang kebijakan. 

“Hampir 2/3 dari unggahan di kanal X dan Youtube terkait kendaraan listrik yang kami analisis memiliki sentimen negatif, terutama terkait dampak lingkungan dari hilirisasi nikel untuk baterai EV,” jelasnya.

Sementara itu, Dion Arinaldo dari Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti bahwa infrastruktur pengisian daya dan jarak tempuh masih menjadi kekhawatiran utama konsumen. 

“Menurut riset kami, tantangan terbesar adalah ketakutan konsumen terhadap keberlanjutan penggunaan EV, terutama terkait jarak dan infrastruktur charging,” ungkapnya. Ia juga menambahkan bahwa subsidi pemerintah untuk EV saat ini masih terbatas pada wilayah perkotaan dan belum disertai informasi yang memadai untuk membantu konsumen mengambil keputusan.

Dari sisi pengguna, Abdul Elly, anggota komunitas pengguna mobil listrik KOLEKSI, menekankan pentingnya kolaborasi dari berbagai pihak untuk meningkatkan adopsi kendaraan listrik di Indonesia. 

“Saat ini baru ada sekitar 180.000 pengguna kendaraan listrik. Baik itu Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), penyedia charging, perusahaan pembiayaan, hingga komunitas, semuanya harus memberikan masukan kepada pemerintah,” ujarnya.

Perspektif konsumen memegang peran penting dalam mendorong adopsi kendaraan listrik di Indonesia. Dengan belajar dari pengalaman Norwegia dalam memahami kebutuhan konsumen lokal serta menerapkan kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan, Indonesia diharapkan dapat mencapai target pemerintah untuk memiliki 13 juta kendaraan listrik roda dua dan 2 juta roda empat pada tahun 2030.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya