Liputan6.com, Yogyakarta - Usmar Ismail merupakan sosok yang dikenal sebagai pelopor drama modern di Indonesia. Ia mendapat julukan sebagai Bapak Film Indonesia.
Sepanjang kariernya, Usmar Ismail telah melahirkan banyak karya populer, termasuk film hingga tulisan-tulisan. Mengutip dari badanbahasa.kemdikbud.go.id, Usmar Ismail memulai debut di panggung teater.
Sebenarnya, bakat sastranya sudah terlihat sejak masih duduk di bangku SMP. Saat itu, ia bersama teman-temannya, termasuk Rosihan Anwar, ingin tampil dalam acara perayaan ulang tahun Putri Mahkota, Ratu Wilhelmina, di Pelabuhan Muara, Padang.
Advertisement
Baca Juga
Mereka hadir di perayaan itu dengan menyewa perahu dan mengenakan pakaian bajak laut. Sayangnya, mereka gagal tampil karena baru sampai saat matahari tenggelam. Mereka juga hampir pingsan karena kelelahan mengayuh perahu menuju Pelabuhan Muara.
Meski gagal, Rosihan Anwar mencatat rencana tersebut sebagai tanda bahwa Usmar Ismail memang berbakat menjadi sutradara. Ia menganggap Usmar mempunyai daya imajinasi untuk menyajikan tontonan yang menarik dan mengesankan.
Saat menempuh pendidikan SMA di Yogyakarta, Usmar semakin banyak terlibat dengan dunia sastra. Ia memperdalam pengetahuan dramanya, aktif dalam kegiatan drama di sekolahnya, dan mulai mengirimkan karangan-karangannya ke berbagai majalah.
Saat bekerja di Keimin Bunka Sidosho (Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang) bakatnya semakin berkembang. Ia bersama Armijn Pane dan budayawan lainnya pun bekerja sama untuk mementaskan drama.
Pada 1943, Usmar Ismail mendirikan kelompok sandiwara yang diberi nama Maya. Kelompok sandiwara itu ia dirikan bersama kakaknya, El Hakim, serta Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, serta HB Jassin.
Maya mementaskan sandiwara berdasarkan teknik teater Barat yang kemudian dianggap sebagai tonggak lahirnya teater modern di Indonesia. Beberapa sandiwara yang dipentaskan Maya, di antaranya, Taufan di Atas Asia (El Hakim), Mutiara dari Nusa Laut (Usmar Ismail), Mekar Melati (Usmar Ismail), dan Liburan Seniman (Usmar Ismail).
Usai masa proklamasi, Usmar menjalani dinas militer dan aktif di dunia jurnalistik di Jakarta. Ia kemudian mendirikan surat kabar yang diberi nama Rakyat bersama dua rekannya, Syamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi. Begitu hijrah ke Yogyakarta, ia juga sempat mendirikan harian Patriot dan bulanan Arena.
Â
Penjara
Saat menjadi wartawan, Usmar pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda. Ia dituduh terlibat kegiatan subversi.
Kala itu, ia bekerja sebagai wartawan politik di kantor berita Antara. Sebelum ditangkap pada 1948, ia sedang meliput perundingan Belanda_RI di Jakarta.
Setelah dibebaskan, Usmar mulai menaruh minatnya pada perfilman. Ia beberapa kali berdiskusi mengenai seluk-beluk film bersama teman-temannya, Anjar Asmara, Armijn Pane, Sutarto, dan Kotot Sukardi.
Anjar Asmara adalah orang pertama yang menawarinya menjadi asisten sutradara. Mereka kemudian menggarap film Gadis Desa dan dilanjutkan dengan beberapa judul film lainnya, seperti Harta Karun dan Citra.
Sementara itu, Usmar Ismail juga telah menyutradarai filmnya sendiri, di antaranya Darah dan Doa (1950), Enam Jam di Yogya (1951), Dosa Tak Berampun (1951), Krisis (1953), Kafedo (1953), Lewat Jam Malam (1954), Tiga Dara (1955), dan Pejuang (1960). Karya-karya lainnya adalah Puntung Berasap (kumpulan puisi, 1950), Mutiara dari Nusa Laut (drama, 1943), Mekar Melati (drama, 1945), Sedih dan Gembira (kumpulan drama, 1950), dan Membahas Film (kumpulan esai, 1983).
Nama Usmar Ismail diabadikan di sebuah gedung perfilman, yaitu Pusat Perfilman Usmar Ismail yang terletak di Kuningan, Jakarta. Usmar Ismail meninggal dunia pada 2 Januari 1971 karena stroke.
Â
Penulis: Resla
Advertisement