Liputan6.com, Jakarta - Pathol adalah salah satu permainan tradisional yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Jawa Tengah, terutama di kawasan pesisir utara seperti Rembang dan Jepara.
Permainan ini telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit dan menjadi salah satu bentuk hiburan rakyat yang menggabungkan unsur olahraga, tradisi, dan spiritualitas. Pathol bukan hanya sekadar permainan fisik, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai luhur seperti keberanian, sportivitas, dan solidaritas antarwarga.
Permainan ini biasanya digelar pada acara-acara khusus, seperti sedekah laut, yang merupakan ritual adat untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil laut yang melimpah.
Advertisement
Baca Juga
Dalam konteks tersebut, pathol bukan hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga menjadi sarana mempererat hubungan sosial dan menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.
Secara umum, permainan pathol dilakukan oleh dua orang laki-laki yang saling beradu kekuatan fisik dalam sebuah arena berbentuk lingkaran. Para peserta, yang disebut sebagai petarung pathol, biasanya mengenakan kain sarung yang diikatkan di pinggang tanpa baju.
Arena pathol sering kali dibuat di tanah lapang atau pantai dengan penonton yang mengelilingi para petarung. Sebelum pertandingan dimulai, terdapat serangkaian ritual adat yang dilakukan untuk memohon keselamatan dan kelancaran, seperti doa bersama atau sesaji yang dipersembahkan kepada roh leluhur.
Hal ini menunjukkan betapa permainan pathol tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai religius dan tradisi masyarakat Jawa. Teknik dalam pathol cukup sederhana, tetapi membutuhkan keahlian khusus dan strategi yang matang.
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Tujuan Utama
Tujuan utama permainan ini adalah menjatuhkan lawan ke tanah dengan menggunakan kekuatan dan kelincahan tubuh. Meskipun terlihat sederhana, pathol menuntut fisik yang prima serta keterampilan dalam membaca gerakan lawan.
Setiap gerakan memiliki filosofi tertentu yang mencerminkan sifat-sifat ksatria, seperti keberanian, keuletan, dan kemampuan mengendalikan diri. Dalam hal ini, pathol juga menjadi sarana pendidikan moral, terutama bagi generasi muda.
Melalui pathol, masyarakat diajarkan untuk bersikap jujur, menghormati lawan, dan menerima kekalahan dengan lapang dada. Seiring dengan perkembangan zaman, popularitas pathol sempat mengalami penurunan, terutama di tengah gempuran budaya modern dan globalisasi.
Namun, upaya untuk melestarikan tradisi ini terus dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, komunitas budaya, dan para tokoh adat. Berbagai festival budaya sering kali menyertakan pertandingan pathol sebagai salah satu atraksi utama untuk menarik perhatian wisatawan sekaligus memperkenalkan kekayaan budaya lokal kepada generasi muda.
Selain itu, pathol juga telah dimasukkan dalam kurikulum seni dan budaya di beberapa sekolah di Jawa Tengah sebagai bagian dari upaya untuk menjaga warisan leluhur.
Kini, pathol tidak hanya dikenal sebagai permainan tradisional, tetapi juga sebagai simbol identitas budaya masyarakat pesisir Jawa Tengah. Keberadaannya menjadi pengingat akan pentingnya melestarikan tradisi di tengah arus modernisasi yang semakin kuat.
Pathol mengajarkan bahwa warisan leluhur bukan hanya sesuatu yang harus dihormati, tetapi juga harus terus diwariskan kepada generasi mendatang. Dengan menjaga pathol tetap hidup, masyarakat tidak hanya melestarikan sebuah permainan, tetapi juga menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Pathol, dengan segala kesederhanaannya, adalah bukti bahwa tradisi lokal memiliki kekuatan untuk terus bertahan dan relevan di era modern.
Penulis: Belvana Fasya Saad
Advertisement