Nasib Orang Utan Kalimantan, Regulasi Konservasi di Tambang Ternyata Belum Ada

Akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Yaya Rayadin menyebut, regulasi konservasi di tambang belum ada sehingga habitat orang utan kian tergerus aktivitas pertambangan.

oleh Abdul Jalil Diperbarui 24 Feb 2025, 06:32 WIB
Diterbitkan 24 Feb 2025, 06:32 WIB
Tambang Ilegal di Berau Coal
Tiga alat berat ditemukan saat Tim Pengamanan PT Berau Coal mendatangi tambang ilegal. Kawasan ini merupakan konsesi perusahaan tambang batu bara tersebut.... Selengkapnya

Liputan6.com, Samarinda - Isu orang utan semakin nyaring terdengar di Kalimantan Timur setelah pemindahan puluhan orang utan dari kantong populasi aslinya ke hutan alam lain. Sepanjang tahun 2025 saja, ada 37 individu orang utan jalani penyelamatan, baik translokasi mapun rehabilitasi, oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim.

Jumlah ini melebihi capaian kinerja penyelamatan sepanjang 2024 yang hanya mencapai 31 individu orang utan. Padahal 2025 ini belum genap dua bulan. Lokasi penyelamatan terbanyak berada di kawasan Perdau, Kecamatan Bengalon, Kutai Timur.

Tapi, apa yang dilakukan oleh BKSDA Kaltim bersama para mitra dalam upaya menyelamatkan orang utan mungkin sangat tepat. Apalagi upaya tersebut memiliki landasan yang kuat, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 17 tahun 2024 tentang Penyelamatan Jenis Satwa.

Dosen Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Yaya Rayadin menyebut Lanskap Kutai sebagai populasi penting orang utan dengan jumlah perkiraan mencapai 7 ribu individu. Lanskap Kutai membentang dari utara Sungai Mahakam hingga Sungai Kelay.

Sementara konflik orang utan, termasuk upaya penyelamatan yang dilakukan BKSDA Kaltim sepanjang 2024-2025, terjadi di lanskap lebih kecil. Yakni kawasan antara Sungai Sangatta hingga Sungai Bengalon.

“Kalau perkiraan saya, habitat penting berada di Sungai Sangatta dan Sungai Bengalon. Memang besar populasinya,” kata Yaya Rayadin dalam sebuah diskusi dengan liputan6.com beberapa waktu lalu.

Dosen Bidang Konservasi Satwa Liar dan Ekologi Populasi itu menyebut pada prinsipnya konflik satwa karena pakan. Apalagi satwa dengan daya jelajah tinggi seperti orang utan akan terus bergerak mendekati sumber pakan.

“Jadi memang masalah yang terberat morio itu di sekitar Sungai Sangatta hingga Sungai Bengalon. Simpang perdau berada di dalamnya,” sambungnya.

Dosen pengampu mata kuliah Perilaku dan Ekologi Satwa Liar ini menyebut, berdasarkan hasil riset yang dilakukannya, masih ada sekitar 2 ribu orang utan berada di lanskap itu. BKSDA Kaltim punya sebutan soal kawasan itu yakni Lanskap Karaitan.

“Ancaman terbesar untuk populasi orang utan itu justru sekarang di sekitar lanskap itu. Kalau dulu ada pengembangan sawit, tapi masih ada hutan. Hutan alamnya sekarang yang tersisa dihajar jadi tambang, kan? Kalau dikaji itu ancaman terbesar,” paparnya.

Meski pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) dilakukan sejak lama, namun pada prinsipnya pengelolaan konservasi, areal konservasi, atau penyiapan areal konservasi sudah kuat di dua unit bisnit itu meski telat.

“Sawit dan HTI di 2010 ke sini itu ketat, loh. Buyer memastikan betul mendapat suplai bahan baku baik kayu maupun sawit dari perusahaan yang sudah menyediakan habitat orang utan. Tapi itu telat,” kata Yaya.

Berbanding terbalik pada konsesi tambang batu bara. Tidak ada satu persyaratan pun yang mewajibkan areal konservasi.

“Di tambang itu belum menjadi persyaratan internasional maupun permintaan pasar. Artinya, batubara saya beli tapi saya mau tau mengelola lingkungan bagaimana. Bahwa pasar belum banyak mengintervensi kegiatan konservasi,” ujar Yaya Rayadin.

Dia kemudian mencontohkan, di konsesi pertambangan batu bara, sungai bisa dipindah bila perlu. Sementara perkebunan kelapa sawit atau HTI, sungai harus ada batas yang dibuat mengelilingi sungai dengan jarak tertentu atau buffer sungai.

“Kebijakan konservasi di tambang itu belum ada,” katanya.

Sulitnya Konservasi di Tambang

Orang utan Arsari
Salah satu orang utan jantan dewasa di Pusat Suaka Orangutan Arsari (PSO-ARSARI) yang dipersiapkan untuk kembali ke hutan meski dalam bentuk enclosure.... Selengkapnya

Jika memandang lebih luas pada Lanskap Kutai dengan luas sekitar 4 juta hektar, Yaya Rayadin memprediksi ada sekitar 5 ribu hingga 7 ribu populasi orang utan di lanskap itu. Sementara di dalam lanskap itu ada 700 ribu hektar kawasan pertambangan batu bara.

“Itu overlapping habitat orang utan dengan kawasan pertambangan. Itulah tantangan konservasi orang utan di sektor tambang. Tambangnya ada, overlap dengan habitat orang utan di Lanskap Kutai,” sebutnya.

Berdasarkan data luasan tersebut, 20 persen dari 5 ribu hingga 7 ribu populasi orang utan beririsan langsung dengan tambang batu bara. Di lahan tambang, interaksi negatif orang utan memungkinkan terjadi.

Dia mencontohkan orang utan masuk ke infrastruktur tambang, tanaman reklamasi, atau masuk ke perumahan penduduk. Menurutnya, orang utan punya potensi mati karena kekurangan pakan. Ini akibat kegiatan tambang terutama saat kegiatan pertambangan berlangsung.

“Jadi concern kita sebetulnya saat kegiatan tambang berlangsung itu bagaimana proses konservasi orang utan berjalan dengan baik. Itu masalahnya, menanganinya seperti apa?” katanya.

Di kawasan pertambangan, produk tambang bukan pakan orang utan. Berbeda dengan kelapa sawit atau tamanan HTI yang bisa menjadi makanan orang utan.

“Sementara di tambang bukan makanan orang utan. Yang jadi sumber pakannya adalah tanaman reklamasinya,” kata Yaya.

Dia mengakui, konservasi orang utan di sektor tambang sangat sulit. Pertama, sebutnya, tidak ada dukungan regulasi yang mendorong perusahaan melakukan kegiatan-kegiatan konservasi di tingkat lapangan.

Yaya menyebut kewajiban melakukan konservasi yang paling bagus itu menyiapkan kawasan. Kawasan yang dimaksud adalah areal konservasi, kawasan konservasi, areal lindung, atau kawasan hutan yang tidak boleh ditebang.

“Regulasi ini tidak ada di pertambangan. Selama di situ ada potensi pit, ada potensi batu bara, ya dibuka saja,” katanya.

Kedua, sambungnya, dari sisi pasar batu bara sama sekali tidak mensyaratkan konservasi sebagai syarat penjualan.

“Tidak ada persyaratan sustainability best mining practice. Artinya perusahaan tambang harus care, dong. Kalau care batubara ku beli, kalau tidak care batubara tidak ku beli. (Itu) tidak ada di tambang,” kata Yaya.

“Beda dengan di kelapa sawit. Di sawit pasar itu bisa menilai. Kalau manajemen konservasinya tidak bagus, sawitnya tidak dibeli. Di industri HTI juga sama, buyer bisa mengatur,” sambungnya.

Sementara itu, dukungan regulasi terkait konservasi di pertambangan dianggap lemah. Pasar juga belum mensyaratkan dukungan itu.

“Perbankan juga, yang penting modalnya bisa kembali. Beda sama perbankan yang memberi modal ke sawit atau HTI, sustainability menjadi bagian yang penting. Ini harus diciptakan dulu. Sehingga muncullah komitmen konservasi,” tambahnya lagi.

Padahal, menurut Yaya, pelaksanaan konservasi di sektor tambang itu lebih mudah. Karena tidak semua areal ditambang. Tambang hanya membuka areal yang ada potensi mineralnya saja.

Kawasan yang tidak ada potensi mineralnya sebaiknya tidak dibuka menjadi aktivitas pertambangan. Dibiarkan tetap menjadi hutan.

“Cuma regulasi seperti itu kan belum ada. Jadi intinya, masalah besarnya bagaimana menciptakan memberi mandat agar kawasan-kawasan areal di habitat penting satwa liar untuk mengkonservasi kawasan,” sebutnya.

Yaya menyebut, jika tingkat kerawanan itu diwakilkan dengan warna, hijau mewakili status baik, kuning dilambangkan waspada, dan merah dianggap sangat rawan, maka status di Lanskap Kutai adalah merah.

“Sangat rawan sekali. Indikator merahnya apa? Ya gampang. Tinggal melihat orang utan di jalan, di tambang. Tidak sedang baik-baik saja,” kata Yaya.

Pendekatan Konservasi Berbasis Bentang Alam

Tambang Batu Bara Ilegal
Aktivitas diduga tambang ilegal di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Labanan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. (foto: Istimewa)... Selengkapnya

Principal Conservation Action Network (CAN) Paulinus Kristianto punya cara pandang yang sama soal penanganan orang utan di kawasan konsesi, baik pertambangan, perkebunan kelapa sawit, maupun HTI. Hanya saja, butuh komitmen kuat terutama pengelola kawasan pemegang izin konsesi.

“Dengan ekosistem yang mencakup hutan lindung, hutan desa, serta kawasan konsesi perusahaan, diperlukan sebuah pendekatan konservasi berbasis bentang alam atau landscape-based conservation yang mengintegrasikan berbagai pemangku kepentingan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan habitat orang utan secara berkelanjutan,” kata Paulinus, Sabtu (22/2/2025).

Kondisi konflik orang utan dengan aktivitas manusia yang kian tajam seiring perluasan areal pertambangan batu bara, terutama di Landskap Karaitan, upaya bersama semua pihak menjadi sangat mendesak. Perlu kerja bersama secara konperehensif namun harus disertai komitmen yang kuat.

“Melihat urgensi tersebut, sangat penting untuk segera membentuk Forum Landscape Orangutan Sangatta-Sangkulirang, yang beranggotakan pemerintah dari tingkat desa hingga provinsi, para pemegang izin konsesi, akademisi, organisasi konservasi, serta masyarakat lokal,” paparnya.

Baginya, forum ini akan berfungsi sebagai wadah koordinasi dan sinergi dalam memastikan upaya konservasi orang utan tidak hanya efektif, tetapi juga selaras dengan kebijakan tata kelola lahan dan pembangunan ekonomi di wilayah ini.

“Dengan pendekatan berbasis bentang alam, forum ini akan memastikan bahwa habitat orangutan tetap terhubung dan terlindungi dari fragmentasi yang dapat mengancam populasi mereka,” ujar Paulinus.

Dia menjelaskan, forum ini bertujuan untuk memperkuat koordinasi antara pemerintah, perusahaan, masyarakat adat, serta organisasi konservasi dalam merancang kebijakan dan program yang berkelanjutan. Keberadaan forum bersama akan membangun strategi mitigasi konflik manusia-orangutan dapat disusun bersama, termasuk melalui edukasi masyarakat dan implementasi praktik bisnis yang ramah lingkungan.

“Pembentukan forum ini akan menghasilkan rencana aksi jangka pendek dan jangka panjang yang terukur serta berbasis data ilmiah untuk menjaga keberlanjutan populasi orangutan morio,” katanya.

Saat ini, hanya cara itulah yang dianggap terbaik dalam upaya mitigasi konflik orang utan yang selama ini terus viral di media sosial. Apalagi daya dukung terhadap upaya itu sangat kuat, mulai dari akademisi, hingga organisasi konservasi di Kalimantan Timur.

Sebagai contoh, CAN memiliki Pusat Penyelamatan Satwa di Kampung Merasa, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau. Ada pula Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) yang mengelola Pusat Rehabilitasi Orangutan Samboja Lestari di Kabupaten Kutai Kartanegara.

BOSF juga telah mendirikan PT Restorasi Habitat Orang Utan (RHOI) yang mengelola Hutan Kehje Sewen di Kabupaten Kutai Timur sebagai tempat translokasi dan pelepasliaran orang utan.

Pusat rehabilitasi orang utan juga dimiliki Center for Orangutan Protection (COP) yang terletak di Kabupaten Berau. COP juga telah mengelola kawasan translokasi dan pelepasliaran orang utan di Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat di Kabupaten Kutai Timur.

Sehingga pada saat mitigasi konflik orang utan benar-benar terealisasi dan membutuhkan upaya translokasi atau rehabilitasi, daya dukung upaya itu juga sangat siap. Tinggal menunggu komitmen para pemangku kawasan seperti perusahaan pemegang konsesi.

"Translokasi itu sangat penting pada kawasan dan kondisi tertentu orangutan yang membutuhkan," tutup Paulinus.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya