Kisah Tan Peng Nio, Pendekar Tionghoa yang Menjadi Bagian Sejarah Kebumen

Kisahnya dimulai dari Tiongkok, tempat ia dilahirkan sebagai anak dari Jenderal Tan Wan Swee, seorang jenderal yang memberontak terhadap Kaisar Qian Long dari Dinasti Qing. Pemberontakan tersebut gagal, dan keluarga Tan Peng Nio terpaksa meninggalkan Tiongkok.

oleh Switzy Sabandar Diperbarui 05 Mar 2025, 05:00 WIB
Diterbitkan 05 Mar 2025, 05:00 WIB
Ilustrasi - Pesisir selatan Cilacap, Kebumen hingga Yogyakarta dihubungkan dengan JLSS. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ilustrasi - Pesisir selatan Cilacap, Kebumen hingga Yogyakarta dihubungkan dengan JLSS. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)... Selengkapnya

Liputan6.com, Kebumen - Tan Peng Nio adalah seorang pejuang Tionghoa yang lahir dari keluarga bangsawan. Ia menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan melawan penjajahan Belanda di Jawa.

Kisahnya dimulai dari Tiongkok, tempat ia dilahirkan sebagai anak dari Jenderal Tan Wan Swee, seorang jenderal yang memberontak terhadap Kaisar Qian Long dari Dinasti Qing. Pemberontakan tersebut gagal, dan keluarga Tan Peng Nio terpaksa meninggalkan Tiongkok.

Mengutip dari berbagai sumber, pada tahun 1740, Tan Peng Nio dan keluarganya tiba di Batavia (sekarang Jakarta). Pada saat itu, tibanya Tan Peng Nio tepat ketika terjadi peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Geger Pacinan.

Peristiwa ini merupakan pembantaian besar-besaran terhadap etnis Tionghoa oleh tentara VOC Belanda. Dalam situasi ini, Tan Peng Nio dan Lia Beeng Goe, seorang tokoh Tionghoa lainnya, memutuskan untuk mengungsi ke arah timur.

Mereka akhirnya tiba di Kademangan Kutowinangun, sebelah timur Kebumen, dan bertemu dengan Ki Honggoyudho, seorang kepala daerah setempat. Di Jawa Tengah, Tan Peng Nio terlibat dalam perjuangan melawan VOC.

Pada tahun 1741, Raden Mas Garendi, cucu Amangkurat III, memimpin perlawanan terhadap Belanda yang bersekutu dengan Kesultanan Mataram di bawah Pakubuwono II. Tan Peng Nio bergabung dengan 200 pasukan yang dibentuk oleh Tumenggung Kolopaking II, penguasa Kadipaten Panjer (Kebumen).

Pasukan ini dikirim untuk membantu Raden Mas Garendi melawan VOC. Tan Peng Nio tergabung dalam pertempuran ini yang dipimpin oleh Kapitan Sepanjang, seorang pemimpin pasukan Tionghoa dari Batavia.

Bersama tokoh-tokoh seperti Patih Natakusuma, Raden Mas Said (kelak dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa), dan Singseh dari Tanjung Welahan, Tan Peng Nio turut berperan dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Setelah Raden Mas Garendi berhasil merebut tahta dan dinobatkan sebagai Amangkurat V, perang pun berakhir.

Tan Peng Nio memilih menetap di Jawa. Ia menikah dengan Raden Mas Sulaiman Kertawangsa, putra Tumenggung Kolopaking II.

Pernikahan ini menjadikan Tan Peng Nio sebagai bagian dari keluarga bangsawan Jawa, dan ia diberi gelar Raden Ayu. Pasangan ini dikaruniai dua anak, yaitu Raden Mas Endang Kertawangsa dan Raden Ayu Mulat Ningrum.

Raden Mas Sulaiman Kertawangsa kemudian diangkat sebagai penguasa Kadipaten Panjer pada tahun 1751-1790 dengan gelar K.R.A.T Kolopaking III. Setelahnya, Raden Mas Endang Kertawangsa menggantikan ayahnya dan memerintah Kadipaten Panjer dari tahun 1790-1833 dengan gelar K.R.A.T Kolopaking IV.

Pada masa pemerintahan Tumenggung Kolopaking IV, terjadi Perang Diponegoro (1825-1830). Tumenggung Kolopaking IV bersama para senopati dan pasukan Kadipaten Panjer bergabung dengan Pangeran Diponegoro melawan Belanda.

Akan tetapi, Tumenggung Kolopaking IV gugur dalam pertempuran saat pasukan Belanda dan sekutunya menyerbu pendopo Kadipaten Panjer. Setelah wafat, Raden Ayu Tan Peng Nio dimakamkan di Desa Jatimulyo, Kecamatan Alian, Kebumen. Makamnya dibangun dengan gaya Tionghoa dan terletak di tengah persawahan.

Penulis: Ade Yofi Faidzun

Promosi 1

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya