OPINI: Undang-Undang TNI, Utamakan Keselamatan Rakyat dan Kepentingan Nasional

Sikap kritis dalam hal mengingatkan pemerintah eksekutif dan legislatif untuk tetap tegak terhadap prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi Indonesia terkait perumusan kebijakan dan pelaksanaannya merupakan hal yang penting.

oleh Liputan6.com Diperbarui 22 Mar 2025, 21:49 WIB
Diterbitkan 22 Mar 2025, 03:13 WIB
50 Ribu Pasukan Gabungan Ikuti Apel Kesiapan Natal dan Tahun Baru
Anggota TNI saat mengikuti Apel Kesiapan Natal, Tahun Baru 2019 serta menjelang Pemilu legislasi dan Presiden 2019 di Monas, Jakarta, Jumat (30/11). Apel diikuti 50.000 personel dari AD, AL, AU dan Polri. (Liputan6.com/Johan Tallo)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Lewat sidang paripurna di Jakarta pada Kamis (20/3/2025), DPR mengetok pengesahan Undang-Undang TNI yang belakangan ini ramai menuai protes.

Revisi UU TNI No 34 Tahun 2004 yang dipersoalkan mencakup 3 poin, yaitu Pertama, penambahan tugas pokok TNI yang mencakup upaya penanggulangan ancaman siber dan tugas membantu melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.

Kedua, penambahan masa kedinasan prajurit atau batas usia pensiun yang diatur dalam pasal 53 dalam UU TNI lama. Ketiga, poin yang paling disoroti, yaitu penambahan jabatan TNI aktif di Kementerian/Lembaga (K/L) sipil.

Berdasarkan pasal 47 ayat (1) UU TNI lama, prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan di luar 10 K/L. Namun dalam UU TNI baru ada penambahan, yaitu prajurit aktif dapat menjabat di 14 K/L.

Narasi protes dalam aksi demonstrasi maupun gerakan di media sosial, mengandung tendensi yang tidak hanya kritis terhadap negara, tetapi juga mengandung tendensi negatif.

Sikap kritis dalam hal mengingatkan pemerintah eksekutif dan legislatif untuk tetap tegak terhadap prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi Indonesia terkait perumusan kebijakan dan pelaksanaannya merupakan hal yang penting. Mengingat bahaya militerisme dan pemerintahan otoriter memang punya Sejarah yang traumatik di republik ini.

Namun, narasi negatif yang menebar ketakutan bagi segenap anak bangsa, seolah dengan adanya revisi UU TNI akan menghidupkan dan mengembalikan dwifungsi militer ala Orde Baru yang telah dikubur oleh reformasi merupakan upaya yang mengada-ada dan tidak produktif.

Kampanye negatif ini terus diproduksi meskipun tidak punya dasar yang jelas jika merujuk poin-poin substantif dalam UU TNI yang dipersoalkan.

Jika upaya ini terus dilakukan, maka pembodohan publik terus terjadi, bukan oleh negara melainkan oleh aktor non-negara yang mengatasnamakan rakyat sipil.

Kekacauan sosial-politik dengan memicu kemarahan publik menggunakan narasi adu domba antar anak bangsa dengan menarik-narik kebencian sipil-militer merupakan tindakan yang tidak melihat situasi dan konteks geopolitik (Kawasan dan global), juga tidak didasarkan pada keutamaan rakyat dan kepentingan nasional.

Narasi ketakutan akan militer itu hanya melihat negara dengan militernya (sebagai alat negara untuk pertahanan) dalam posisi seolah netral. Padahal, negara dan militer mestinya mengabdi pada keutamaan rakyat dan kepentingan nasional.

Sebagai Negara demokrasi-Presidensial, supremasi hukum adalah penting. Dan supremasi hukum itu ada dalam Pancasila dan UUD 1945. Maka, militer akan mengabdi pada supremasi sipil dan supremasi hukum.

 

Promosi 1

Perjelas Tugas Prajurit

Sekretaris Jenderal AMPERA/ Aktivis Perempuan, Minaria Chrystin.
Sekretaris Jenderal AMPERA/ Aktivis Perempuan, Minaria Chrystin.... Selengkapnya

Menetralkan atau memisahkan militer (negara) dari kepentingan politik-ekonomi nasional adalah upaya liberalisme dan kapitalisme yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Itulah bahaya demokrasi liberal-kanibalistik yang sadar atau tidak sadar sedang diusung para buruh NGO hamba donor asing dengan berlindung pada terminologi dikotomis: sipil-militer.

Keterlibatan militer dalam sejarah republik ini tidak dikotomis dengan rakyat. TNI lahir dari rakyat sejak masa pergolakan kemerdekaan. Meskipun kemudian di Orde Lama, konsep ‘Jalan Tengah’ Jendral Nasution yang diformulasikan dalam dwifungsi ABRI di Orde Baru yang bertindak dalam politik dan ekonomi secara langsung meninggalkan jejak buruk dan trauma, hari ini tidak ada sama sekali negara akan mengembalikan dwifungsi militer.

Revisi UU TNI sekarang justru memperjelas tugas prajurit untuk pertahanan negara di Tengah situasi yang berubah dan tetap tunduk pada supremasi sipil, Pancasila dan UUD 1945.

Pasca reformasi 98, hingga periode presiden GusDur, tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI: penghapusan fraksi ABRI di DPR, pemisahan TNI-Polri dan Kementerian Pertahanan yang diisi oleh sipil sudah terjadi. Tahun 2004 UU TNI terbentuk untuk memastikan Batasan dan tugas professional prajurit untuk pertahanan negara.

Belakangan ini, anggapan bahwa ada kesesatan berpikir dan proses yang berbahaya, yakni post-factum, yaitu telah terjadi pelibatan militer masuk di ranah sipil dahulu kemudian membutuhkan legitimasi melalui Revisi UU TNI juga keliru.

Dalam memastikan tujuan Negara, peran militer dan Kementerian/Lembaga sipil masih harmonis. Sejumlah nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) yaitu jalinan kerja sama gotong royong antara TNI dan sejumlah K/L dan non-K/L terus dilakukan dengan hasil-hasil yang tidak menimbulkan kekacauan negara.

Justru efektif-efisien. TNI sendiri dalam laporan Lembaga survei Indikator yang dirilis tahun 2024 menempati peringkat pertama kepercayaan publik terhadap Lembaga.

Oleh karenanya, upaya menceraikan rakyat dengan TNI adalah upaya memecah-belah bangsa yang harus segera dihentikan.

Dampak dari terbelahnya persatuan nasional, tercerainya elemen pertahanan sipil dan militer, sangat memungkinkan agenda asing masuk memporak-porandakan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia di tengah situasi geopolitik yang berubah dan tidak pasti sekarang.

Kontrol dan partisipasi publik dalam rangka supremasi sipil tetap harus dimajukan (terutama peningkatan kualitas demokrasi DPR dan Partai Politik), serta mendorong profesionalitas prajurit dengan meningkatkan teknologi pertahanan serta kesejahteraan prajurit sehingga sebagai personil TNI, sipil yang dilatih dan dipersenjatai untuk keamanan dan pertahanan tidak boleh terlibat politik praktis dan melakukan kegiatan bisnis.

Kesemuanya itu, baik sipil atau militer, harus mengabdi bela negara dengan menjunjung supremasi hukum tertinggi: keselamatan rakyat berdasar Pancasila dan UUD 1945.

Penulis: Minaria Chrystin, Sekretaris Jenderal AMPERA

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya