Aktivis hingga Pegiat Demokrasi Tolak RUU TNI

Agenda revisi UU TNI tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah yang profesional melainkan pasal-pasal yang mengembalikan dwifungsi.

oleh Aries Setiawan Diperbarui 17 Mar 2025, 16:50 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2025, 16:50 WIB
Sejumlah pegiat demokrasi hingga aktivis HAM membacakan petisi menolak RUU TNI di Kantor YLBHI, Jakarta, Senin (17/3/2025). (Merdeka.com/Muhammad Genantan Saputra)
Sejumlah pegiat demokrasi hingga aktivis HAM membacakan petisi menolak RUU TNI di Kantor YLBHI, Jakarta, Senin (17/3/2025). (Merdeka.com/Muhammad Genantan Saputra)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah pegiat demokrasi hingga aktivis hak asasi manusia (HAM) membacakan petisi menolak RUU TNI di Kantor YLBHI, Jakarta, Senin (17/3/2025).

Mereka menilai agenda revisi UU TNI tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah yang profesional melainkan pasal-pasal yang mengembalikan dwifungsi.

"Pemerintah telah menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi Undang-Undang TNI kepada DPR, 11 Maret 2025, DIM itu bermasalah. Terdapat pasal-pasal yang akan mengembalikan militerisme (dwifungsi TNI) di Indonesia. Kami menilai agenda revisi Undang-Undang TNI tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah yang profesional. Justru akan melemahkan profesionalisme militer," Ketua YLBHI M. Isnur bersama pada aktivis lainnya, Senin (17/3/2025).

Menurut Isnur, sebagai alat pertahanan negara TNI dilatih, dididik dan disiapkan untuk perang. Bukan untuk fungsi non-pertahanan seperti duduk di jabatan-jabatan sipil.

Isnur melanjutkan, dalam konteks reformasi sektor keamanan, mestinya pemerintah dan DPR mendorong agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Sebab, dia menilai, agenda revisi UU ini lebih penting ketimbang RUU TNI karena agenda itu merupakan kewajiban konstitusional negara untuk menjalankan prinsip persamaan di hadapan hukum bagi semua warga negara, tanpa kecuali.

"Reformasi peradilan militer merupakan mandat TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU No.34 tahun 2004 tentang TNI," jelasnya.

Isnur menambahkan, bahwa pihaknya menilai RUU TNI akan mengembalikan dwifungsi TNI, yaitu militer aktif menduduki jabatan-jabatan sipil. Dia menyebut perluasan penempatan TNI aktif itu tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah.

Dia menuturkan, perluasan jabatan sipil dalam RUU TNI itu di antaranya adalah dengan menempatkan militer aktif di Kejaksaan Agung hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan.

"Ingat, TNI adalah alat pertahanan negara untuk perang. Sedangkan Kejaksaan Agung adalah lembaga penegak hukum. Maka, salah jika anggota TNI aktif duduk di institusi Kejaksaan Agung," kata Isnur.

"Dan salah jika ingin menempatkan militer aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dua contoh itu cerminan praktik dwifungsi TNI," sambungnya.

Baca juga SBY: Jangan Sampai TNI Mengulangi Masa Lalu yang Sudah Dikoreksi Sejarah

Promosi 1

Untuk Melegitimasi Ekspansi Keterlibatan Prajurit TNI Aktif di Wilayah Sipil

Isnur melanjutkan, bahwa pihaknya memandang perluasan tugas militer untuk menangani narkotika juga keliru dan bisa berbahaya bagi negara hukum. Dia menyebut, pelibatan TNI dalam mengatasi narkotika akan melanggengkan penggunaan 'war model'.

"Selama ini, model penegakan hukum saja seringkali bermasalah dan tidak proporsional dalam mengatasi narkoba. Apalagi jika menggunakan war model dengan melibatkan militer, tentu hal ini akan menimbulkan terjadinya kekerasan yang berlebihan yang serius," ujar Isnur.

Isnur bersama elemen lainnya menilai, revisi ini hanya untuk melegitimasi mobilisasi dan ekspansi keterlibatan prajurit TNI dalam permasalahan domestik seperti makan bergizi gratis (MBG), distribusi gas elpiji, ketahanan pangan, penjagaan kebun sawit, pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta penertiban dan penjagaan kawasan hutan bahkan sampai pengelolaan ibadah haji.

"Kami menolak RUU TNI maupun DIM RUU TNI yang disampaikan Pemerintah ke DPR karena mengandung pasal-pasal bermasalah dan berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI dan militerisme di Indonesia," pungkasnya.

Mereka yang membacakan petisi soal RUU TNI ini antara lain Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Dimas Bagus Arya, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, anak Wakil Presiden Muhammad Hatta, Halida Hatta, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto penggerak Aksi Kamisan, Maria Catarina Sumarsih, cendekiawan, Muhammadiyah Sukidi Mulyadi, pegiat HAM, Smita Notosusanto, dan sejumlah tokoh lain dari koalisi masyarakat sipil.

 

Reporter: Muhammad Genantan Saputra

Sumber: Merdeka.com

Infografis Siap-Siap Personel TNI Polri Bisa Isi Jabatan ASN. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Siap-Siap Personel TNI Polri Bisa Isi Jabatan ASN. (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya