Curhatan Bos Timah Hadapi Jatuhnya Harga Komoditas

Harga komoditas timah sempat terpuruk ke level paling rendah dalam 10 tahun terakhir.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 23 Apr 2015, 17:27 WIB
Diterbitkan 23 Apr 2015, 17:27 WIB
PT Timah (Persero) Tbk (TINS)
(Foto: PT Timah)

Liputan6.com, Jakarta - Harga komoditas timah sempat terpuruk ke level paling rendah dalam 10 tahun terakhir, dibanderol Rp 13.600 per ton. Jatuhnya harga ini membawa PT Timah Tbk (TINS) pada langkah efisiensi dan diversifikasi bisnis untuk tetap mendulang untung.

Direktur Utama Timah, Sukrisno mengungkapkan, industri pertimahan di dunia, termasuk Indonesia tengah suram. Maraknya penambangan ilegal dan penyelundupan bijih timah, diakuinya menjadi penyebab harga timah terpuruk di kuartal I 2015 sebesar Rp 13.600 per ton.

"Harga itu paling rendah dalam 10 tahun terakhir karena banyak illegal mining dan penyelundupan bijih timah," ujarnya saat Konferensi Pers Investor Day di Gedung BEI, Jakarta, Kamis (23/4/2015).

Lebih jauh dia mengatakan, data internasional menunjukkan Thailand mampu memproduksi logam sebanyak 17 ribu ton sepanjang 2014, padahal di periode itu negara ini tidak memproduksi bijih timah. Sama halnya dengan Malaysia. Produksi bijih timah Negeri Jiran ini hanya 2.600 ton, tapi produksi logamnya mencapai 35 ribu ton.

Saat ini, Sukrisno menyebut, harga jual logam timah mulai merangkak naik lagi menyentuh Rp 15.550 per ton. Penyebabnya, sambung dia, stok timah dunia mengalami penurunan dari 14 ribu ton menjadi 10 ribu sampai 11 ribu per ton. Dan sekarang ini 9.300 ton.

"Kemungkinan produksi akan turun terus dengan pembatasan ekspor dari Gubernur Bangka Belitung terlaksana. Dengan harga ini, para produsen timah enggan menjualnya karena hanya akan merugikan," terang dia.

(Foto: Liputan6.com)

Lanjutnya, harga jual rata-rata timah pada kuartal I 2015 sebesar Rp 18.930 per ton atau merosot dibanding periode dama tahun lalu sebesar Rp 23 ribu per ton. Dengan tekanan harga, Sukrisno mengaku, perseroan melakukan berbagai strategi.

Pertama, kata dia, mengatur produksi dan penjualan. Pasalnya jika perseroan terus berproduksi disaat harga sedang rendah, maka cadangan keuangan internal akan terkuras. Alhasil perseroan hanya akan mengalami defisit. Begitupula dengan penjualan.

"Pemerintah daerah akan mengeluarkan aturan tidak boleh bijih timah dari Belitung dibawa keluar alias ekspor. Makanya bisa diolah dulu di smelter sehingga punya nilai tambah," ucap dia.

Langkah kedua, menekan biaya produksi melalui penghematan. Mulai dari konsumsi rapat, perjalanan dinas, uang saku dan memanfaatkan teknologi sebagai media untuk menggelar rapat internal antara Jakarta dan Bangka Belitung.  

Selanjutnya langkah ketiga, mendiversifikasi bisnis, seperti merambah bisnis properti, rumah sakit dan sebagainya. Ke depan, porsi bisnis timah dengan unit bisnis lain akan berkurang dengan komposisi 50 persen:50 persen.

"Sekarang core bisnis timah porsinya 90 persen-95 persen, sedangkan bisnis lain 5-10 persen. Nanti lama-lama berkurang menjadi 80:20 persen, lalu 50:50 persen. Kontribusi dari bisnis properti dan rumah sakit akan dikonsolidasikan pada tahun ini," tegas Sukrisno. (Fik/Ndw)
    

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya