Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berharap Bursa Efek Indonesia (BEI) dapat segera meluncurkan carbon trading seiring menyambut momentum Presidensi G20 pada 2022.
Lalu bagaimana dengan persiapan Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menerapkan program menekan emisi dengan menargetkan pengurangan karbondioksida melalui carbon trading ini?
Baca Juga
Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 1A Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Luthfi Zain Fuady mengatakan, pihaknya menyiapkan regulasi dan infrastruktur untuk menerapkan carbon trading tersebut jika memang program tersebut diarahkan ke pasar modal. Ia menilai, pasar modal memang mau tak mau harus siap untuk program tersebut.
Advertisement
"Kami dari pasar modal tentu siapkan nanti kalau memang regulasi ke arah sana. Kita siap sebagai bagian dari pencapaian emisi Indonesia,” kata dia saat Media Gathering, Kamis (9/12/2021).
Ia menambahkan, infrastruktur regulasi juga disiapkan karena memang dari regulasi belum terlalu jelas. "Policy mengarahkan ke pasar modal kita harus siap. Kesiapan infrastruktur dikembangkan dari yang ada,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Utama BEI Inarno Djajadi menuturkan, carbon trading bagian dari upaya Indonesia untuk menekan emisi karbon pada 2030.
"Emisi nationally determined contribution (NDC) di mana kita punya target melalui Paris Agreement di mana dengan kekuatan sendiri 29 persen, dan bantuan internasional 41 persen," kata dia.
Dari target menekan emisi karbon, BEI melihat sejumlah sektor yang jadi perhatian untuk kurangi emisi karbon antara lain sektor energi, limbah, pertanian, kehutanan dan lahan.
"Jadi target supaya pengurangan NDC tercapai 2030. Perdagangan karbon, salah satu inisiatif antara inisiatif lain. Tentunya sebagaimana kita tahu pertemuan diarahkan iuntuk selenggarakan itu. Perlu proses dan diskusikan targetnya kapan, sebisa mungkin sesuai arahan pemerintah sehingga bisa membantu pemerintah target NDC tersebut," kata dia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Sri Mulyani Minta BEI Jadi Platform Carbon Trading Kredibel
Sebelumnya, Pemerintah berupaya terus meningkatkan perannya dalam mengatasi perubahan iklim. Tidak hanya di sektor industri konvensional, melainkan juga di sektor keuangan dan investasi. Seperti melalui Bursa Efek Indonesia (BEI).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, berharap BEI nantinya bisa menjadi platform perdagangan karbon yang kredibel dan diakui dunia.
“Kita akan sangat tergantung kepada Bursa Efek Indonesia, akan menjadi platform untuk perdagangan, yang saya harap akan membangun dan mengantisipasi, sehingga perdagangan karbon menjadi Kredibel dan diakui dunia tidak hanya Indonesia,” kata Menkeu dalam CEO Networking, Selasa, 16 November 2021.
Namun, untuk mewujudkan carbon trading membutuhkan regulasi nasional yang baik agar bisa sesuai dengan regulasi global. Kendati begitu, Pemerintah tetap menjaga pengaturan perdagangan karbon melalui instrumen non-perdagangan, yakni melalui pajak.
“Ini membutuhkan regulasi dan kapasitas self regulate nasional yang baik nasional, yang kompatibel dengan global namun tetap menjaga kepentingan Indonesia. Instrumen perdagangan akan dilengkapi dengan instrumen non-perdagangan seperti pajak,” jelas Sri Mulyani.
Oleh karena itu, dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Kementerian Keuangan melahirkan pajak karbon sebagai dukungan terhadap perubahan iklim dunia. Ini menambah sederetan kebijakan fiskal yang digunakan sebagai instrumen pengendali perubahan iklim.
“Indonesia melakukan dan berjuang tentu di dalam merumuskan kebijakan di dalam negeri, memahami bahwa ini juga merupakan masalah Global. Maka di level global pun kita juga harus menjaga kepentingan Indonesia,” ujarnya.
carbon trading merupakan program untuk menekan emisi dengan menargetkan pengurangan karbon dioksida.
Sehingga melalui program carbon trading ini, suatu negara yang memproduksi emisi karbon lebih banyak dapat mengeluarkan emisi tersebut dari negaranya.
Sedangkan negara yang memiliki emisi lebih sedikit bisa menjual hak menghasilkan emisi sesuai batasnya ke negara atau wilayah lainnya.
Advertisement