Liputan6.com, Jakarta - Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk/PGN (PGAS)Arcandra Tahar mengatakan, konsumsi energi pada 2022 akan menyamai level sebelum pandemi COVID-19.
Hal tersebut disampaikan Arcandra dalam acara PGN Energy Economic Outlook 2022, Rabu, (12/1/2022).
Meningkatnya aktivitas ekonomi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang negatif selama 2 tahun masa pandemi akan menjadi pendorong laju konsumsi energi di seluruh dunia.
Advertisement
“Faktor pandemi seperti penanganan terhadap varian baru COVID-19 Omicron masih akan mempengaruhi konsumsi energi dunia. Harga komoditas energi seperti minyak bumi dan batu bara masih akan tinggi karena demand yang meningkat,” kata dia dikutip dari keterangan tertulis.
Sektor energi akan berperan penting dalam pemulihan ekonomi yang terjadi secara global pada 2022. Optimisme organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa pandemi COVID-19 akan berakhir pada 2022 ini telah mendorong banyak negara melakukan pelonggaran kebijakan sehingga memberikan peluang meningkatnya investasi, termasuk di sektor energi.
Berdasarkan pengalaman dan kajian data selama 2021, terdapat beberapa aspek penting yang akan mempengaruhi sektor energi ekonomi global pada 2022, sebagai berikut:
1. Kebutuhan dunia terhadap minyak akan tetap tumbuh hingga sekitar 100 juta barel per day (bpd). Konsumsi minyak dunia sebesar itu setara dengan kondisi sebelum pandemi COVID 19. Dengan permintaan yang meningkat dan OPEC+ tidak menaikkan produksi minyak, maka harga minyak Brent diperkirakan berada pada level USD 65-80 per barrel.
2. China dan India yang mengkonsumsi 65 persen dari produksi batu bara dunia akan tetap mengandalkan PLTU sebagai sumber energi murah mereka.
Kebutuhan China terhadap batu bara akan tetap tumbuh dengan tambahan PLTU sebesar 35 GW di tahun 2020. Sebagai negara dengan cadangan batu bara keempat terbesar di dunia, China mampu untuk memenuhi kebutuhan batu bara mereka. Namun, pengetatan aturan safety & environment membuat peningkatan produksi batubara China belum mampu mengimbangi laju pertumbuhan PLTU mereka.
Permintaan di China dan India yang tinggi, ditambah dengan ketidakmampuan negara produser seperti Indonesia, Rusia dan Australia, untuk menaikan produksi, akan menjadikan harga batubara tetap tinggi pada 2022.
3. Kebutuhan dunia terhadap Electric Vehicle (EV) akan terus meningkat, tapi tidak seperti yang diharapkan. Beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut diantaranya adalah subsidi dan insentif yang diberikan oleh beberapa negara untuk meningkatan jumlah pengguna EV sudah mulai berkurang.
Perang insentif antar negara producer EV dalam rangka melindungi industri dalam negeri masing masing negara juga akan berdampak pada pertumbuhan EV.
4. Perusahaan minyak dari Amerika Serikat (AS) seperti Chevron, ExxonMobil dan ConocoPhillips akan fokus untuk berinvestasi di dalam negeri mereka, terutama di shale oil dan gas. Aset-aset mereka yang diluar AS akan dikonsolidasikan, sehingga beberapa aset migas akan dan sedang ditawarkan untuk dijual.
5. Energi terbarukan akan tetap tumbuh seiring dengan penerapan pajak karbon atau dagang karbon. Beberapa negara akan mulai membuat aturan tentang pajak karbon dan ada kemungkinan pajak karbon atau harga karbon yang di perdagangkan pada 2022 akan terus meningkat.
6. Rencana untuk mengakhiri operasi beberapa PLTU lebih cepat pada 2022 kemungkinan tidak sebanyak yang di targetkan. Krisis energi yang terjadi di Eropa pada 2021 dan masih tingginya harga energi terbarukan akan mendorong pada pelaku bisnis untuk mengkaji kembali rencana mempensiunkan PLTU.
Perekonomian Bakal Membaik pada 2022
Sementara itu, Deputi Gubenur Senior Bank Indonesia periode 2014-2019 Mirza Adityaswara mengatakan perekonomian akan membaik pada 2022. Ia optimistis ekonomi dunia dan Indonesia saat ini menuju ke normalisasi.
"Dari sisi pertumbuhan ekonomi, menuju kearah akselerasi ke arah normal. Pada tahun 2020 waktu pertumbuhan negatif itu tidak normal, tahun 2021 kita sudah recovery awal dan tahun 2022 recover lebih baik,” kata Mirza.
Dalam masa recovery ini, kata Mirza, hampir semua negara di dunia akan melakukan penyesuaian kebijakan. Sebagai contoh terkait suku bunga.
"Ketika masa pandemi, di tengah tren inflasi yang tinggi dan resiko perbankan mengalami kenaikan kredit bermasalah, bank sentral melakukan kebijakan suku bunga rendah," kata Mirza.
Dalam proses menuju kondisi normal akan banyak penyesuaian kebijakan. Suku bunga akan naik secara bertahap, insentif pemerintah berkurang dan sektor swasta mengambil peran lebih besar dalam perekonomian.
"Konsumsi energi yang meningkat juga perlu menjadi perhatian mengingat impor energi kita, khususnya minyak masih sangat besar dan berdampak terhadap devisa. Kehadiran energi yang efisien dan bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor akan menjadi sangat penting bagi ketahanan ekonomi nasional," kata dia.
Reporter: Elizabeth Brahmana
Advertisement