Masuk Tahun Politik, Bagaimana Prospek Pasar Obligasi pada 2024?

Pengamat Pasar Modal, Lanjar Nafi menilai sikap yang lebih dovish pada kebijakan moneter dalam konteks ini adalah suku bunga Amerika menyebabkan penurunan minat akan USD secara global.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 01 Jan 2024, 19:13 WIB
Diterbitkan 01 Jan 2024, 19:13 WIB
Masuk Tahun Politik, Bagaimana Prospek Pasar Obligasi pada 2024?
Ilustrasi Obligasi (Photo created by rawpixel.com on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Memasuki 2024, pandangan pasar tertuju pada sinyal pemangkasan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (the Fed).

Pengamat Pasar Modal, Lanjar Nafi menilai sikap yang lebih dovish pada kebijakan moneter dalam konteks ini adalah suku bunga Amerika menyebabkan penurunan minat akan USD secara global. Terlihat pada dolar indeks yang merosot dan menjadi sentimen positif dalam terapresiasinya secara signifikan nilai tukar rupiah terhadap USD.

Dia menuturkan, hal itu menjadi suatu hal yang positif untuk pasar modal. Selain itu langkah the Fed juga akan membawa langkah serupa untuk Bank Indonesia yakni memangkas suku bunga. Spekulasi arah suku bunga yang lebih rendah akan menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan tentu keuntungan para pelaku bisnis, Mereka dapat mengembangkan bisnis lebih agresif dengan biaya bunga yang relatif lebih rendah.

"Imbas untuk pasar obligasi pun positif, pemotongan suku bunga cenderung membuat obligasi yang ada lebih menarik, karena investor mencari imbal hasil yang lebih tinggi di tengah suku bunga yang lebih rendah," kata Lanjar kepada Liputan6.com, ditulis Senin (1/1/2024).

Senada, Schroders Indonesia menilai 2024 akan menjadi tahun obligasi, imbas reli obligasi yang tertunda pada 2023 dan bergeser ke tahun ini. Berita tentang pemangkasan suku bunga oleh the Fed akan menjadi tema dominan tahun ini, dan akan menguntungkan investor negara berkembang. Khususnya yang memiliki inflasi rendah, fiskal yang prudent, dan pertumbuhan yang stabil seperti Indonesia.

 

 

Sentimen yang Bayangi Obligasi

Pergerakan IHSG Turun Tajam
Pengunjung melintas di papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta, Rabu (15/4/2020). Pergerakan IHSG berakhir turun tajam 1,71% atau 80,59 poin ke level 4.625,9 pada perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Tim riset Schroders Indonesia mengakui pasar telah memperhitungkan pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve sebesar 150 bps pada akhir 2024 dan soft landing telah menjadi pandangan konsensus di AS.

Probabilitas terjadinya resesi telah turun menjadi 50 persen. Agar pasar obligasi menguat, perlu kejutan dari sisi pertumbuhan dan inflasi dengan penurunan yang lebih besar dari perkiraan pasar, atau pemangkasan suku bunga yang lebih cepat dari yang diperkirakan pasar.

Perusahaan meyakini siklus kenaikan suku bunga selama hampir dua tahun ini pada akhirnya akan mengakibatkan penurunan lebih besar dalam tabungan, mengurangi konsumsi, dan harga harus menyesuaikan, dan hal tersebut akan menguntungkan bagi pasar obligasi.

Faktor Lain yang Buat Yield Tetap Tinggi

IHSG Ditutup Melemah 0,74 Persen ke Level 6.812
Pekerja melintasi layar pergerakan saham Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Rabu (3/5/2023). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 50,58 poin atau 0,74 persen ke 6.812,72 pada akhir perdagangan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Faktor lain yang membuat yield tetap tinggi adalah ketidakseimbangan pasokan dan permintaan Surat Utang Amerika Serikat (US Treasury). Defisit fiskal di AS tinggi dan penerbitan surat utang membengkak, membuat kewaspadaan meningkat terutama dengan utang AS yang melampaui batas utang berisiko kembali menyebabkan terjadinya penutupan pemerintahan (shutdown).

Di pasar domestik, meningkatnya partisipasi investor lokal telah mendukung yield obligasi dan mencegahnya melampaui 7 persen saat terjadi aksi jual besar-besaran pada bulan Oktober. Hal tersebut menyebabkan penyempitan yield antara IndoGB dan US Treasury menjadi 228 bps, sebuah level di mana investor asing akan ragu-ragu untuk kembali masuk karena berada dalam kisaran yang sangat ketat secara historis. Meskipun valuasi mahal, kekuatan fundamental Indonesia tetap baik, yang memberikan sebuah dasar untuk berinvestasi pada obligasi Indonesia.

"Sebagai investor pendapatan tetap, kami berfokus pada kemampuan pemerintah untuk membayar bunga dan pokok pinjaman. Indikator-indikator yang relevan seperti defisit fiskal, rasio utang per PDB, dan rasio beban bunga menjadi penting. Hal ini juga akan mempengaruhi pasokan obligasi pemerintah yang juga dipantau dengan cermat oleh investor obligasi," jelas Tim Riset Schroders Indonesia.

Sentimen Dalam Negeri

IHSG Ditutup Melemah ke Level 6.679
Pekerja tengah melintas di bawah layar Indeks harga saham gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Selasa (16/5/2023). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dari dalam negeri, sentimennya yakni gelaran pemilihan umum (pemilu) yang akan berlangsung pada kuartal pertama tahun ini, tepatnya pada 14 Februari 2023. Pemilu kemungkinan akan membawa sejumlah perubahan dari sisi kebijakan, terutama dalam pengelolaan fiskal.

Terdapat ketidakpastian apakah pemerintahan selanjutnya akan melanjutkan pendekatan yang lebih konservatif dan berhati-hati atau akankah mereka mengadopsi pendekatan ekspansif yang dapat berimplikasi pada defisit fiskal yang lebih lebar. Head of Research & Advisory Bank Commonwealth Thadly Chandra menjelaskan, secara historis pemilu justru berdampak positif terhadap ekonomi, di mana pemilu biasanya meningkatkan likuiditas di pasar keuangan serta meningkatkan aktivitas ekonomi.

Kinerja bursa saham menjelang pemilu pun cenderung positif, khususnya enam bulan menjelang pemilu. Untuk menghadapinya, Thadly menerangkan, strategi manajemen portofolio yang berimbang antara kelas aset pendapatan tetap (fixed income) dan kelas aset saham (equity) dengan metode Dollar Cost Averaging atau akumulasi secara bertahap direkomendasikan untuk menghadapi volatilitas serta risiko pasar yang diperkirakan masih tinggi.

"Kelas aset pendapatan tetap diperkirakan dapat memberikan peluang yang menarik seiring dengan rencana pemangkasan suku bunga acuan The Fed. Bank Indonesia (BI) juga memiliki ruang untuk penurunan suku bunga acuan pada tahun 2024 jika inflasi terkendali dan nilai tukar rupiah stabil. Obligasi dapat dijadikan opsi diversifikasi investasi yang risikonya lebih rendah, namun dengan yield yang relatif stabil dan tetap memberikan return yang menarik," tutur Thadly.

 

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya