Liputan6.com, Jakarta - Bursa Efek Indonesia (BEI) buka suara terkait perkembangan nasib emiten yang tidak memenuhi aturan minimal free float 7,5 persen.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan, langkah awal yang dilakukan Bursa adalah menempatkan emiten-emiten tersebut dalam papan pemantauan khusus.
Baca Juga
"Hal yang kita lakukan tentu meng-educate dan memberikan kesempatan mereka untuk meningkatkan jumlah free float. Kita masukkan dulu ke papan pemantauan khusus," kata Nyoman di Gedung Bursa, Kamis (11/1/2024).
Advertisement
Bursa masih akan mencermati laporan dari Biro Administrasi Efek (BAE) terkait data emiten belum penuhi minimal free float per Desember 2023. Jika emiten tersebut tidak dapat memenuhi minimal saham free float 7,5 persen, maka berpotensi hengkang dari BEI atau delisting setelah sahamnya disuspensi selama 12 bulan.
Kewajiban pelaporan Laporan Registrasi Pemegang Efek disampaikan setiap bulan, selambat-lambatnya pada 10 bulan berikutnya. Sehingga, batas waktu penyampaian Laporan Registrasi Pemegang Efek per 31 Desember 2023 adalah 10 Januari 2024.
"Jadi mekanismenya adalah, once mereka tidak memenuhi (minimal free float), maka masuk ke papan pemantauan khusus. Nah, data terakhir sebelumnya itu tidak sampai 100 (emiten). Tapi tentu yang paling valid tunggu dulu data hasil rekapan yang 10 Januari," imbuh Nyoman.
BEI juga membuka peluang untuk meningkatkan ketuntasan minimal saham free float sebagai salah satu langkah dalam rangka memperketat kebijakan terhadap emiten atau calon emiten. Adanya ketentuan free float 7,5 persen sendiri diharapkan dapat membantu likuiditas saham emiten.
Tak Penuhi Aturan Free Float, Sejumlah Emiten Terancam Hengkang dari BEI
Sebelumnya diberitakan, Bursa Efek Indonesia (BEI) bakal mengumumkan perusahaan tercatat atau emiten yang belum memenuhi ketentuan minimal kepemilikan saham publik atau free float 7,5% pada 10 Januari 2024.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menuturkan, pihaknya akan memantau emiten mana saja yang belum memenuhi ketentuan free float. Ini mengingat pada 10 Januari akan keluar laporan dari Biro Administrasi Efek (BAE) terkait data per Desember 2023.
"Titik kita nanti itu memantau pada tanggal 10 Januari, karena pada 10 Januari nanti keluar laporan dari BAE, jadi data per desember 2023, lewat laporan yang dikeluarkan nanti di awal tahun, awal minggu di Januari kita akan lihat," kata Nyoman saat ditemui di BEI, Selasa (2/1/2023).
Ia melanjutkan, BEI telah memberikan batas waktu untuk sejumlah emiten yang belum memenuhi saham free float selama dua tahun, yakni sejak 2021. Alhasil, jika emiten tersebut tidak dapat memenuhi minimal saham free float 7,5%, maka berpotensi hengkang dari BEI atau delisting setelah sahamnya disuspensi selama 12 bulan.
Advertisement
BEI Buka Peluang
"Itu ada mekanisme, sekali dia ada di papan pemantauan khusus tidak bisa pindah lagi di 12 bulan ya kita akan suspend, suspend enggak bisa juga, pada periode tertentu ya delisting, cuma prosesnya itu berjenjang, jadi tidak seketika diberikan kesempatan pada perusahaan itu tapi stagesnya jelas," kata dia.
Mengacu pada kondisi tersebut, BEI juga membuka peluang untuk meningkatkan ketentuan minimal saham free float sebagai salah satu langkah dalam rangka memperketat kebijakan terhadap emiten atau calon emiten. Ia pun berharap dengan adanya ketentuan free float 7,5% akan membantu likuiditas saham dari para emiten.
"Terkait dengan peningkatan free float ke depan, tentu kami melihat perkembangan yang saat ini. Tapi nanti menunggu waktu dulu, karena yang 7,5 persen di tahun 2023 pada suatunya kita sudah tingkatkan dari sisi scopnya. Sehingga kualitas dari kepemilikan saham publik scoopnya lebih luas dan tentunya tujuan kita lebih ketat, 7,5 persen itu kita harapkan dapat membantu likuiditas," imbuhnya.
SMBC Jual 200 Juta Saham BTPN untuk Penuhi Free Float
Sebelumnya diberitakan, manajemen BTPN mengumumkan pemegang saham Perseroan Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) telah menjual saham BTPN dalam rangka memenuhi free float atau saham di publik.
Mengutip keterbukaan informasi ke Bursa Efek Indonesia (BEI), ditulis Sabtu (16/12/2023), SMBC menjual 200 juta saham dengan harga penjualan Rp 2.600 per saham pada 12 Desember 2023. Dengan demikian, nilai penjualan saham tersebut Rp 520 miliar.
Sekretaris Perusahaan PT Bank BTPN Tbk, Eneng Yulie Andriani menulis, tujuan dari transaksi tersebut untuk memenuhi ketentuan I.22 dari Peraturan BEI Nomor I-A yang merupakan lampiran I dari keputusan Direksi BEI Nomor Kep: 00101/BEI/12-2021 pada 21 Desember 2023 mengenai jumlah saham free float.
Setelah penjualan saham tersebut, SMBC memiliki 7.332.311.297 saham atau setara 89,98 persen. Sebelumnya, SMBC mengenggam 7.532.311.297 saham atau setara 92,43 persen.
Setelah transaksi itu, komposisi kepemilikan saham baru BTPN antara lain Sumitomo Mitsui Banking Corporation sebesar 89,98 persen, PT Bank Negara Indonesia Tbk sebesar 0,15 persen, PT Bank Central Asia Tbk sebesar 1,02 persen, publik sebesar 7,72 persen dan saham treasuri sebesar 1,13 persen.
Pada penutupan perdagangan saham Jumat, 15 Desember 2023, saham BTPN naik 0,38 persen ke posisi Rp 2.630 per saham. Saham BTPN dibuka turun 20 poin ke posisi Rp 2.600 per saham. Saham BTPN berada di level tertinggi Rp 2.630 dan terendah Rp 2.600 per saham. Total frekuensi perdagangan 16 kali dengan volume perdagangan 602 saham. Nilai transaksi Rp 156,8 juta.
Sebelumnya SMBC, salah satu bank terbesar di Jepang memiliki 96,9 persen saham BTPN pada Januari 2019 dari sebelumnya 39,9 persen.
Kenaikan porsi kepemilikan saham tersebut menyusul pelaksanaan penawaran pembelian saham kepada pemegang saham BTPN sehubungan merger atau penggabungan dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia yang efektif pada 1 Februari 2019. BTPN pun menjadi bank hasil penggabungan. PT Bank Tabungan Pensiunan Negara Tbk pun berganti nama menjadi PT Bank BTPN Tbk.
Advertisement