Liputan6.com, Jakarta Jepang mengalami technical recession atau resesi teknis setelah umumkan pertumbuhan ekonomi negatif di kuartal IV 2023. Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Sakura itu terkontraksi 0,4 persen pada kuartal IV 2023, meleset di luar ekspektasi para ekonom untuk tumbuh positif 1,4 persen.
Namun perlambatan ekonomi dan resesi Jepang dinilai tidak memberikan dampak negatif terhadap pasar modal di Indonesia. Pasalnya, indeks Nikkei 225 sedang berada dalam posisi yang tinggi. Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI), Jeffrey Hendrik mengatakan kondisi ini bisa dimanfaatkan untuk menelisik manfaat dari konstelasi ekonomi global.
Advertisement
Baca Juga
"Jadi caranya bagaimana supaya lebih banyak investor asing masuk pasar modal kita, tentu adalah pendalaman pasar. Dalam hal ini termasuk pertambahan produk dan jasa. Itu yang sedang yang kita lakukan untuk membuat kita semakin kompetitif dari waktu ke waktu. pasar semakin dalam sehingga investor asing lebih memilih Indonesia ketimbang berinvestasi di negara lain," kata Jeffrey kepada wartawan, Senin (19/2/2024).
Advertisement
Secara keseluruhan, Bursa menargetkan rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) mencapai Rp 12,25 triliun pada tahun ini. Untuk mencapai itu, Bursa juga menggenjot minat bukan hanya dari investor domestik namun juga investor asing.
"Investor domestik dan asing kita harapkan bisa berkontribusi. dalam konteks khususnya investor asing ya itu kita lakukan... Jadi resesi ini nggak ada antisipasi khusus. Tapi kita memantau perkembangan di global dan bagaimana pasar modal Indonesia, BEI, bisa memanfaatkan itu," imbuh Jeffrey.
Informasi saja, Indeks Nikkei 225 ditutup naik sebesar 329,30 poin, atau sekitar 0,86 persen, menjadi 38.487,24 pada Jumat lalu. Indeks tersebut menguat ke tingkat tertinggi dalam 34 tahun terakhir berkat sentimen positif terhadap Wall Street karena adanya optimisme pemangkasan suku bunga The Fed dalam waktu dekat.
"Jadi (resesi Jepang) nggak (berpengaruh). Kalau saat ini di kita masih net in flow untuk perdagangan saham. Jadi tidak ada dampak signifikan yang sifatnya negatif. Performa emiten semuanya positif, saya kira bisa menjadi daya tarik bagi investor asing," kata Jeffrey.
Pasar Saham Jepang Cetak Rekor Tertinggi dalam Sejarah, Tapi Kok Resesi?
Sebelumnya , Perlambatan ekonomi dan resesi Jepang dinilai tidak memberikan dampak negatif terhadap pasar modal di Indonesia karena indeks Nikkei 225 sedang berada dalam posisi yang tinggi. Hal tersebut diungkapkan Pengamat pasar modal Teguh Hidayat.
“Pasar modalnya di sana Nikkei itu justru sekarang lagi dalam posisi salah satu yang tertinggi sepanjang sejarah. Jadi, harusnya tidak ada dampak negatif terhadap pasar modal kita,” ujar Teguh Hidayat dikutip dari Antara, Minggu (18/2/2024).
Menurutnya, melihat indeks pasar saham tersebut yang kini melebihi angka 38.000 dan hampir mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, tidak sedang terjadi resesi di Jepang.
Namun, ia mengakui bahwa ada perlambatan ekonomi di Negeri Sakura itu, dilihat dari pertumbuhan ekonominya yang minus 3,3 persen yoy pada triwulan III serta minus 0,4 pada triwulan IV tahun lalu.
Selain itu, Teguh menuturkan bahwa pertumbuhan PDB Jepang juga turun dari 1,7 persen di 2022 menjadi 1 persen di 2023.
“Tapi, angka pertumbuhan segitu untuk sebuah negara maju terhitung masih cukup tinggi,” ucapnya.
Indeks Nikkei 225 ditutup naik sebesar 329,30 poin, atau sekitar 0,86 persen, menjadi 38.487,24 pada Jumat lalu.
Indeks tersebut menguat ke tingkat tertinggi dalam 34 tahun terakhir berkat sentimen positif terhadap Wall Street karena adanya optimisme pemangkasan suku bunga The Fed dalam waktu dekat.
Advertisement
Inggris dan Jepang Resesi, Indonesia Siapkan Antisipasi
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyoroti terkait perekonomian Inggris dan Jepang yang masuk ke jurang resesi teknis pada kuartal terakhir 2023. Produk domestik bruto Jepang mengalami kontraksi 0,4 persen, dan produk domestik bruto negara Inggris menyusut 0,3 persen.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso, mengatakan pelambatan ekonomi yang terjadi di negara-negara maju, seperti Jepang dan Inggris utamanya diakibatkan oleh masih tingginya tingkat inflasi dan melemahnya permintaan domestik, sehingga berakibat pada terkontraksinya pertumbuhan di negara tersebut.
"Pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi secara dua kuartal berturut-turut memberikan sinyal bahwa Jepang dan Inggris masuk ke dalam resesi secara teknikal. Namun demikian, masih terlalu dini menilai bahwa kedua negara akan memasuki resesi ekonomi yang sebenarnya," kata Susiwijono kepada Liputan6.com, Sabtu (17/2/2024).
Ia pun mencontohkan, menurut National Bureau of Economic Research (NBER), resesi secara luas dapat diartikan sebagai penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh ekonomi, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran.
Dampak ke Indonesia
Kendati begitu, dampak dari pelambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara ini juga perlu diberikan perhatian khusus, utamanya Jepang.
Sebab Indonesia saat ini memiliki hubungan kerja sama yang baik dengan Jepang, seperti investasi dan ekspor-impor. Saat ini Jepang merupakan salah satu tujuan utama ekspor kita dengan komoditas utama ekspor batubara, komponen elektronik, nikel dan otomotif.
"Pemerintah akan terus menghitung bagaimana transmisi pelambatan ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia,' ujarnya.
Saat ini perekonomian Indonesia masih cukup solid dan resilien didukung data ekonomi makro yang terus membaik. Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh permintaan domestik yang masih tumbuh dan dijaga dengan inflasi yang terkendali.
Advertisement