Liputan6.com, Jakarta - Bursa saham China anjlok setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan ancamannya mengenakan tarif 10% terhadap barang-barang China masih dipertimbangkan. Selain itu, penerapan tarif terhadap barang China itu mungkin akan terjadi pada Februari.
Mengutip Yahoo Finance, Rabu (22/1/2025), indeks acuan CSI 300 menuju penurunan pertama dalam lima hari setelah Donald Trump mengatakan tarif dagang terhadap China sedang dipertimbangkan. Hal ini karena mereka mengirim fentanyl ke Meksiko dan Kanada.
Advertisement
Baca Juga
Namun, level 10% lebih rendah dari potensi pungutan 60% pada semua produk China yang dijanjikan Donald Trump selama kampanye pemilihannya. "Ini akan semakin sulit dari sini,” ujar Direktur Investasi Abrdn Plc, Xin-Yao Ng.
Advertisement
"Ini adalah pengingat Donald Trump akan melakukan sesuatu, karena hari pertama mungkin telah memberikan kesan yang salah kepada sebagian orang kalau dia mungkin tidak akan melakukannya. Tarif yang lebih bertahap juga dapat menunda atau mengurangi kekuatan stimulus yang diinginkan pasar,” dia menambahkan.
Indeks CSI 300 merosot 1,3%, sedangkan indeks Hang Seng China Enterprises yang melacak saham daratan yang tercatat di Hong Kong turun 1,6&.
Yuan memimpin penurunan mata uang Asia setelah komentar Donald Trump tentang China. Masih banyak ketidakpastian tentang rencana Donald Trump untuk tarif China, termasuk apakah tarif 10% yang ditandai pada Selasa akan lebih tinggi dari tarif 60% yang ia ancam sebelumnya. Yuan turun 0,2 persen terhadap dolar AS.
Pada hari pertama masa jabatan barunya pada Senin, 20 Januari 2025, Presiden Donald Trump menunda perintah pengenaan tarif baru khusus China, meski ia akan mengenakan tarif 25% pada Kanada dan Meksiko paling lambat 1 Februari 2025. Tidak adanya tindakan terhadap China pada hari pelantikan Donald Trump disambut lega oleh investor. Hal ini ditunjukkan dengan indeks MSCI China naik 0,7 persen pada perdagangan Selasa, 21 Januari 2025.
Donald Trump Kenakan Tarif Impor 10% ke China, Berlaku 1 Februari 2025
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat yang baru dilantik, Donald Trump mengungkapkan bahwa pihaknya tengah membahas tarif impor sebesar 10% terhadap China.
Melansir CNBC International, Rabu (22/1/2025) bea masuk tersebut mulai berlaku paling cepat pada 1 Februari mendatang.
"Kita berbicara tentang tarif 10% untuk China berdasarkan fakta bahwa mereka mengirim fentanil ke Meksiko dan Kanada," kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih pada Selasa (21/1).
"Mungkin 1 Februari adalah tanggal yang kita lihat," lanjutnya.
Sebagai informasi, Fentanil, opioid sintetis, merupakan obat adiktif yang telah menyebabkan puluhan ribu kematian akibat overdosis setiap tahun di AS.
Trump juga mengaku ia sudah berbicara dengan Presiden China Xi Jinping melalui telepon terkait isu Fentanil dan perdagangan.
Pernyataan pihak pemerintah China mengatakan Xi Jinping mengharapkan kerja sama dan menyatakan hubungan ekonomi kedua negara saling menguntungkan.
“Jika AS mengenakan tarif tambahan sebesar 10 persen pada China dan China menanggapinya dengan cara yang sama, PDB AS akan berkurang aUsd 55 miliar selama empat tahun pemerintahan Trump kedua, dan USD 128 miliar lebih sedikit di China,” kata Peterson Institute for International Economics yang berbasis di AS dalam sebuah laporan pada 17 Januari 2025.
Seperti diketahui, AS merupakan mitra dagang terbesar China. Impor China dari AS sempat menurun 0,1% dalam dolar 2024 lalu, sementara ekspor tumbuh 4,9%, menurut data resmi yang diakses melalui Wind Information.
Advertisement
Surplus Dagang AS-China pada 2024
Data tersebut menunjukkan surplus perdagangan China dengan AS pada tahun 2024 adalah USD 361 juta, lebih tinggi dari USD 316,9 juta yang dilaporkan pada tahun 2020, tahun penuh terakhir masa jabatan pertama Trump.
Saat itu, Gedung Putih telah menaikkan tarif atas barang-barang dari China dalam upaya untuk meningkatkan impor barang-barang AS di negara tersebut, dan mengatasi kekhawatiran lama para pebisnis AS di negara tersebut.
Adapun Wakil Perdana Menteri Tiongkok Ding Xuexiang, mengatakan dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, bahwa "Tidak ada pemenang dalam perang dagang”.