Liputan6.com, Jakarta Bagi yang sudah nonton The Act of Killing atau Jagal, pertanyaan yang datang ketika hendak menonton The Look of Silence atau Senyap adalah, lebih bagus mana? Mana yang lebih asyik ditonton, Jagal atau Senyap yang dua-duanya buah tangan Joshua Oppenheimer dan berkisah tentang malapetaka pembunuhan massal 1965?
Namun, setelah menontonnya, yang muncul justru tanya yang ini: masih pentingkah pertanyaan di atas?
Ketika Jagal pertama kali diputar di negeri ini, kira-kira dua tahun lalu, pemutaran terbatas berlangsung di Salihara, sebuah kantong kesenian di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pemutaran berlangsung diam-diam. Yang menonton diseleksi betul. Keamanan juga diperketat.
Advertisement
Setelahnya, Jagal ditonton dengan pola serupa berkali-kali di berbagai tempat. Filmnya tak pernah edar resmi—dalam arti dijual VCD atau DVD resminya dengan cap lulus sensor LSF. Berkas atau file filmnya tersedia di dunia maya. Siapa saja bisa mengunduhnya, gratis. Yang tak mau repot-repot, juga bisa menontonnya di YouTube.
Senyap bernasib lain dengan Jagal. Dua tahun setelah Jagal pertama kali diperkenalkan ke publik terbatas, Senyap diputar perdana dalam sebuah acara yang terbilang megah di gedung Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2014) lalu. Pemutaran ini diselenggarakan oleh Komnas HAM, sebuah lembaga resmi negara, bersama Dewan Kesenian Jakarta, juga lembaga resmi, mitra Gubernur Jakarta yang mengurusi perihal kegiatan berkesenian di ibu kota.
Pengumuman pemutaran film Senyap disebar terbuka di dunia maya. Siapa saja boleh nonton setelah mendaftar dahulu secara online. Konon, ada lebih dari seribu orang mendaftar online tertarik nonton. Panitia yang merencanakan memutar film satu kali, menambah satu lagi jam pemutaran untuk memenuhi minat orang menonton Senyap.
Maka, pertanyaan yang lebih menarik untuk diajukan adalah, kenapa nasib Senyap berbeda dengan Jagal?
Yang menarik ditelisik juga, apakah Indonesia sudah berubah demikian pesat dari saat Jagal pertama ditonton publik dengan sembunyi-sembunyi (baca: tahun 2012), ke momen Senyap ditonton massa yang membludak di TIM tempo hari (baca: tahun 2014)?
***
Baiknya kita bicara kontennya dulu alias isi film Jagal dan Senyap.
Jagal adalah sebuah pencapaian tersendiri dari sudut sebuah karya dokumenter. Film ini jadi favorit kritikus film Barat ketika edar dari festival film ke festival film. Juri Oscar 2013 bahkan memasukkan film ini dalam daftar Film Dokumenter Terbaik (meski kalah dari 20 Feet from Stardom).
Jagal meraih pencapaian estetis yang tinggi lantaran filmnya tampil tak seperti film dokumenter kebanyakan. Joshua mengambil cerita dari sudut pandang pelaku pembunuhan massal 1965.
Yang disuguhkan Joshua juga mencengangkan—terutama bila dilihat dari sisi orang Barat. Di Jagal, para pembunuh dengan suka rela dan rasa bangga menceritakan kembali bagaimana mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan keji kepada orang-orang yang dianggap anggota PKI maupun simpatisannya. Tak cuma itu, mereka juga rela merekonstruksi perbuatan mereka dalam sebuah film bohongan yang disyut Joshua.
Isi `Jagal` dan `Senyap`
Film bohongan ini begitu surealis. Kita melihat si pembunuh menari bersama gadis-gadis di dekat air terjun, atau baagaimana mereka memakai jas dan dasi serta topi, berakting menginterogasi korban, seperti dalam sebuah film noir dengan set murahan.
Di sini, jarak antara film cerita dengan film dokumenter begitu dekat, nyaris membaur. Hal semacam itu merupakan sesuatu yang baru bagi film dokumenter dan karenanya Jagal dibilang sebuah pencapaian tersendiri.
Kita di Indonesia mungkin memandang Jagal dengan sudut lain. Ya, kita juga ikut ngeri melihat metode pembunuhan sadis para pelaku. Namun, kita sedikit banyak paham kenapa para pembunuh itu begitu bangga mengisahkan ulang perbuatan keji mereka. Pers Barat mungkin bingung bukan kepalang, kenapa sebuah aksi pembantaian massal yang memakan korban sampai 1 juta orang pada 1965-1966 tak berujung pada pengadilan bagi pelakunya, dan justru para pelaku itu menceritakan kisah mereka dengan bangganya, merasa diri pahlawan yang sudah berbuat kebajikan bagi negeri? Mengapa sebuah persoalan yang berlangsung hampir setengah abad lalu belum tuntas?
Saat pertanyaan di atas diajukan, kita pun mungkin bingung untuk menjawabnya. Jawaban sederhananya, mungkin lantaran sejarah adalah milik para pemenang. Dalam huru-hara 1965 yang keluar sebagai pemenang adalah pelaku. Korban berada di pihak yang kalah.
Namun, adilkah jawaban seperti itu bagi para korban dan sanak saudaranya serta keturunannya? Apakah kita harus berserah pada takdir sejarah?
***
Bagi orang luar Indonesia, kenyataan betapa para pelaku pembunuhan massal 1965 bangga mengisahkan kekejian mereka dan masih berkeliaran dan menghirup udara bebas, mungkin bagian paling menarik dari Jagal. Tapi, rasanya, hal itu bukan paling menggelitik kita, orang Indonesia, yang menontonnya. Kita sudah tahu fakta itu. Kita hidup dengan kenyataan itu saban hari.
Yang menarik dari Jagal, justru betapa filmnya dengan berani menyuguhkan kaitan para pembunuh 1965 dengan salah satu ormas. Ormas ini terbilang berpengaruh di negeri ini. Namun, film ini dengan kamera candid, berhasil merekam percakapan petingginya membincangkan seorang wanita yang pernah mereka `pakai`.
Bagian ini justru yang paling berbahaya dari Jagal hingga filmnya tak bisa diputar secara terbuka untuk ditonton khalayak luas. Saya bisa membayangkan bioskop bisa dirusak atau didemo massa ormas tersebut bila filmnya diputar di bioskop. Subjek cerita dari sisi pelaku memang terbilang baru dan karenanya Jagal tampak menghentak.
Ketika mengulas Jagal atau judul Inggrisnya The Act of Killing, kritikus film kawakan The New York Times, A.O. Scott menulis begini, "Film yang diangkat dari sebuah peristiwa kemalangan yang bersejarah, entah dokumenter atau bukan, biasanya mengambil sudut pandang dari korban, penyintas atau mereka yang berjuang. Para korban yang telah tiada butuh sebuah peringatan atau penghargaan, dan mereka yang bertahan hidup membutuhkan kisah tentang keberanian dan penghiburan."
Kata Scott juga, "Penonton lebih senang mengidentikkan diri dengan orang-orang tak bersalah, mereka yang beruntung dan juga para pemberani, ketimbang para pelaku berperangai monster tak berperikemanusiaan."
Jagal mengambil jalan yang tak biasa. Namun, Senyap tidak berambisi seperti itu. Film ini mengambil sudut pandang dari sisi korban. Maka, dari segi narasi, Senyap tak istimewa. Ia mengambil jalan yang sudah dilalui film lain.
Jika Jagal punya Anwar Congo, sang monster jagal yang dengan bangga berkisah kesadisannya, Senyap punya Adi Rukun, adik seorang korban pembunuhan massal 1965 bernama Ramli yang melakukan pencarian atas apa yang terjadi pada sang kakak.
Advertisement
Signifikansi `Senyap`
Di Senyap, kita melihat Adi, seorang penjaja kacamata baca di Deli Serdang, Sumatera Utara, berkeliling menemui para pelaku pembunuhan sambil mengajak mengobrol dengan pertama-tama menawarkan kacamata.
Banyak kenyataan getir ditemui Adi yang bikin Senyap kian menyayat. Kita masih melihat para pelaku pembunuhan mengisahkan kekejian mereka dengan bangga seperti dalam Jagal. Namun, di Senyap, Joshua Oppenheimer, sang sineas, melangkah lebih jauh dengan membawa serta korban tragedi kemanusiaan itu (Adi) pada para pelaku.
Bagian paling menarik dari Senyap adalah ketika kita melihat kegeraman yang tertahan dari wajah Adi dan wajah-wajah bingung dari pelaku dan keluarganya ketika mereka tahu Adi berasal dari sisi korban yang mereka bunuh dahulu. (Bagian yang paling menarik kedua adalah ibunda Adi yang dengan gayanya sendiri—yang terkadang kocak—masih menaruh dendam tak terima putranya dibunuh dengan keji.)
Pada akhirnya, Adi hanya sekali mendapat permintaan maaf dari pihak keluarga pelaku. Lebih banyak yang memintanya untuk melupakan masa lalu. Film ini mengulang kalimat "yang lalu, biarlah berlalu" berkali-kali. Bukan dengan tujuan agar kita melupakannya. Justru sebaliknya. Persoalan malapetaka 1965 berlarut-larut hingga kini lantaran kita selalu disuruh untuk melupakan dan membiarkan yang lalu biarlah berlalu.
Nilai lebih Senyap dibanding Jagal, film ini memberi contoh praktis bagaimana sebuah rekonsiliasi antara korban dan pelaku diupayakan.
Apa yang dilakukan Joshua Oppenheimer dengan Adi Rukun adalah sebuah model yang bisa dicontoh, bahkan di tingkat negara. Setelah misalnya, secara resmi pemimpim tertinggi negeri ini melakukan permintaan maaf pada korban tragedi 1965, para korban dan pelaku bisa bertemu untuk melakukan rekonsiliasi.
***
Pertanyaannya kemudian, mungkinkah hal di atas terjadi? Mungkinkah negara akan secara resmi minta maaf atas pelanggaran HAM berat tahun 1965?
Bagi kita di Indonesia, hal itu masih jadi angan-angan sekaligus misteri. Kenyataan bahwa Senyap bisa ditonton lebih terbuka dibanding Jagal adalah sebuah kemajuan kecil yang menggembirakan. Namun, fakta lain, Joshua Oppenheimer belum berani datang ke Indonesia karena para pelaku berikut institusinya masih kebal hukum atas kejahatan yang mereka lakukan tahun 1965. Sineas yang membantunya mewujudkan Jagal dan Senyap juga masih menyembunyikan identitas asli mereka.
Dengan fakta itu, dari momen Jagal ke Senyap, kita belum beranjak jauh.*** (Ade/Feb)