Liputan6.com, Jakarta Di depan peserta Diskusi Mengenang Teguh Karya, Slamet Rahardjo memutar kembali kenangan di benaknya tentang sosok yang berpengaruh dalam hidupnya itu. Di Auditorium RRI Semarang, Kamis 19 September 2002, Slamet mengingat "kesakitan" yang harus dialaminya ketika masih bersama sang maestro.
"Dia seorang penyiksa. Kami membenturkan kepala ke dinding, baru kemudian berdiskusi tentang rasa sakit. Atau kami harus menjilati garam, lalu ngomong soal rasa asin," katanya serius.
Baca Juga
Potret Prilly Latuconsina Jadi Ketua Pelaksana FFI 2024, Ungkap Jadi Pengalaman Luar Biasa
Nirina Zubir Nangis saat Menyabet Piala Citra FFI 2024 Kategori Pemeran Utama Wanita Terbaik, Ini Alasannya
Ringgo Agus Rahman Teteskan Air Mata Akhirnya Bisa Menang Piala Citra untuk Pertama Kali pada Ajang FFI 2024
Tentu saja Slamet Rahardjo berkata serius. Saat pembuatan film Perkawinan dalam Semusim di tahun 1977, Teguh juga menempuh jalan berliku demi "menyiksa" pemainnya. Tak ada skenario yang diterima pemain, di antaranya Tuti Indra Malaon, Rachmat Hidayat termasuk Slamet sendiri. Dalam wawancaranya dengan JB Kristanto untuk Kompas, Teguh seperti menantang bentuk kreatifitas yang akan muncul ketika bekerja tanpa skenario. Dan seperti yang sudah diduganya, dialog alamiah bisa lahir dari sana.
Advertisement
Ada cerita lainnya yang juga datang dari Perkawinan dalam Semusim. Idris Sardi yang menggarap lagu Rumah di Atas Pasir untuk film tersebut punya memori tersendiri. Ketika menggarap lagu itu, Idris berada di Jepang. Di sana ia menerima kabar bahwa mertuanya meninggal dan meminta ijin pulang kepada Teguh.
Bukan ucapan simpati yang didapatkannya, namun justru ucapan bernada keras. "Kalau tidak siap, jangan mimpi jadi besar," kata Idris mengenang. Seperti belum puas, ia melanjutkan, "yang mati sudahlah mati dan biar dikubur. Pasti dia sudah ada yang mengurus."
Ucapan Teguh yang idealis itu terngiang kembali di telinga Idris saat konser “A Tribute to Teguh Karya” di Balai Kartini, September 2005 silam.
Nama Teguh oleh sebagian orang selain dekat dengan idealisme, juga dinilai sinonim dengan realisme. Karya-karyanya seperti tampak adalah lahir dari keseharian. Ia tak berambisi menghadirkan problem-problem besar, namun justru kekuatannya adalah menyajikan masalah yang sangat mungkin kita hadapi sehari-hari. Tidak heran jika Teguh bereksperimen dengan melakukan sejumlah pendekatan, termasuk menyutradarai film tanpa skenario, demi mendapatkan kesan otentik itu.
Sebagai generasi yang lahir di akhir tahun 1970-an, saya tak pernah menyaksikan karya sang maestro di layar lebar. Saya mengenal karyanya secara utuh ketika menyaksikan telesinema Perkawinan Siti Zubaidah di tahun 1997. Waktu itu ditayangkan oleh TPI (Televisi Pendidikan Indonesia, kini MNCTV) dan menjadi “stand-out” karena keluar dari ciri tontonan televisi masa itu (yang masih dilanjutkan hingga ke saat ini). Ia masih tetap dengan cirinya yang menyajikan persoalan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari namun tak pernah kehilangan gaya memperlihatkan karyanya sebagai pencapaian sinematik tersendiri.
Menarik sekali melihatnya mengolah isu pernikahan tanpa harus terjatuh menjadi genit dan penuh polesan lipstik. Dan kekuatan Teguh tampak dari dialog bernas yang diberondongkan oleh skenario yang ditulis dengan sungguh baik.
Barulah setelahnya, bertahun-tahun berikutnya, ketika saya kembali jatuh cinta pada dunia film, saya berburu karya-karyanya. Perburuan yang sungguh sulit di negeri yang selalu tak hirau dengan sistem pengarsipan, dokumentasi dan hal-hal terkait. Mencari film dari sutradara terbaik Festival Film Indonesia sebanyak enam kali itu sungguh sulit. Namun ketika keringat hampir mengering, usaha tak sia-sia. DVD November 1828 (1978), Doea Tanda Mata (1984) dan Ibunda (1986) akhirnya menjadi koleksi pribadi nan berharga.
November 1828 dan Doea Tanda Mata dicatat oleh JB Kristanto sebagai film Teguh Karya dengan tema besar: nilai kebenaran di tengah perang dalam November 1828 dan nasionalisme dalam Doea Tanda Mata.
Namun jika dilihat lebih dalam lagi, November 1828 juga berbicara seputar keterasingan identitas. Lihatlah bagaimana Kapitein De Borst yang lahir dari ayah Belanda dan beribukan perempuan Indonesia. De Borst tampak ingin betul menjadi Belanda sejati, meski harus ditempuh dengan cara paling keji sekalipun. Ia tak peduli meski harus menyandera istri dan bayi dari seorang pengikut Sentot Prawirodirjo. Dengan cara itu ia seperti ingin sekali melenyapkan darah pribumi di dalam dirinya, meski ia tahu tak akan berhasil.
Di lain pihak, Teguh juga terampil menampilkan wajah seorang laki-laki Indonesia. Di Doea Tanda Mata terwakilkan oleh sosok Gunadi yang dikisahkan berasal dari Klaten. Ada percikan kisah cinta didalamnya dibalut dengan balas dendam kepada Belanda. Karakter yang diperankan Alex Komang itu diperlihatkan sangat multi-dimensional: pemberani, pendendam hingga peragu. Dan sekali lagi, tokoh laki-laki di sini digambarkan mengalami keterasingan identitas.
Sementara di Ibunda, Teguh kembali ke rumahnya, sebuah rumah yang sangat dikenalinya. Ia mengajak kita masuk ke rumah ibu Rachim, seorang janda priyayi dengan kehidupan sederhana. Ibu Rachim adalah gambaran ideal ibunda Indonesia, seorang ibu yang mengabdikan dirinya untuk kebahagiaan anak-anaknya. Ibu Rachim adalah sosok ibu yang berusaha selalu ada untuk menyelesaikan masalah anak-anaknya. Jadinya Ibunda mungkin terasa sungguh emosional bagi sebagian dari penonton, termasuk saya.
Bahkan film ini pun masih tetap relevan ketika kita tonton setelah diproduksi 29 tahun silam. Saya mengingat kembali bagaimana almarhumah ibu saya melerai pertikaian saya dengan almarhum adik saya, sebagaimana melihat ibu Rachim mencoba bersikap bijak terhadap anak-anaknya.
Dan memang sulit mencari tandingan dari sang maestro di era sekarang. Selain rekornya di Festival Film Indonesia, jangan lupa bahwa sejumlah karyanya juga digemari penonton. Badai Pasti Berlalu (1978, dibuat ulang oleh Teddy Soeriaatmadja di tahun 2007) mengumpulkan lebih dari 200 ribu penonton hanya dari Jakarta saja. Film tersebut juga memborong Piala Citra untuk fotografi, editing, suara dan musik.
Soal penonton, ada catatan tersendiri dari beliau. Teguh memang terhitung sutradara yang menghormati penonton. Ia memahami posisinya sebagai pembuat film yang juga berurusan dengan soal komersialisme. Dalam penjelajahan karyanya, ia memberi ruang bagi dirinya sendiri untuk "membuat film untuk konsumen"
"Selama ini saya mau menjajaki film untuk konsumen. Saya memang membagi film dalam dua jenis: film konsumen dan film prestise. Dan yang saya kerjakan adalah untuk mengenal siapa konsumen itu. Ini boleh dibilang penjajakan ke luar. Kita harus menyadari kondisi sosial penonton kita," ujarnya kepada JB Kristanto di Kompas terbitan 8 Februari 1975.
Film-film yang dihasilkan oleh Teguh memang tak pernah berakhir hanya di bioskop. Ia lantas keluar setelah dipertunjukkan di gedung bioskop dan diperbincangkan oleh penonton. Ia juga tak berakhir di masanya saja, namun masih terus diperbincangkan bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun kemudian.
Festival Film Indonesia (FFI) tahun ini, dijadwalkan berlangsung di Serang, Banten bulan Desember nanti, menabalkan namanya sebagai tema dengan tajuk "Tribute To Teguh Karya". Semoga kita masih bisa merawat karya-karyanya dan memperlihatkan warisan karyanya ke generasi berikutnya.**
Ichwan Persada, produser film dan pegiat Forum Film Indonesia.
Bahan bacaan:
Ganug Nugroho Adi, “Teguh Manusia Paling Indonesia”, diunggah ke internet pada 20 September 2002 dengan URL: http://www.suaramerdeka.com/harian/0209/20/bud2.htm
JB Kristanto, “Sisi Hitam Kehidupan” dalam Nonton Film Nonton Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2004, h. 51
Ajeng Ritzki Pitakasari, “Tuksedo Untuk Teguh Karya", diunggah ke internet pada 3 Oktober 2005 dengan URL: http://arsip.gatra.com/artikel.php?id=89007
JB Kristanto, Katalog Film Indonesia 1926 – 2007, Penerbit Nalar, 2007, h. 147
JB Kristanto, “Teguh Karya: Mau Jadi Orang Film Yang Lain” dalam Nonton Film Nonton Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2004, h. 263
(Ich/Ade)