Liputan6.com, Jakarta - PERINGATAN: SPOILER ALERT! Esai film ini membicarakan film Ngenest: Kadang Hidup Perlu Ditertawakan. Plot dan inti ceritanya di ungkap di sini.
I
Baca Juga
Sebelum yang lain-lain ada cuitan menarik dari pengamat film Yan Widjaya soal judul film ini, Ngenest: Kadang Hidup Perlu Ditertawakan. Katanya, dalam cuitan di akun Twitter-nya, 26 Desember 2015 lalu, bukan tanpa alasan judul filmnya diberi sub-judul “Kadang Hidup Perlu Ditertawakan.”
Advertisement
Yan bilang, produser percaya judul bawa hoki. Jika filmnya hanya diberi judul “Ngenest” yang dibaca “ngenes” yang berasal dari kosa kata Jawa. Ketika dibakukan jadi “mengenaskan”. Artinya nasib sial. Tentu produser tak ingin filmnya bakal kena sial. Tak laku.
Yan, yang mengamati film sejak lama, mengatakan, judul bisa bawa apes. Dulu, katanya, ada film diberi judul Derita Tiada Akhir. “Eh, produsernya bangkrut sampai ajal.”
Baca Juga
Mengecek buku Katalog Film Indonesia 1926-2005 yang ditulis JB Kristanto, Derita Tiada Akhir rilis tahun 1971 dan diproduseri Julies Rofi’ie lewat bendera Pt Sri Agung Utama Film.
Ada pula, katanya lagi, film horor yang semula berjudul Bangku Kosong. “Daripada bioskopnya kosong, ditambah ‘Hantu’ deh,” cuitnya. Hantu Bangku Kosong rilis 2006.
Maka, di bioskop kini kita saksikan Ngenest dengan sub-judul “Ketika Hidup Perlu Ditertawakan.”
Ngenest sebetulnya versi film dari buku yang ditulis Ernest Prakasa. Bukunya pun punya sub-judul, cuma berbeda dengan filmnya. Sub-judul bukunya adalah “Ngetawain Hidup Ala Ernest”.
Ernest menulis tiga buku seri Ngenest. Ia pula yang mengangkatnya ke film serta menjadi penulis skenario, sutradara serta jadi bintang utamanya.
Hal tersebut sebuah lompatan besar bagi Ernest yang baru main film sejak 2014 lewat Comic 8. Namun, memang tak ada yang paling tahu soal tema yang ia filmkan selain dirinya sendiri.
Ngenest versi buku dan film tak ubahnya memoar Ernest. Ia menceritakan kisah hidupnya sendiri. Alkisah, kita bertemu Ernest yang terlahir dari ayah-ibu keturunan Tionghoa.
Sebagaimana lazimnya etnis Tionghoa, Ernest bermata sipit. Namun, ia justru masuk sekolah umum. Kontanlah Ernest jadi minoritas dan bahan bully-an teman-teman sebaya di sekolahnya. Di awal film, kita bertemu dialog Ernest kecil saat hari pertama masuk SD.
“Gue Ernest,murid kelas I-B,” kata Ernest.
“Bukannya kelas I-C, Cina. Hahahaha….,” timpal kawannya.
Ke-“Cina”-an ini kemudian yang menjadi pokok utama masalah film ini. Sejak kecil, kita melihat Ernest jadi korban bullying orang-orang hanya lantaran ia seorang Tionghoa. Ia kerap jadi korban palak siswa sekolah lain, juga hanya lantaran ia Cina.
Kita melihat Ernest berasimilasi. Ia mencoba bergaul dengan komplotan pem-bully-nya. Namun ia mendapati mereka bukan kawan sejatinya. Ia kecewa lantas bertekad, agar keturunannya kelak tak bernasib seperti dirinya, ia harus menikahi gadis pribumi.
Dari sini bisa kelihatan, film Ngenest sebetulnya punya tema yang serius. Lewat film ini, untuk pertama kalinya pasca-Orde Baru runtuh di 1998, masalah ke-“Cina”-an diperbincangkan dalam sebuah produk budaya pop bernama film.
Etnis Tionghoa Pasca-1998
II
Sebetulnya, sejak 1998, sudah muncul sejumlah film bertema kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia. Ca Bau Kan (2001), Gie (2005), May (2008), hingga Love and Faith yang rilis tahun kemarin adalah beberapa film bertema tersebut.
Bila ditelisik, film-film yang disebut di atas semuanya berjenis drama. Kecenderungan film-film tersebut pun tampak simpatik pada etnis Tionghoa. Karakter beretnis Tionghoa di film-film tersebut menjadi protagonisnya. Selain itu, masalah ke-“Cina”-an pun tampak tuntas bagi para tokohnya. Hanya di May, mungkin karakternya menemui nasib jadi korban kerusuhan Mei 1998 lantaran ia beretnis Tionghoa.
Ngenest lain sendiri. Ernest bermain-main sambil mengeksplorasi habis-habisan ke-“Cina”-annya.
Timbul pertanyaan, kenapa film-film bertema Tionghoa-Indonesia pasca-1998 tampak bersimpati pada etnis Tionghoa? Dan kenapa pula Ngenest justru bermain-main dengan identitas etnisnya?
Pasca-kerusuhan Mei 1998 memang ada perubahan narasi besar soal etnis Tionghoa di Indonesia. Kerusuhan yang menjadi pemicu Soeharto dan Orde Baru-nya runtuh tersebut paling banyak memakan korban etnis Tionghoa. Ribuan toko milik etnis Tionghoa dibakar. Banyak juga perempuan dari etnis tersebut yang jadi korban perkosaan saat kerusuhan terjadi.
Dampak baik dari kerusuhan tersebut—jika boleh dibilang demikian—memaksa kita semua melihat ulang keberadaan etnis Tionghoa dalam masyarakat. Simpati pada etnis ini mengemuka.
Syahdan, pasca-1998, tahun baru Tionghoa, Imlek, dirayakan bersama sebagai hari libur nasional. Kesenian barongsai yang tadinya dilarang di masa Orde Baru diizinkan lagi. Sampai-sampai sebutan "Cina" kita ganti dengan kata Tionghoa, Tiongkok dan China.
Di jagat budaya pop semakin banyak tempat bagi seniman atau artis beretnis Tionghoa. Sebelumnya kita hanya mengenal Robby Tumewu menjadi orang Tionghoa—padahal Roby berasal dari Manado, Sulawesi Utara. Tapi pasca-1998 tak terhitung artis keturunan Tionghoa peranakan yang muncul di jagat budaya pop kita, dari Ferry Salim, Olga Lydia, Delon, Franda hingga Morgan Oey.
Ernest Prakasa bagian dari perkembangan kontemporer tersebut, saat narasi terhadap etnis Tionghoa secara umum lebih simpatik.
Tambahan pula, sikap simpatik pada etnis Tionghoa di film bisa jadi lantaran film-film yang lahir pasca-1998 tersebut kebanyakan bukan dari kalangan Tionghoa sendiri. Ca Bau Kan dibesut Nia Dinata; Gie oleh Riri Riza; May oleh Viva Westy; sedang Love and Faith oleh Benni Setiawan.
Sikap simpatik yang ditunjukkan para sineas pasca-1998 seolah sebentuk maaf atas perlakuan tak adil yang dialami etnis Tionghoa yang berujung kerusuhan Mei.
Advertisement
Peran Etnis Tionghoa di Film Kita
III
Sejak dulu hingga sekarang, etnis Tionghoa tak pernah ditempatkan sebagai tokoh utama penggerak perfilman nasional. Padahal, tanpa etnis Tionghoa yang tinggal di Nusantara, perfilman kita tak mungkin berlangsung seperti sebagai mana adanya sekarang.
Ada studi menarik tentang peran etnis Tionghoa peranakan di jagat sinema Indonesia. Professor Krishna Sen, pengamat media dan Indonesia dari University of Western Australia, melakukan studi atas peran etnis ini dalam karangan ilmiahnya, "Chinese’ Indonesians in National Cinema" pada 2006.
Dalam studinya itu tak terbantahkan peran etnis Tionghoa sejak awal abad 20 pada perfilman kita hingga masa Orde Baru. Di masa Orde Baru, misalnya, film-film bermutu karya anak negeri lahir dari Teguh Karya, sutradara berdarah Tionghoa yang punya nama lain Steve Lim.
Namun, yang menarik, seperti ditengarai Ariel Heryanto di bukunya, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (edisi Indonesia terbit 2015), peran etnis Tionghoa tak sepenuhnya diakui dalam membangun perfilman nasional.
Historiografi resmi perfilman kita justru meminggirkan peran etnis Tionghoa. Meskipun peran mereka diakui, mereka kerap ditempatkan dalam posisi “antagonistis” vis a vis dengan warga pribumi sebagai sang “protagonis”.
Tengok misalnya, bagaimana hari pertama syuting Long March: Darah dan Doa (rilis 1950), 30 Maret, ditetapkan sebagai Hari Film Nasional. Atau Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik sebagai Bapak Perfilman Nasional.
Sejarah telah menunjukkan film cerita pertama dibuat tahun 1926 (Loetoeng Kasaroeng oleh L Heuveldorp) dan film telah jadi bisnis mula-mula oleh keturunan Tionghoa yang tinggal di Nusantara pada 1920-an. Namun, terdapat bias ras dalam narasi sejarah perfilman kita. Peran etnis-etnis lain, terutama Tionghoa (dan keturunan India), tampak dipingggirkan.
Kalaupun ada, mereka dianggap berseberangan. Mereka dianggap tak membawa idealisme bagi pembangunan bangsa. Mereka kerap dicap sebagai pedagang (baca: semata mencari untung), bukan seorang idealis dengan cita-cita kebangsaan.
Signifikansi Film Ngenest
IV
Sampai di sini, di mana kita lantas menempatkan film ini, Ngenest: Kadang Hidup Perlu Ditertawakan?
Perlu diketahui selain disutradarai, ditulis dan dibintangi Ernest Prakaasa yang seorang Tionghoa tulen, filmnya juga diproduksi PT Kharisma Starvision Plus milik Chand Parwez Servia, seorang pria dari etnis keturunan India.
Starvision Plus rumah produksi yang produktif. Setahun, ia bisa membuat hingga 10 film. Bandingkan dengan Miles Films—yang dikomandoi Mira Lesmana dan Riri Riza—yang dua tahun memproduksi satu film.
Selain pengusung filmnya, Ngenest jadi penting tentu lantaran muatan kontennya. Tanpa tedeng aling-aling film ini Ernest menertawakan sendiri etnisnya. Hal semacam itu mungkin akan menimbulkan rasa rikuh bagi orang lain, mengingat aspek simpatisme di atas. Tapi jadi lain bila yang menertawakan si empunya etnis-nya.
Yang hapal materi lawakan stand up comedy Ernest tentu hapal, “jualan” lawakannya memang tema ini. Ia ingin meruntuhkan tembok tabu dan rasa segan membicarakan ketidak-adilan yang dialami etnis Tionghoa di tengah masyarakat kita. Untuk menyudahi ketidak-adilan, demi orang Tionghoa diterima sebagai bagian dari masyarakat kita, hal-hal yang tabu tadi harus dikemukakan secara terbuka.
Setelah lawakan stand up comedy dan buku-bukunya, kini saatnya wacana itu ia ungkapkan lewat film, medium paling populer yang lebih banyak dikonsumsi orang kebanyakan.
Pengkonsumsi bioskop kita saat ini masyarakat urban alias perkotaan. Bioskop saat ini menyebar di pusat-pusat kota, terutama menempel dalam mal, pusat kegiatan masyarakat urban saat ini. Hal ini berbeda dengan bioskop tahun 1920-an saat pengkonsumsi bioskop kebanyakan masyarakat Tionghoa hingga yang dibuat dan diedarkan pun film-film bagi masyarakat tersebut.
Saat menonton Ngenest belum lama ini di bioskop di Tangerang, Banten, dekat rumah, kebanyakan penonton warga pribumi. Sepanjang film penonton tertawa. Tema yang diangkat Ernest dekat bagi kami. Sebagian besar dari kami pernah punya pengalaman mirip. Hanya saja, posisi kami berseberangan dengan Ernest. Kamilah sang pem-bully.
Dengan Ernest bicara jujur pada kami, ia mengajak kami tertawa sambil menggedor nurani kami. Ia tengah menyadarkan kami, apa yang kami lakukan pada saudara-saudara kami warga Tionghoa sebetulnya salah. Ia menyadarkan kami, segala pem-bully-an yang kami lakukan bahkan mengakibatkan trauma, pada kasus Ernest, ia jadi takut anaknya bernasib seperti dirinya.
Untuk pesan sepenting itu, Ngenest: Kadang Hidup Perlu Ditertawakan layak disebut film penting. Bertahun-tahun dari sekarang film ini akan dibicarakan para pemerhati budaya pop Indonesia sebagai contoh bagaimana ke-“Cina”-an muncul dalam sinema kita.** (Ade/Fir)
Advertisement