Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, Ini Pentingnya Ruang Publik untuk Mental

Setiap 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Dunia atau World Mental Health Day. Hari kesehatan jiwa sedunia ini untuk meningkatkan prioritas global terhadap kesehatan jiwa.

oleh Agustina Melani diperbarui 10 Okt 2019, 04:00 WIB
Diterbitkan 10 Okt 2019, 04:00 WIB
Bertani Untuk Jaga Kesehatan Jiwa Raga
ilustrasi, bercocok tanam hidroponik. Foto: dok.Wikipedia

Liputan6.com, Jakarta - Setiap 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Dunia atau World Mental Health Day. Hari kesehatan jiwa sedunia ini untuk meningkatkan prioritas global terhadap kesehatan jiwa.

Sejak diresmikan pada 1992 oleh World Federation for Mental Health, peringatan hari kesehatan jiwa sedunia ini juga untuk meningkatkan kepedulian terhadap orang dengan gangguan jiwa. Berdasarkan WHO, kesehatan jiwa didefinisikan saat seseorang dapat menyadari potensi diri sendiri, mengatasi tekanan hidup, bekerja secara produktif dan berkontribusi pada masyarakat.

Pada 2019, tema Hari Kesehatan Jiwa yaitu Mental Health Promotion and Suicide Prevention atau Promosi Kesehatan Jiwa dan Pencegahan Bunuh Diri. Bukan tanpa alasan hal tersebut menjadi tema untuk peringati Hari Kesehatan Jiwa.

Dosen Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Universitas Airlangga Surabaya, Margaretha P.G menuturkan, bunuh diri, salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. Pada usia 15-29 tahun, bunuh diri jadi penyebab kematian nomor dua setelah penyakit.  Mengutip laman WHO, setiap 40 detik seseorang kehilangan nyawa karena bunuh diri. Oleh karena itu, WHO juga menggalakkan 40 detik mengambil aksi untuk meningkatkan perhatian dan pencegahan kasus bunuh diri.

"Orang muda baik perempuan dan laki-laki cukup besar. Namun, kasus bunuh diri terhadap laki-laki lebih berhasil dibandingkan perempuan. Perempuan lebih cari perhatian, sedangkan laki-laki menggunakan alat lebih efektif. Perempuan meski lebih berisiko tetapi lebih tinggi kasusnya untuk laki-laki," ujar Margaretha saat dihubungi Liputan6.com, ditulis Kamis (9/10/2019).

Ia menambahkan, kasus bunuh diri didorong sejumlah faktor. Pertama, ada ketidakseimbangan senyawa kimiawi. Hormon serotonin yang dirancang untuk membantu mengelola suasana hati dan mencegah depresi bisa saja kurang sehingga seseorang mudah mengalami depresi. Oleh karena itu, menurut Margaretha perlu bantuan obat untuk atasi hal tersebut. Bila tidak diberikan pengobatan dapat membuat seseorang sedih dan mudah depresi.

"Ini disebut ketidak seimbangan biologis. Jadi kalau seseorang gagal ujian mungkin ada yang berpikir bisa ambil ujian lagi. Kalau alami depresi, gagal ujian menjadi sesuatu hal sangat luar biasa," ujar dia.

Kedua, faktor psikologis. Margaretha menuturkan, depresi menjadi salah satu gangguan mental yang mulai dari ringan, sedang dan berat. Ada orang yang tidak cakap untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Selain dari faktor itu, menurut Margaretha ada juga faktor risiko seperti pendidikan dan ekonomi.

Untuk menjaga kesehatan jiwa atau mental, menurut Margaretha ada hal yang bisa dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan tersebut bisa dilakukan sejak dini, misalkan dengan berlatih menyelesaikan masalah. Selain itu, seseorang punya cara ketika hadapi cemas misalkan dengan latihan relaksasi dan meditasi.

Kemudian mengenal orang-orang di sekitar kita yang menunjukkan gangguan kesehatan mental. Bila memiliki teman yang stres dan cemas, ia menyarankan untuk mendampingi teman tersebut dengan mendengarkan ceritanya. Mencari bantuan lewat psikolog dan psikiater juga jadi salah satu cara bagi seseorang yang alami gangguan kesehatan mental.

Margaretha juga mengingatkan agar tidak memberikan stigma berkelanjutan terhadap seseorang yang misalkan alami gangguan jiwa. Hal itu dapat membuat orang lain enggan untuk mencari bantuan kepada psikolog dan psikiater karena khawatir dicap negatif.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Butuh Banyak Bergerak

(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Ilustrasi Taman di Surabaya, Jawa Timur (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Untuk membantu meningkatkan kesehatan jiwa dan pencegahan bunuh diri, ada ruang publik yang memadai juga dapat membantu. Margaretha menuturkan, ada ruang publik seperti ruang terbuka hijau sebagai tempat beraktivitas dapat membantu seseorang menekan level stres dengan relaksasi dan beraktivitas. Adapun ruang terbuka hijau ini dengan membangun taman-taman sebagai tempat beraktivitas.

Dengan bergerak menurut Margaretha dapat mengeluarkan hormon yang dirancang untuk mendorong kebahagiaan seperti endorphin.

"Berolahraga, meditasi, atur nafas dan lihat pemandangan mendukung (kesehatan jiwa-red). Salah satu komponen terbesar dengan memperbanyak ruang terbuka hijau dan ruang publik. Jadi seseorang itu tidak hanya diperhadapkan dengan pekerjaan dan gedung-gedung tertutup sehingga tidak membantu untuk rileks,” kata dia.

Oleh karena itu, menurut dia baik masyarakat dan pemerintah daerah juga sebaiknya sama-sama untuk menciptakan ruang publik terutama ruang terbuka hijau. Dengan ada ruang terbuka hijau dapat mendorong masyarakat untuk lebih banyak bergerak. Banyak bergerak menurut Margaretha lebih baik untuk kurangi cemas dan depresi ketimbang hanya duduk, nongkrong serta memegang gadget.

Bicara soal taman, pemerintah kota Surabaya menambah jumlah taman. Hal ini dilakukan untuk menambah ruang terbuka hijau sehingga meningkatkan kualitas udara dan menambah kesejukan di kota. Bahkan taman ini juga dapat menjadi tujuan wisata. Kini ada sekitar 475 taman di Surabaya. Taman itu terdiri dari 318 taman pasif dan 157 taman aktif. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya