Peringati Hari Dokter Nasional, Ini Peran dr. Soetomo untuk Kemerdekaan RI

Hari Dokter Nasional diperingati setiap 24 Oktober. Dokter sudah menaruh banyak pengaruh pada Indonesia bahkan sejak zaman penjajahan. Salah satu dokter yang berpengaruh besar adalah dr. Soetomo

oleh Liputan Enam diperbarui 24 Okt 2019, 04:00 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2019, 04:00 WIB
Dr Sutomo (Foto Istimewa)
Dr Sutomo (Foto Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Peringatan Hari Dokter Nasional ditetapkan setiap 24 Oktober. Tanggal tersebut sesuai dengan terbentuknya Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Melansir informasi dari promkes.kemkes.go.id, organisasi tersebut resmi terbentuk pada 1950. Sebenarnya IDI sudah lahir sejak 1911 dan aktif jauh sebelum diresmikan. 

Pengabdian dokter di Indonesia sangatlah panjang dan besar.  Jauh sebelum IDI terbentuk dokter di tanah air sudah tercatat sebagai salah satu pejuang kemanusiaan.

Dokter juga menjadi bagian perjuangan Indonesia pada masa penjajahan. Berbagai nama dokter besar berjuang memerangi penyakit tapi juga memberantas penjajahan di Indonesia oleh kolonialisme. Salah satunya adalah dokter asal dari Surabaya, dr. Soetomo.

dr. Soetomo menempuh pendidikan dokter yang didirikan oleh pemerintah Belanda, yaitu School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera. Suatu hari Ia mendengar pidato dari dr.Wahidin dan pidato tersebut sangat berkesan baginya. 

Melalui peristiwa tersebut, dokter Soetomo mendirikan Boedi Oetomo. Ia mendirikannya pada 20 Mei 1908 bersama Gunawan Mangunkusumo, Cipto Mangunkusumo dan R.T Ario Tirtokusumo. 

Para pendiri Boedi Oetomo merasa pendidikan dan pengajaran adalah hal yang harus diperhatikan. Untuk itu, motif dari organisasi ini berfokus pada dunia pendidikan. Budi Utomo artinya usaha mulia, misinya yaitu untuk meningkatkan taraf pendidikan masyarakat dengan memajukan pengajaran dan kebudayaan.

Selain itu organisasi ini juga bersifat modern yang memiliki pemimpin, idoelogi dan anggota yang jelas. Motif itu akhirnya diikuti oleh organisasi lain yang akhirnya memberi pengaruh pada perubahan sosial politik.  

 

 

*** Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Perjalanan IDI

ilustrasi dokter
ilustrasi dokter (Foto: Pexels.com/Raw Pixel)

Bicara soal organisasi, Hari Dokter Nasional ditetapkan sesuai hari jadi IDI. Melansir dari situs promkes.kemkes.go.id, sebenarnya IDI mengalami beberapa kali perubahan nama. Di awal kelahirannya perkumpulan dokter yang ada di nusantara ini disebut Vereniging van Indische Artsen. 

Kemudian pada 1926, organisasi ini mengalami perubahan nama yaitu Vereniging Van Indonesische Genesjkundigen (VIG). Pada 1940, VIG mengadakan kongres di Solo yang menugaskan Prof. Bahder Djohan untuk membina dan memikirkan istilah baru dalam dunia kedokteran. 

Tiga tahun setelah itu, masuklah pendudukan Jepang. VIG pun dibubarkan dan berganti nama menjadi Jawa izi Hooko-Kai.

Pada 30 Juli 1950, atas usul Dr. Seni Sastromidjojo, PB Perthabin (Persatuan Thabib Indonesia) & DP-PDI (Perkumpulan Dokter Indonesia) diadakanlah suatu pertemuan yang menghasilkan “Muktamar Dokter Warganegara Indonesia (PMDWNI)”, yang diketuai Dr. Bahder Djohan. 

Akhirnya pada 22-25 September 1950, Muktamar I Ikatan Dokter Indonesia (MIDI) diresmikan pada Oktober. Dr. Sarwono Prawirohardjo terpilih menjadi Ketua Umum IDI yang pertama.

 

 

 

(Kezia Priscilla - Mahasiswa UMN)

Harapan Dokter

Peringatan hari dokter nasional pada 2019, Humas RSUD Dr Soetomo Surabaya Pesta Manurung menyampaikan sejumlah harapannya. Ia mengharapkan para dokter bertekad untuk melayani pasien dengan sepenuh hati. Selain itu, dokter juga dapat menjalankan profesinya sebagai pelayan kesehatan masyarakat.

"Dan tidak lagi terganggu dengan kisruhnya urusan asuransi kesehatan (apapun itu). Apresiasi profesi dokter perlu diperhatikan, ditambah juga jaminan kesehatan nasional harus menjadi perhatian khusus," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Kamis 24 Oktober 2019.

Pesta menuturkan, apresiasi profesi dokter juga perlu diperhatikan karena sejumlah alasan. Dokter juga ada yang berjuang sendiri untuk menjadi dokter. Hal itu membutuuhkan biaya besar, masa pendidikan yang panjang dan perjalanan pendidikan yang dilalui.

"Sepantasnya dokter menerima kelayakan jasa yang memadai untuk perjuangannya mengabdikan keilmuannya," kata dia.

Oleh karena itu, Pesta menilai perlu ada diskusi dengan para dokter dan organisasi profesi untuk mengetahui apresiasi profesi dokter. Hal ini untuk mengetahui seberapa besar upah yang layak. Selain itu, ia mengingatkan agar tidak mengambil standar dokter di kota mapan untuk menentukan berapa besar upah yang layak. 

"Karena tidak sedikit dokter yang mengabdi di daerah terpencil, daerah perbatasan, kepulauan, dan potensial konflik. Yang mempertaruhkan nyawa mereka, mempertaruhkan keluarga mereka, mempertaruhkan pendidikan anak-anak mereka, bahkan tak sedikit dokter yang tidak sempat lagi memikirkan diri mereka sendiri," kata dia.

Selain itu, ia memang mengakui kalau kompetensi dan kualitas dokter juga perlu juga diperhatikan terutama dokter-dokter yang dari daerah.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya