Liputan6.com, Surabaya - Butet Kartaredjasa bersama kawan - kawan Teater Gandrik akan kembali hadir di Surabaya, Jawa Timur. Kali ini, untuk mementaskan lakon "Para Pensiunan", karya terakhir sutradara Djaduk Ferianto (almarhum), di Ciputra Hall, Surabaya, berlangsung selama dua hari, pada 6-7 Desember 2019, pukul 19.00 WIB.
Pergelaran Teater Gandrik dimaksudkan untuk memberi citra peduli budaya terhadap kota Surabaya. Selain itu, setelah gawe politik dan lelahnya pelaksanaan pesta demokrasi 2018, kini saatnya masyarakat diajak untuk menengok kembali kebudayaan.
"Melalui pentas teater, kami berusaha agar kita tidak melulu dipusingkan dengan masalah politik. Apalagi, masalah sehari-hari dalam aktivitas bermasyarakat telah menjadikan kita lelah. Karena itu, perlu kiranya kita menikmati karya kesenian sehingga menjadi penyeimbang dalam kehidup kita," tutur Arif Afandi, founder dan CEO ngopibareng.id, Kamis (5/12/2019).
Advertisement
Baca Juga
Hal itu diungkapkan Arif Afandi, saat konferensi pers menjelang pementasan Teater Gandrik di Tofe Coffe, Jalan Pemuda Surabaya, Kamis 5 Desember 2019. Didampingi Pimpinan Produksi, Butet Kartaredjasa, dan Sutradara dan Penulis Naskah Teater Gandrik, Susilo Nugroho.
Arif menuturkan, kehadiran komunitas teater yang berdiri di Yogjakarta sejak 1983 ini, dinilai penting. Alasannya, suasana berkesenian di Surabaya perlu mendapat spirit baru dengan hadirnya Teater Gandrik dari Yogjakarta, yang telah dikenal secara nasional dan telah mempunyai ciri khusus dalam setiap pertunjukan.
Kenapa tidak pentas di Balai Pemuda atau di Gedung Cak Durasim, yang mudah dijangkau di tengah kota Surabaya?
Menurut Arif Afandi, ada banyak pertimbangan. Yang ternyata, setelah disurvei di kedua venue pertunjukan seni tersebut, ternyata kurang memadai. Apalagi, untuk pertunjukkan yang sifatnya membutuhkan fasilitas gedung yang representatif.
"Maka, kami memutuskan untuk kerja sama dengan Ciputra Hall, karena cukup representatif untuk pementasan Teater Gandrik. Baik dari sisi kapasitas penonton yang mampu menampung lebih dari 700 lebih tempat duduk, juga pertimbangan akustik yang memadai," tutur Arif Afandi.
Tentang venue, Ciputra Hall, Surabaya. Gedung ini terletak di kawasan Citra Land, Surabaya Barat. Tepatnya di kompleks Puri Widya Kencana. Satu kompleks dengan Sekolah Ciputra.
Hanya 200 meter dari GWalk, kawasan kuliner dan hang out di kota baru Surabaya Barat ini. Arah belakang GWalk jika masuk dari Unesa. Tak jauh dari danau Citra Land.
Gedung pertunjukan seni dengan kapasitas 710 kursi ini satu-satunya yang sudah mempunyai prasarana lengkap di kota ini. Sound system, lighting system, dan kualitas akustik yang sempurna.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Alasan Pilih Surabaya
Sementara itu, Pimpinan Produksi Teater Gandrik, Butet Kartaredjasa, menjelaskan ada hal yang mendasari kehadiran rombongan Teater Gandrik di Surabaya.
Pertama, Butet yang putra seniman legendaris Bagong Kussudiardjo, mengaku kagum dengan Teater Bengkel Muda Surabaya (BMS) saat mementaskan lakon-lakon di Jogjakarta.
"Saya kagum dengan Basuki Rakhmat (almarhum) sebagai sutradara Bengkel Muda Surabaya, saat mementaskan Darmi Darmo, dan Lingkaran Keadilan. Ketika itu, salah seorang pemainnya, Bawong Suatmadji Nitiberi, bermain sangat memesona dalam dua karakter yang berbeda. Di situlah, ikatan saya dengan Surabaya mulai tumbuh, ketika itu saya masih SMA," tutur Butet, seraya menyebut tahun 1987 momen bersejarah dalam hidupnya mulai tumbuh minat berteater.
"Ketika itulah, yang membangkitkan minat saya menggeluti seni peran hingga kini. Jadi, saya tidak melupakan Surabaya dalam berteater," tutur Butet, yang bergabung dengan Teater Gandrik pada 1985.
Kedua, penyelenggaran pentas Teater Gandrik di Surabaya sudah beberapa kali digelar di Surabaya. Sejak 1997, ketika maraknya reformasi, hingga beberapa kali mendapat perhatian dari publik di Surabaya.
"Bahkan, yang terkesan bagi kami, Jawa Pos telah memberi ruang bagi Teater Gandrik untuk tampil di Surabaya. Nah, kini dilanjutkan ngopibareng.id, dengan naskah lakon Para Pensiunan ini," tuturnya.
Terakhir Surabaya pada 2017, Teater Gandrik mementaskan lakon "Gundala Gawat". Sehingga, pementasan lakon "Para Pensiunan" merupakan bangunan keakraban yang telah dibina sebelumnya dan dilanjutkan hingga kini di Surabaya.
Sedeangkan, Susilo Nugroho, salah seorang pendiri sekaligus Sutradara Teater Gandrik menuturkan, naskah lakon yang disusunnya bersama Agus Noor, terjadi beberapa kali perombakan.
"Setiap pentas, terjadi perubahan menyesuaikan dengan kondisi publik. Seperti di Surabaya, kami menulis ulang (rewrite) untuk disesuaikan dengan kebutuhan panggung dan publiknya penonton," tutur Susilo Nugroho, yang dipercaya menggantikan Djaduk Ferianto (almarhum), sebagai Sutradara dalam lakon Para Pensiunan ini.
"Kami ini rombongan orang goblok, tapi ngaku pintar. Setiap kali membaca berita, selalu yang muncul soal koruptor yang ditangkap. Nah, akhirnya kami selalu mempunyai anggapan setiap Presiden Indonesia adalah orang baik," tuturnya.
Oleh karena itu, munculnya imajinasi ke depan hingga 30 tahun, sebagai latar cerita dalam naskah Para Pensiunan ini. Imajinasi ketika para koruptor harus bertanggung jawab, tidak boleh dikubur. Karena dua alasan, koruptor punya dua kesalahan. Kesalahan pada negara, dan kepada masyarakat.
"Salah pada negara, koruptor dihukum. Tapi, salah kepada masyarakat, harus dipertanggungjawabkan dengan tidak boleh dimakamkan. Jadi, mayatnya bisa gentayangan karena dijadikan bahan untuk pupuk dan makanan ternak," kata Susilo Nugroho.
Advertisement
Sinopsis Lakon Para Pelakon
Hidup sebenarnya hanya menunda pensiun. Dan para pensiunan itu ingin menikmati masa tuanya dan menunggu mati yang tenang. Mereka adalah pensiunan Jenderal, Pensiunan Politisi, Pensiunan Hakim dan para pensiunan lainnya.
Lalu ada Undang-undang Pemberantasan Pelaku Korupsi (atau Pelakor) yang secara konstitusional mengharuskan siapa pun yang mati wajib memiliki Surat Keterangan Kematian yang Baik (SKKB).
Undang-undang Pelakor memang dibuat agar para koruptor kapok. Karena hanya orang yang tidak pernah melakukan korupsi yang berhak mendapatkan SKKB itu. Lebih sulit mati dibanding jadi koruptor. Bila tak punya Surat Keterangan Kematian yang Baik, maka mayatnya tak boleh dikuburkan — karena dianggap tak bersih dari korupsi.
Celakanya, satu dari pensiunan itu terlanjur mati, tanpa memiliki Surat Keterangan Kematian yang baik. Padahal ia pensiunan orang besar. Akibatnya, jenazahnya terlunta-lunta nasibnya.
Para pesiunan yang lain menjadi gelisah, dan masing masing ingin membuktikan bahwa mereka tak pernah korupsi agar mendapatkan SKKB, sehingga bila nanti mati bisa dikubur baik-baik.
Akan tetapi, benarkah mereka tak pernah korupsi selama jadi Jenderal, Politisi, Pegawai Negeri dan lain-lain?
Agar mendapatkan SKKB itu pun bermacam cara dilakukan, bahkan sampai membujuk, menjebak atau menyuap Penjaga Kubur.
Sementara jenazah pensiunan yang sudah mati, terus mendatangi kolega, instansi yang berwenang, agar ia dipulihkan nama baiknya, dengan diberi Surat Keterangan Kematian yang Baik.
Undang-undang Palakor ternyata juga membuat repot mereka yang belum mati. Karena cemas saat mati tak bisa disembayangkan dan dikuburkan. Bahkan ketika menjadi isu politik dan banyak kepentingan yang mempolitisir, Undan-undang Pelakor mengancam mereka yang berkuasa.