Pembawa Payung Sultan HB VII Perintis Kampung Mediunan di Glenmore

Dia pemenang sayembara yang diadakan Belanda dalam mencari lokasi di Gunung Gumitir untuk ditembus sebagai terowongan kereta api. Akhirya bermukim di Glenmore.

oleh Liputan Enam diperbarui 05 Jul 2020, 12:30 WIB
Diterbitkan 05 Jul 2020, 12:30 WIB
Proyek Terowongan Mrawan
Proyek Terowongan Mrawan

Liputan6.com, Jakarta - Terowongan Mrawan di perbatasan kabupaten Jember dan Banyuwangi, Jawa Timur masih bertahan hingga kini. Selain menyajikan panorama menawan, satu dari delapan terowongan kereta di Indonesia ini menyimpan kisah menarik.

"Ini ada hubungannya dengan kampung Mediunan di masa awal berdirinya Glenmore,” kata Arif Firmansyah, penulis buku Glenmore Sepetak Eropa di Tanah Jawa.

Jarak antara Glenmore dan terowongan Mrawan sekitar 24 kilometer. Namun, keduanya punya ikatan yang kuat, terutama warga kampung Mediunan di Glenmore. Mayoritas warga kampung ini adalah anak cucu para pekerja terowongan yang mulai dibangun pada 1901-1902 dan selesai 10 tahun kemudian.

"Tanah di kampung ini awalnya hadiah dari Belanda untuk mandor proyek yang dikenal sebagai Mbah Diun," katanya. Dia dipercaya sebagai mandor setelah memenangi sayembara tentang proyek terowongan yang diadakan oleh Belanda.

Terowongan ini menjadi jalur vital dalam pengembangan jalur kereta yang masih digunakan sampai sekarang. Selain terowongan Mrawan, Staats Spoorwegen (SS), perusahaan kereta api Hindia Belanda juga membangun terowongan Garahan di sisi tenggara Mrawan. Keduanya berada di kawasan gunung Gumitir, Kabupaten Jember. Dalam proyek di Mrawan, Mbah Diun punya andil cukup besar.

Menurut buku Glenmore Sepetak Eropa di Tanah Jawa, Mbah Diun bernama asli Madrakah atau Madikoh. Tapi, di nisan makamnya tertulis Madrakah. Dia berasal dari desa Gebang Girisuko, Yogyakarta. Dia menjadi abdi dalem dengan tugas membawa payung Sultan Hamengkubuwono VII yang memerintah Keraton Yogyakarta pada 1877-1920.

 

 

Saksikan Video Pilihan Ini

Lokasi Terowongan Keramat

Kantor Administratur Belanda
Kantor Administratur Belanda

Tapi, pada akhir 1890-an, dia hijrah ke Madiun lalu bergaul dengan pegawai Staats Spoorwegen, embrio PT Kereta Api Indonesia. "Di sini dia mengenal urusan kereta api,” kata Arif menirukan kesaksian anak cucu Mbah Diun.

Saat Belanda membangun jalur kereta Kalisat-Mrawan yang melintasi kawasan gunung Gumitir, banyak kejadian aneh yang tidak biasa. Warga setempat meyakini daerah ini memang keramat. Pegawai Staats Spoorwegen juga kerepotan untuk menentukan lokasi bukit yang harus ditembus sebagai terowongan.

Lalu sayembara menemukan lokasi terowongan diadakan untuk penduduk pribumi. Mbah Diun yang dipercaya linuwih secara spiritual menjadi pemenang sayembara dan kemudian dipercaya menjadi mandor proyek.

Bagian terowongan yang pertama dibangun adalah tembok sebelah kiri dan kanan. Proyek ini sempat terhenti karena ditemukan pancuran air dari tanah di dalam terowongan. Solusinya adalah aliran air dialihkan ke luar terowongan.

Konstruksi lengkung penutup terowongan membutuhkan waktu delapan tahun. Dalam foto koleksi keluarga seperti dimuat di buku Glenmore Sepetak Eropa di Tanah Jawa, Mbah Diun memakai baju hitam bersaku putih, sarung batik, dan udeng penutup kepala. Sayang, sebagian foto proyek itu mulai banyak yang rusak.

 

Menolak Hadiah Rumah di Belanda

Kampung Mediunan
Kampung Mediunan

Setelah proyek selesai, dia mendapat tawaran hadiah: rumah di Belanda atau tanah di Indonesia yang dipilih sendiri. Mbah Diun memilih sebidang tanah di Glenmore, sekitar satu kilometer di sisi timur Stasiun Glenmore.

“Kawasan ini berkembang menjadi Mediunan,” kata Iqbal Fardian, penulis buku Glenmore Sepetak Eropa di Tanah Jawa. Kampung ini tumbuh bersama kampung lain di Glenmore seperti Megelenan yang dihuni warga dari Bagelen dan Mataraman yang dihuni warga dari Yogyakarta.

Kisah Mbah Diun memilih lahan ini cukup menarik. Seperti dituturkan anak cucunya, setelah tawaran hadiah disampaikan, Mbah Diun berdiri dan memandang sejenak ke sisi selatan dan utara jaringan rel kereta yang sudah membentang di Glenmore. Kepada perwakilan Belanda dia berkata, "Saya ingin tinggal dan menetap di sini bersama anak dan keturunan saya,” katanya.

Di lahan ini dia dan pekerja proyek membuka hutan untuk pemukiman. Langkah ini diikuti kerabat dan tetangganya di Madiun untuk hijrah ke tempat baru.

Selain warga Madiun, daerah yang baru dibuka ini ternyata menarik minat sebagian penduduk Yogyakarta dan sekitarnya. Kehadiran pendatang dari Yogyakarta tentu tidak lepas dari sosok Mbah Diun yang pernah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta.

Sebagian dari mereka masih berkerabat dengan warga Madiun yang lebih dulu hijrah. Mereka tetap menjalankan tradisi dan budaya asalnya, termasuk cara berkomunikasi dengan langgam daerahnya sampai sekarang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya