Informasi Umum
PengertianRupiah Digital atau CDBC (Central Bank Digital Currency)adalah uang digital yang diterbitkan dan peredarannya dikontrol oleh bank sentral, dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk menggantikan uang kartal.

Perbedaan Uang Kripto dan Rupiah Digital

Setahun terakhir, mata uang kripto kian populer di Indonesia dan dunia internasional. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), hingga akhir Mei 2021, jumlah investor aset kripto Indonesia mencapai 6,5 juta orang. Jumlah itu naik lebih dari 50 persen dari 2020 lalu yang baru 4 juta orang.

Sementara itu Bank Indonesia kini tengah merumuskan pembuatan mata uang digital Central Bank Digital Currency (CBDC). Nantinya produk ini akan diberi nama digital rupiah. BI menjelaskan Central Bank Digital Currency – Digital Rupiah dalam implementasinya harus disesuaikan kondisi ekonomi dan konteks digitalisasi.

 Kantor Akuntan Publik dan Konsultan RSM Indonesia memandang, mata uang kripto adalah mata uang digital atau virtual yang dijamin dengan kriptografi, yang membuatnya hampir tidak mungkin untuk dipalsukan (counterfeit) atau digandakan (double-spend).

“Mata uang digital bersifat desentralisasi, tidak butuh bank sentral dan bank dalam transaksi karena transaksinya berlangsung secara peer-to-peer dari pengirim ke penerima,” ungkap Managing Partner Audit RSM Indonesia Dedy Sukrisnadi dalam keterangan tertulis, Selasa (27/7/2021).

Beberapa contoh mata uang kripto antara lain Bitcoin, Litecoin, Peercoin, dan Namecoin, serta Ethereum, Cardano, XRP, dan EOS. Di berbagai negara termasuk Indonesia, mata uang kripto bukan merupakan alat pembayaran yang sah (legal tender).

Menurut Dedy, Central Bank Digital Currency (CBDC) yang nantinya bernama Digital Rupiah yang tengah dirumuskan oleh BI tidak sama dengan mata uang kripto. CBDC adalah uang digital yang diterbitkan dan peredarannya dikontrol oleh bank sentral, dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk menggantikan uang kartal.

Terdapat 3 model CBDC. Pertama, indirect CBDC di mana tagihan (claim) dilakukan ke perantara (bank komersial), sementara bank sentral hanya melakukan pembayaran ke bank komersial. Kedua, direct CBDC di mana tagihan dilakukan langsung ke bank sentral. Serta ketiga, hybrid CBDC di mana tagihan dilakukan ke bank sentral, tetapi bank komersial yang melakukan pembayaran.

“RSM memandang keberadaan cryptocurrency ini perlu untuk terus dicermati terjadinya risiko yang merugikan. Sebagai contoh, populernya penggunaan mata uang kripto ini berisiko terhadap kestabilan moneter apabila masyarakat menggunakannya sebagai private digital currency,” jelas Dedy.

Risiko lainnya, kata Dedy, terdapat risiko underground economy apabila pemegang/pemilik mata uang kripto tidak mencatatnya sebagai aset yang dimilikinya. Penambahan kekayaan dari peningkatan nilai mata uang kripto yang tidak tercatat dalam laporan keuangan (entitas atau pribadi) pada gilirannya akan berdampak pada kecilnya kewajiban perpajakan mereka.
 

Pengamat Ingatkan soal Risiko Hukum

Bank Indonesia (BI) harus hati-hati sebelum menerbitkan mata uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC).

Senior Partner UMBRA Putu Raditya Nugraha mengatakan, BI harus hati-hati sebelum benar-benar menerbitkan CBDC dengan melihat kesiapan infrastruktur digital.

"Yang namanya uang harus sama, semua orang harus bisa memiliki uang. Tapi pertanyaannya apakah kita punya literasi dan alat untuk menggunakan CBDC ini?" ujar Putu dalam diskusi virtual, Senin (12/4/2021).

Indonesia sendiri, kata Putu, masih memiliki keterbatasan listrik dan sering terdampak bencana alam.

"Seperti kemarin ada gempa, ATM rusak, jadi yang punya tabungan, enggak bisa narik tabungan. Yang punya cash itu kan biasanya pekerja sektor informal, justru mereka punya uang ketika bencana," kata Putu.

Selain itu, belum seluruh masyarakat Indonesia memiliki gadget.

Oleh karenanya, infrakstruktur digital harus benar-benar siap sebelum penerbitan mata uang digital ini dilakukan.

Dari sektor hukum, Putu bilang KUH Perdata Indonesia belum memiliki konsep digital.

"Pembuktian saja kan masih pakai surat. Kalau enggak pakai surat dengan tanda tangan basah, enggak sah. Nah, kalau ditarik dengan CBDC, masih jauh," kata Putu.

Putu bilang, risiko hukum yang ada masih sangat lebar. Misalnya, mitigasi risiko saat kehilangan uang digital. Jika memang BI berencana menerbitkan CBDC, maka seharusnya infrastruktur digital dan hukum yang diperlukan sudah siap.

"Bagaimana kita membuktikan kalau uang yang hilang itu punya kita, ini yang sulit. Apakah BI bisa mengubah konsep hukum ini. Ini sektoral, bukan cuma BI tapi pemerintah," katanya.

 

Tampilkan foto, video, dan topik terkait
Loading