Suara Sumbang Protes Layanan OTT Mulai Terdengar

Para penyedia layanan OTT dinilai hanya mengambil keuntungan dari penduduk Indonesia tanpa memberikan investasi.

oleh Denny Mahardy diperbarui 11 Des 2014, 17:38 WIB
Diterbitkan 11 Des 2014, 17:38 WIB
Dunia Digital
(ilustrasi)

Liputan6.com, Jakarta - Layanan Over the Top (OTT) merupakan salah satu pendukung di era digital. Para pengguna layanan data kerap menggunakan layanan OTT seperti Google, Facebook, WhatsApp dan layanan lainnya untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya.

Sayangnya, para penyedia layanan OTT dinilai hanya mengambil keuntungan dari penduduk Indonesia tanpa memberikan investasi. Hal ini pun kemudian menuai berbagai protes dari berbagai pihak.

"Penyedia layanan OTT bisa dengan leluasa mengambil keuntungan dari Indonesia tanpa berinvestasi. Mereka bisa bebas meraup untung padahal seharusnya ikut bertanggung jawab soal infrastruktur juga," kata Hasnul Suhaimi, Presiden Direktur dan CEO PT XL Axiata Tbk di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (11/12/2014).

Hal senada diungkapkan oleh Guntur S Siboro, CEO Aora. Ia menyebutkan belum adanya regulasi terkait OTT di Indonesia menjadi salah satu penyebab para perusahaan konten dengan mudah mengambil keuntungan tanpa perlu berinvestasi.

"Di industri komunikasi ada ABC untuk access, backbone dan content. Untuk access dan backbone pemerintah bisa atur, tapi soal content pemerintah masih belum mengeluarkan regulasi sampai saat ini. Jadi mereka gampang ambil untung tanpa investasi," ujar Guntur.

Para penyedia layanan telekomunikasi mengaku tengah berusaha melakukan kerjasama dengan penyedia layanan OTT agar mereka bisa kebagian keuntungan.

"Sementara ini kita sudah kerjasama dengan Facebook, tujuannya supaya pelanggan lebih dapat prioritas dan keuntungan lain," tandas Hasnul. (den/dew)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya