Liputan6.com, Jakarta - Satu dekade lalu, pasar ponsel Tanah Air begitu semarak, Nokia masih menjadi salah satu merek ponsel (bukan smartphone) yang paling banyak dicari, diikuti Sony (sebelumnya Sony Ericsson), Samsung, dan Motorola. Ponsel lokal pun tak mau ketinggalan, sebut saja Nexian, Evercoss, Advan, dan Mito yang menyasar kelas low-end.
Pada 2006, pasar ponsel low-end menguasai sekitar 49 persen pangsa pasar, dan pada 2007 naik menjadi 55 persen. Namun, langkah mereka kian sempit ketika pada akhir 2008, merek ponsel Tiongkok mulai merangsek masuk. Beberapa di antaranya adalah Huawei, ZTE, K-Touch, Haier, HiSense, Beyond, CSL Blueberry, dan lainnya.
Ponsel Tiongkok cukup laris manis di pasaran, terlebih banyak operator seluler yang melakukan strategi penjualan ponsel dengan sistem bundling. Tak hanya itu, kehadiran ponsel Tiongkok juga semakin deras pada 2008.
Advertisement
Baca Juga
Menurut pakar dan pengamat teknologi telekomunikasi Teguh Prasetya, salah satu penyebab derasnya ponsel Tiongkok masuk ke pasar Indonesia adalah karena saat itu Indonesia belum memiliki produsen ponsel lokal yang kuat dan mandiri.
"Saat itu produsen lokal di Indonesia belum ada yang mandiri. Mereka masih memproduksi ponsel di Tiongkok. Mereknya memang lokal, tapi barang yang dipasarkan adalah buatan Tiongkok. Sehingga, kini ponsel Tiongkok bisa melaju tanpa perlawanan dari ponsel lokal," katanya kepada Tekno Liputan6.com, Sabtu (26/8/2017) di Jakarta.
Lebih lanjut, Teguh mengatakan perang harga juga menjadi strategi utama ponsel Tiongkok untuk merebut pasar. Produsen ponsel Tiongkok manawarkan harga lebih murah dari ponsel merek lokal, namun memiliki fitur yang tak kalah ciamik dari merek global.
"Mereka berani menawarkan ponsel dengan harga yang jauh lebih murah, tapi dengan spesifikasi yang tak kalah dengan merek global," ucap Teguh menambahkan.
Pria yang juga dikenal sebagai pendiri Indonesian Cloud Forum ini memaparkan, beberapa hal yang membuat ponsel lokal tergerus adalah karena saat itu ponsel lokal tidak konsisten dalam meluncurkan produk baru. Juga memiliki kualitas produk dan eksistensi yang rendah serta layanan purna jual yang kurang meluas.
"Layanan purna jual yang diberikan produsen lokal juga sangat kurang. Kehadiran service centre masih terbatas dan tak bisa mengakomodir semua kebutuhan pengguna. Service center biasanya hanya ada di kota-kota besar, lantas bagaimana dengan konsumen di luar kota besar?," pungkasnya.
Pada 2009, ponsel pintar (smartphone) mulai meramaikan pasar ponsel Indonesia. Beberapa merek global yang mendominasi adalah Nokia lewat seri Communicator dan BlackBerry dengan seri Curve. Kemudian pada 2010, BlackBerry merajai pasar ponsel Tanah Air lewat seri Bold dan Torch.
Namun pada 2011, dominasi BlackBerry mulai terganggu dengan popularitas smartphone berbasis sistem operasi (OS) Android di Tanah Air. Menurut lembaga riset International Data Corporation (IDC), setahun kemudian (pada 2012) ponsel berbasis Android semakin mendominasi pasar smartphone di Indonesia.
Sitem operasi Android merajai dengan kontribusi 64 persen dari seluruh smartphone yang dikirim ke Indonesia pada kuartal ketiga 2012. Kala itu, pasar smartphone pada kuartal ketiga masih didominasi oleh vendor asing, di antaranya Nokia, Samsung, BlackBerry, serta dua vendor lokal yaitu Evercoss (sebelumnya Cross) dan Mito.
Namun, vendor smartphone lokal terbentur merek Tiongkok dan Taiwan yang juga menawarkan harga murah dan spesifikasi tinggi. Akibat persaingan harga, smartphone lokal kian terjepit. Mengacu data dari GfK, jika dihitung secara value, smartphone global menguasai hampir 85 persen dan sisanya yaitu 15 persen direngkuh smartphone merek lokal.
Pangsa pasar smartphone lokal berangsur menurun hingga 2015. Dari puluhan merek lokal, yang saat ini masih bertahan adalah Advan, Evercoss, dan Polytron. Namun, Polytron bisa disebut sebagai pemain baru di industri smartphone lokal.
Polytron mulai terjun ke industri smartphone pada 2011, sedangkan Advan sejak 2007 dan Evercoss pada 2008 yang saat itu bernama Cross.
Kian Terjepit
Vendor smartphone Tiongkok kemudian kian mendominasi di pasar ponsel Tanah Air. IDC mencatat, pangsa pasar smartphone lokal semakin terjepit sejak kuartal I 2016.
Smartphone lokal sempat menguasai 34 persen pangsa pasar di Indonesia pada kuartal I 2015, di mana saat itu pangsa pasar smartphone Tiongkok hanya 12 persen.
Kemudian, pangsa pasar smartphone lokal mulai menyusut di kuartal I 2016 menjadi 20 persen, dan turun lagi menjadi 12 persen pada kuartal I 2017. Sementara, pangsa pasar smartphone Tiongkok meroket hingga 23 persen di periode sama pada 2016 dan 31 persen pada 2017.
Associate Market Analyst IDC Indonesia, Risky Febrian, mengatakan pasar smartphone Indonesia telah berubah. Vendor Tiongkok semakin agresif untuk memasarkan produk.
"Strategi yang mereka lakukan menghabiskan banyak dana, dan itu membuat para vendor lokal susah untuk bersaing di tengah besarnya investasi dan agresifnya pemasaran produk Tiongkok. Hal ini membuat para vendor lokal susah untuk bersaing dengan sumber daya terbatas," ujarnya.
Menurut Risky, peningkatan pangsa pasar vendor Tiongkok didorong oleh aktivitas pemasaran below dan above-the-line. Mulai dari perekrutan brand ambassador dengan menggaet selebritas lokal muda dan populer, hingga figur yang digemari target penggunanya.
"Mereka (vendor Tiongkok) mampu bersaing karena strategi penggunaan selebritas sebagai brand ambassador, insentif menarik, dan margin lebih besar untuk channel partner. Kurangnya ekuitas merek membuat vendor lokal sulit untuk menyaingi mereka. Alhasil, mereka harus terus bermain di segmen harga di bawah Rp 2 juta," ujar Risky.
Aryo Meidianto, Media Engagement Oppo Indonesia, membenarkan hal itu. Strategi iklan di bilboard dan TV, kata dia, Â tujuannya agar orang lebih ingat dengan produk Oppo.
"Sedangkan brand ambassador, kami pilih yang memiliki kedekatan dengan penggemarnya. Nah, para penggemar itu yang menjadi target kami. Ketika selebritas itu dekat dengan penggemarnya, mereka lebih militan," kata Aryo menerangkan.
Adapun lima merek smartphone--baik global, Tiongkok, maupun lokal--yang menguasai pasar Indonesia pada kuartal I 2017 antara lain (1) Samsung, (2) Oppo, (3) Asus, (4) Advan, dan (5) Lenovo (termasuk Motorola). Artinya, Advan menjadi satu-satunya merek lokal yang masuk ke lima besar merek smartphone di Indonesia.
Sementara untuk smartphone kelas mid-range yang masuk top 5 pada kuartal kedua 2017 adalah (1) Samsung, (2) Oppo, (3) Advan, (4) Asus, dan (5) Xiaomi.Â
Pun demikin, kata Risky, vendor lokal terus berupaya untuk meraup kue pasar dengan strategi lain. Salah satunya, mereka mengembangkan value added services (VAS) lebih banyak ke pengguna.
"Beberapa di antaranya adalah Advan yang mengembangkan user interface (UI) Android bernama IdOS, Polytron dengan UI FiraOS, dan Evercross yang bekerja sama dengan Foxconn untuk mengembangkan smartphone seri Luna," tuturnya.
Pun demikian, lanjut Risky, ke depannya persaingan akan semakin ketat, mengingat BlackBerry kembali masuk ke pasar ponsel Indonesia dengan BB Merah putih, Xiaomi, dan HMD Nokia yang segera hadir dengan produk terbarunya di segmen mid-range pada tahun ini.
Advertisement
Strategi Vendor Lokal
Untuk melawan smartphone Tiongkok yang kian menggurita, sejumlah vendor lokal, seperti Advan, Evercoss, dan Polytron memiliki strategi masing-masing.
Tjandra Lianto, Direktur Marketing Advan mengungkap, perusahaan tengah memperkenalkan IdOS yang memilki fitur keamanan lebih baik.
"Kalau misalnya produk Tiongkok punya unggulan di selfie dan kamera, kami tawarkan fitur keamanan yang menjadi pembeda. Apalagi keamanan di era saat ini begitu penting karena kian banyak transaksi online, termasuk mencegah malware," imbuh Tjandra.
Sementara itu, Head of Marcomm Evercoss, Suryadi Willim, menjelaskan bahwa perusahaan akan selalu menawarkan perangkat dengan kualitas terjaga. "Kami juga bekerja sama dengan developer lokal untuk menawarkan pengalaman terbaik bagi konsumen. Selain itu, kami memiliki layanan service center yang tersebar di seluruh Indonesia," ujar Suryadi.
Di sisi lain, Polytron memiliki pendekatan yang agak berbeda, di mana mereka akan berusaha untuk lebih dekat dengan konsumen Indonesia.
"Karena Polytron asli Indonesia, maka kami berusaha untuk lebih dekat dengan konsumen Indonesia, dengan lebih mengetahui pasar, fitur yang dibutuhkan, dan fitur yang cocok untuk konsumen Indonesia," kata Tekno Wibowo, Marketing Director PT Hartono Istana Teknologi.
Tak hanya mengumbar strategi, mereka juga optimistis dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Advan bahkan percaya diri dapat menguasai pasar Indonesia pada 2020.
"Targetnya 2020. Di tahun itu, kami ingin bisa menjadi produk yang terlaris dan menjadi tuan rumah di pasar sendiri. Namun untuk menuju ke sana, kami perlu menawarkan produk yang inovatif, dengan fitur menarik, dan harga yang tentunya terjangkau," ucap Tjandra menambahkan.
Polytron pun juga tak kalah optimistis. "Kalau ditanya kapan (menguasai pasar smartphone Indonesia), sekitar lima tahun dari sekarang. Kami juga terus mengembangkan pabrik untuk memenuhi standar internasional, termasuk mengembangkaan alat-alat produksi yang dibuat di Indonesia," pungkas Tekno Wibowo.
(Isk)