Hacker Curi Rp 81,5 Miliar dari Bank Rusia

Serangan hacker semakin gencar dan berani. Sebuah bank di Rusia turut menjadi korban serangan hacker yang semakin canggih.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 19 Feb 2018, 15:00 WIB
Diterbitkan 19 Feb 2018, 15:00 WIB
Pesawat Canggih Rusia Hiasi Langit Jelang Parade Militer Victory Day-AFP-20170504
Pesawat supersonik Rusia Tupolev Tu-160 dan Tupolev Tu-22M3 terbang di atas katedral Kremlin saat latihan untuk parade militer Hari Kemenangan di Moskow, Kamis (4/5). (AFP PHOTO / Natalia KOLESNIKOVA)

Liputan6.com, Jakarta - Hacker yang belum teridentifikasi mencuri uang sejumlah 339,5 juta rouble atau setara Rp 81,5 miliar.

Kejadian tersebut berlangsung tahun lalu dan baru diumumkan oleh bank sentral Rusia pada Jumat lalu. Demikian seperti dikutip dari Reuters, Senin (19/2/2018).

Setelah laporan itu diterbikan, juru bicara bank sentral mengakui para hacker berhasil mengambil kontrol sebuah komputer di salah satu bank Rusia dan menggunakan sistem SWIFT untuk mengirim uang ke rekening-rekening milik mereka.

Mengutip Investopedia, SWIFT adalah sistem jaringan pesan yang digunakan bank dan institusi finansial untuk mengurus pengiriman dan penerimaan informasi seperti instruksi transfer uang.

Jubir tersebut menolak menyebut bank nama yang dicuri serta tidak mau memberikan detail lebih lanjut.

Sementara juru bicara dari SWIFT, Natasha de Teran, yang sistemnya dipakai untuk mengirim triliunan dolar setiap harinya juga menolak memberikan komentar.

"Ketika ada kasus potensi kecurangan dilaporkan kepada kami, kami menawarkan bantuan ke pengguna yang terkena masalah untuk membantu mengamankan ruang lingkupnya," kata Natasha.

SWIFT juga menuturkan selama ini sistem-sistemnya tidak pernah diterobos oleh para hacker.

Tahun lalu, SWIFT yang bermarkas di dekat Brussel sempat mengatakan pencurian digital semakin kerap terjadi akibat para hacker yang memakai peralatan dan teknik lebih canggih untuk melancarkan serangan-serangan baru.

 

Hacker Makin Cerdas, Bank Wajib Waspada

Hacker
Ilustrasi peretasan sistem komputer. (Sumber Pixabay)

Salah satu masalah yang muncul adalah kecerdasan buatan disalahgunakan untuk membobol sistem perbankan.

Mark Gazit, CEO dari Theta Ray yang memiliki spesialisasi di bidang risiko Big Data, menjelaskan potensi penyalahgunaan kecerdasan buatan yang dapat merugikan nasabah bank ternyata cukup tinggi.

"Orang di zaman sekarang modusnya tidak akan datang ke bank dan mengancam dengan senjata. Itu mungkin hanya terjadi di film-film Hollywood," ujar Gazit kepada Tech Republic.

"Mereka bisa saja mendirikan sebuah layanan di suatu tempat di luar Amerika Serikat. Modusnya dengan sebuah program berbasis kecerdasan buatan. Setelah itu, mereka akan menjalankan server dan meretas ke akun nasabah bank," lanjutnya.

Jumlah yang "dicuri" pun tidak perlu banyak-banyak, cukup setengah dolar (sekitar Rp 7.000) di setiap akun agar tidak ada nasabah yang sadar maupun protes.

Gazit juga mengatakan bahwa pelaku dapat dengan mudah mencabut koneksi tautan dan menghilangkan jejak. Bila tidak waspada, bank mungkin baru bisa menyadari tindak kriminal tersebut pada setahun setelahnya.

Peringatan yang disampaikan Gazit tentu disertai bukti kuat. Pada 2016, akun bank sentral Bangladesh di New York Federal Reserve menjadi korban pencurian uang. Total US$ 81 juta (setara dengan Rp 1,1 triliun) dibobol oleh para hacker yang dicurigai berasal dari Korea Utara.

Pemain Gim Online Juga Jadi Target

Dampak Game Online
Banner game online (Liputan6.com/Abdillah)

Ternyata tidak hanya bank yang dibobol para penjahat siber. Industri gim online pun menjadi salah satu target mereka untuk meraup keuntungan.

Perkembangan gim online membuat industri menjadi sangat menguntungkan. Berdasarkan penelitian Kaspersky Lab, lebih dari setengah atau 53 persen responden secara teratur bermain gim online. Jumlah gamer online pada usia 25-34 tahun meningkat sebesar 64 persen, sedangkan usia 16-24 tahun naik 67 persen.

Perkembangan industri gim online ini dinilai menjadi target empuk penjahat siber. Salah satu alasannya karena gim online bisa diretas dan dijual di pasar gelap.

Terlepas dari ancaman tersebut, para gamer sendiri sering membiarkan akun mereka mudah diretas, sehingga membahayakan progres permainan, data-data pribadi, atau pendapatan dari gim online.

Pengguna gim online global seperti platform popular Steam, PlayStation Network dan Xbox Live, diperkirakan berjumlah antara 2,2 hingga 2,6 miliar. Jumlah ini masih akan terus bertambah.

Fakta tersebut kian menjadikan industri gim online menjadi target yang sangat menguntungkan bagi penjahat siber untuk mengganggu operasional. Selain itu, penjahat siber juga bisa mendapatkan akses ke data-data pengguna seperti informasi mengenai password dan rekening bank.

Berdasarkan penelitian Kaspersky mengenai pengguna yang pernah mengalami serangan percobaan atau sudah menjadi korban, sebesar 16 persen mengakui akun gim online mereka menjadi target.

Jumlah serangan terhadap akun pemain laki-laki naik menjadi 21 persen. Sebanyak 55 persen pengguna tidak bisa dengan segera mengembalikan detail akun gim yang hilang.

(Tom/Isk)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya