Liputan6.com, Jakarta - Aksi penambangan mata uang virtualdi Tiongkok harus diakui masih menjadi tren. Kendati demikian, sejumlah otoritas setempat sudah melakukan pembatasan karena dianggap menghabiskan sumber daya listrik yang terlalu besar.
Sejumlah penambang pun sebenarnya mengetahui hal tersebut sehingga tidak sedikit yang putar otak untuk mengakalinya.
Salah satunya adalah kepala sekolah di Hunan, Tiongkok. Dikutip dari BBC, Senin (12/11/2018), kepala sekolah itu diketahui telah dikeluarkan karena kedapatan menambang mata uang virtual ethereum di sekolah.
Advertisement
Baca Juga
Alasan sang kepala sekolah yang belakang diketahui bernama Lei Hua itu juga tidak lepas dari konsumsi daya listrik yang dibutuhkan mesin penambang. Setelah mengetahui tagihan listrik rumahnya membengkak, dia lantas memindahkan mesin penambang ke sekolah.
Akibat aksinya itu, tagihan listrik di sekolah naik drastis hingga mencapai Rp 31 juta. Sejumlah guru awalnya melaporkan peristiwa ini ke kepala sekolah, sebelum merupakan dalang di balik peristiwa itu. Namun, dia beralasan tingginya tagihan karena AC dan penghangat ruangan.
Tidak hanya itu, sejumlah orang juga melaporkan ada suara bising di sekolah yang terjadi siang dan malam. Setelah upaya menemukan asal sumber, menurut media setempat, mesin penambang cryptocurrency itu akhirnya ditemukan.
Sekadar informasi, mesin penambang biasanya digunakan untuk akses ke jaringan mata uang yang diinginkan. Berbekal komputasi yang mumpuni, transaksi di mesin penambang berpotensi menguntungkan, terutama jika dilakukan dalam skala besar.
Dalam melakukan aksinya, kepala sekolah ternyata tidak sendirian. Dia dibantu oleh wakil kepala sekolah yang ikut meletakkan mesin penambang di sekolah. Sebagai ganjaran, kepala sekolah dilaporkan dan sang wakil kepala sekolah mendapat surat teguran.
Tiongkok Bakal Tutup Aktivitas Penambangan Bitcoin
Awal tahun ini, regulator Tiongkok dilaporkan tengah meminta para pemerintah daerah agar menutup aksi penambangan bitcoin di wilayahnya.
Berdasarkan bocoran dokumen yang dilaporkan Bloomberg dan Reuters, Tiongkok juga berencana membatasi pasokan listrik ke pelaku penambang bitcoin.
Keberadaan mereka dianggap bermasalah, sebab konsumsi listrik penambang begitu besar. Padahal, pemerintah sedang berupaya mendistribusikan listrik lebih merata ke sejumlah daerah.
Penambangan itu juga menghasilkan saham spekulatif yang dikenal sebagai virtual currencies sehingga dianggap terlalu berisiko.
Dalam dokumen itu juga disebutkan agar pemerintah daerah mengajak penambang bitcoin untuk keluar dari bisnisnya. Mereka juga diminta untuk melaporkan informasi terkait fasilitas penambangan bitcoin yang berada di wilayahnya, termasuk jumlah pelaku yang sudah keluar.
Dikutip dari Quartz, salah seorang pegawai pemerintah telah mengonfirmasi kebenaran dari dokumen tersebut. Menurutnya, keputusan untuk pembatasan penambangan bitcoin ini dibuat dalam pertemuan yang digelar November tahun lalu.
Sejumlah pihak juga menyebut, peraturan ini keluar menyusul keputusan bank sentral Tiongkok untuk menutup operasi pasar bitcoin di negara tersebut pada September 2017. Langkah itu dipilih karena mata uang virtual tersebut dianggap berisiko dan spekulatif.
Sekadar informasi, Tiongkok diketahui telah menyumbangkan lebih dari dua pertiga penambangan bitcoin di seluruh dunia. Negara itu dikenal memiliki pabrik penambang bitcoin berskala besar.
Sejumlah penambang besar juga dilaporkan telah memindahkan aktivitasnya ke luar negeri, seperti Kanada dan Amerika Serikat. Namun, belum dapat dipastikan apakah regulasi ini akan efektif mengurangi penambangan bitcoin.
Advertisement
Tak Hanya Terjadi di Tiongkok
Pembatasan terhadap aktivitas bitcoin juga dilakukan oleh regulator Korea Selatan. Hal ini diketahui setelah regulator di negara tersebut melakukan inspeksi gabungan terhadap enam bank lokal yang menawarkan rekening mata uang virtual di berbagai lembaga.
Penggunaan mata uang virtual seperti bitcoin yang kian meningkat dikhawatirkan dapat menyebabkan lonjakan kejahatan. Dilansir Reuters, penyelidikan gabungan ini dilakukan oleh Financial Services Commision (FSC) dan Financial Supervisory Services (FSS).
Chairman FSC, Choi Jong-ku, dalam keterangan resmi mengatakan kedua regulator akan memeriksa apakah bank-bank tersebut mematuhi regulasi antipencucian uang dan penggunan nama asli untuk membuat rekening.
"Mata uang virtual saat ini tidak berfungsi sebagai alat pembayaran dan digunakan untuk tujuan ilegal seperti pencucian uang, penipuan, dan aktivitas investor yang tidak benar," ucap Choi.
Enam bank yang diselidiki adalah H Bank, Industrial Bank of Korea, Shinhan Bank, Kookmin Bank, Woori Bank, dan Korea Development Bank. Perwakilan NH Bank dan Shinhan Bank menolak berkomentar, sedangkan sisanya belum bisa dihubungi.
Dijelaskan Choi, regulator akan mencari cara untuk mengurangi risiko terkait perdagangan cryptocurrency tersebut di Korsel. Langkah ini akan termasuk menutup berbagai lembaga atau perusahaan yang menggunakan mata uang tersebut.
(Dam/Ysl)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: