Peraih Nobel Fisika 2019, Berhasil Tawarkan Pandangan Baru Tentang Alam Semesta

Pandangan baru soal Alam Semesta ini menitikberatkan pada keberadaan materi gelap yang mendominasi.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 10 Okt 2019, 09:00 WIB
Diterbitkan 10 Okt 2019, 09:00 WIB
Alam semesta terus berkembang pesat hingga saat ini
Alam semesta terus berkembang pesat hingga saat ini (NASA)

Liputan6.com, Jakarta - Tiga ilmuwan baru saja mendapat hadiah Nobel 2019. Salah satunya adalah ilmuwan asal Kanada bernama James Peebles.

Dia berhasil mendapat Nobel setelah temuannya tentang evolusi alam semesta. Perlu diketahui, Peebles adalah seorang kosmologis teoritis.

Dikutip dari The Guardian, Kamis (10/10/2019), temuan Peebles yang membuatnya diganjar Nobel adalah pembahasan usai terjadinya Ledakan Besar atau Big Bang.

Akademisi lulusan Priceton Univeristy ini membuat sebuah pondasi teori untuk cosmic microwave background (CMB). Teori ini disebut meneguhkan model standar dari evolusi di alam semesta.

Peebles berhasil mengembangkan sebuah piranti teoritis yang memungkinkan ilmuwan melakukan inventarisasi penyusun alam semesta.

Dia mengatakan informasi soal penyusun alam semesta baru diketahui 5 persen saja, dan sisanya adalah materi gelap dan energi gelap.

"Kita harus akui materi gelap dan energi gelap misterius. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab...apa itu materi gelap," tuturnya.

Teori yang diuraikan Peebles ini disebut mampu membantu kosmologis dalam memahami CMB dan asal mula alam semesta.

Ilmuwan Temukan Molekul Pertama di Alam Semesta

Alam semesta dalam satu gambar
Alam semesta dalam satu gambar atau disebut dengan 'baby picture of universe'

Terlepas dari hal itu, dengan bantuan NASA, para ilmuwan dilaporkan akhirnya berhasil menemukan HeH+ yang disebut-sebut sebagai molekul pertama. 

Selama bertahun-tahun, molekul HeH+ alias Helium Hydride Ion, diyakini sebagai molekul pertama yang terbentuk setelah peristiwa Big Bang.

Namun sayang, belum ada yang mampu mendeteksi keberadaan molekul pertama di alam semesta ini.

lmuwan di observatorium Max Planck for Radio Astronomy, memakai teleskop Stratospheric Observatory for Infrared Astronomy (SOFIA) NASA untuk mendeteksi keberadaan HeH+ di sebuah nebula bernama NGC 7027.

Menurut keterangan ilmuwan seperti dilansir Geek, setelah peristiwa Big Bang, HeH+ terbentuk dalam kondisi molekular di mana atom helium dan proton bergabung bersama.

Pada akhirnya, gabungan molekular ini terpisah ke molekul hidrogen dan atom helium. Masing-masing dari elemen ini berada dalam kuantitas besar yang ada di alam semesta.

 

Sempat Dipelajari pada 1925

Alam Semesta
Alam Semesta dari sinar-X. (NASA)

Pada 1925 silam, ilmuwan mampu mempelajari molekul HeH+ di laboratorium. Sejak itu, mereka menyadari kalau molekul ini berperan penting pada masa awal terbentuknya alam semesta.

"Alam semesta itu dimulai dengan kehadiran HeH+. Sayangnya, kurangnya bukti definitif dari eksistensi molekul tersebut telah menjadi dilema bagi kami," ujar Rolf Gusten.

Proses terbentuknya HeH+ sendiri dimulai saat radiasi bintang mencapai temperatur lebih dari 100.000 derajat Celcius, yang mana menciptakan proses ionisasi.

Ilmuwan mengaku menemukan HeH+ merupakan bukan proses mudah. Sebab, atmosfer Bumi yang dianggap 'kusam' menyulitkan ilmuwan selama bertahun-tahun untuk mencari keberadaan HeH+.

Bagaimanapun, dengan bantuan SOFIA, ilmuwan bisa mewujudkannya karena teleskop ini dibekali lensa spektrometer beresolusi tinggi untuk menemukan HeH+. 

(Dam/Ysl)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya